Oleh : Ita Perwira

"Kita tidak selalu bisa membangun masa depan untuk para pemuda, tetapi kita bisa membangun pemuda untuk masa depan" - Franklin D. Roosevelt

Kita semua sadar bahwa masa depan kita berada di tangan para pemuda. Oleh karena itu sangat penting untuk melindungi mereka dari berbagai tantangan yang mengancam termasuk salah satunya permasalahan kesehatan. Terutama saat ini kelompok remaja mengalami peningkatan risiko terhadap HIV dan AIDS karena kondisi psikologis, lingkungan sosial dan struktural serta proses transisi yang mereka alami sebagai bagian dari perkembangan fase kehidupan mereka. Risiko ini semakin tinggi pada kelompok kunci remaja yaitu remaja yang juga LSL, transgender, penasun, dan pekerja seks. Hal ini ditunjukkan dengan semakin meningkatnya angka penularan HIV (saat ini 35% penularan HIV pada kelompok usia 15-24 tahun) dan juga kematian secara global pada kelompok remaja di tahun 2005-2012, padahal pada kelompok usia lain menunjukkan penurunan[1]. Gambaran penyebab kematian pada remaja secara global ditunjukkan secara jelas pada grafik dibawah. Di Indonesia sendiri, persentase infeksi HIV pada kelompok umur 15-24 tahun 2015 adalah sekitar 19.3%, sementara untuk persentase kumulatif kasus AIDS sampai dengan tahun 2015 kelompok usia muda usia 20-29 tahun adalah kelompok yang tertinggi yaitu 31.8%. Hal ini bila tidak segera menjadi perhatian kita maka angka ini akan terus meningkat. Oleh karena itu, menjadi tanggung jawab kita bersama untuk menghentikan penyebaran HIV sesuai dengan target 90-90-90 yang telah dicanangkan dengan salah satu fokus pada kelompok remaja mengembangkan upaya penanggulangan yang lebih baik.

Grafik sepuluh penyebab tertinggi penyebab kematian pada kelompok usia muda[2]

Merefleksikan dari suara kelompok muda dan kebutuhannya, ada lima langkah yang mungkin bisa kita cermati untuk menanggulangi HIV pada remaja[3] yaitu 1) Jujur tentang apa yang perlu dilakukan khususnya terkait seks dan seksualitas yang seringkali dianggap tabu melalui dialog antar generasi; 2) Kepemimpinan oleh pemuda terutama ODHA, karena mereka yang paling tahu apa permasalahan yang mereka hadapi serta kebutuhan mereka. Pelibatan remaja ini sangat penting karena mereka punya kreativitas, mereka punya gairah dan mereka perlu didengar; 3) membalik retorika menjadi hal yang lebih nyata pada investasi program untuk remaja yang artinya harus mulai bertindak dan bukan hanya berucap dan merencanakan saja; 4) Menyediakan layanan kesehatan termasuk kesehatan reproduksi yang terintegrasi dan komprehensif dan mudah diakses bagi remaja; 5) yang terakhir dan paling penting adalah komitmen politik agar kesemuanya itu bisa berjalan.

Akses layanan kesehatan bagi remaja yang disebutkan di atas menjadi krusial. Layanan kesehatan ini termasuk didalamnya kesehatan reproduksi (kespro) sangat penting baik untuk pencegahan HIV dan penyakit lainnya, juga untuk perawatan. Akses layanan yang dimaksud bukan hanya mempertimbangkan faktor-faktor sosio-ekonomi seperti infrastruktur, fisik, jarak, biaya, dan lain sebagainya, namun juga harus memperhatikan kebutuhan remaja. Diperlukan layanan kesehatan yang "ramah remaja/youth friendly" dimana mereka bisa mendiskusikan tentang apapun terkait permasalahan kesehatan dan reproduksi mereka tanpa ada stigma. Banyak penelitian menunjukkan bahwa retensi remaja ke layanan kesehatan rendah karena keterbatasan fasilitas layanan kesehatan dalam memberikan layanan kesehatan untuk kebutuhan remaja. Retensi terjadi mulai dari konseling, tes, proses pra-ARV sampai dengan kepatuhan ART[4].

Namun layanan ramah remaja ini tidak bisa hanya dilakukan oleh layanan kesehatan saja. Meskipun pada penelitian yang dilakukan oleh Reif, LK, et al di Africa Selatan menunjukkan bahwa layanan ramah remaja ini meningkatkan retensi perawatan ART khususnya pada tahap penilaian kelayakan untuk masuk ART dan tahap inisiasi ART. Namun pada tahap kepatuhan setelah inisiasi masih menunjukkan kelemahan karena pada tahap ini banyak faktor di luar layanan kesehatan yang mempengaruhi seperti faktor lingkungan seperti dukungan dari keluarga, teman-teman dan sekeliling serta keadaan sosial dan ekonomi. Selain itu bila dilihat kembali dari cascade pada tahap awal yaitu tahap pencegahan yang juga meliputi konseling dan tes juga dibutuhkan dukungan lain selain layanan ramah remaja dari fasilitas layanan kesehatan. Pada tahap awal ini juga membutuhkan dukungan dari keluarga, teman-teman serta jaringan atau komunitas dan lebih besar lagi adanya kebijakan serta regulasi yang mendukung, dimana hal ini juga sejalan dengan lima langkah yang disebutkan sebelumnya. Model intervensi yang menggabungkan seluruh elemen tersebut secara bersama dalam mengembangkan layanan ramah remaja ini digambarkan oleh Bekker L-G, et al dalam sebuah kerangka penyediaan layanan remaja di bawah ini yang diadaptasi dari DiClemente, et al. (2005)[2].

Gambar kerangka penyediaan layanan remaja

Kreatifitas perlu dikembangkan lebih jauh lagi dalam upaya pencegahan serta usaha untuk menjangkau remaja untuk dapat mengakses layanan kesehatan salah satunya melalui komunitas, kelompok populasi kunci, serta mendekatkan layanan konseling dan tes kepada remaja seperti home testing, mobile testing, dll. Konseling dan tes ini adalah layanan krusial untuk membuka pintu menuju layanan HIV lainnya. Oleh karena itu perlu dipastikan akses yang lebih rutin khususnya bagi remaja yang secara efektif menjawab permasalahan terkait perkembangan, sosio-politik dan berbagai permasalahan lainnya yang dihadapi oleh remaja[5]. Bila layanan konseling dan tes ini terjamin keberlanjutannya dan dikombinasikan atau dijahit dengan fasilitas kesehatan yang menerapkan layanan ramah remaja, maka hal ini akan mendorong remaja dalam mengakses layanan kesehatan (link to care) baik untuk layanan pencegahan maupun perawatan HIV pada tahap-tahap selanjutnya.

Kesemuanya itu dapat terlaksana hanya bila ada komitmen yang kuat dari semua pihak termasuk dari kelompok remaja sendiri. Komitmen perlu ada mulai dari tingkat individu yaitu masing-masing dari kita, sampai dengan keluarga, lembaga atau institusi serta masyarakat. Lebih tinggi lagi adalah pemerintah sebagai pemangku kebijakan.

“Kematian terkait AIDS meningkat hanya pada satu kelompok populasi yaitu pada kelompok orang muda. Kita akan gagal mengakhiri AIDS bila kebijakan dan praktik nasional berlanjut untuk membatasi akses kelompok muda pada layanan HIV dan kesehatan seksual dan reproduksi. Kita harus menangani determinan dari risiko dan kerentanan HIV serta memfasilitasi realisasi hak orang muda sehingga mereka dapat mencapai potensi hidupnya secara penuh.” - Michel Sidibé UNAIDS Executive Director 


[1]Joint United Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS). The gap report July 2014. Geneva: UNAIDS; 2014 
[2]Bekker L-G et al. Journal of the International AIDS Society 2015, 18(Suppl 1):20027 http://www.jiasociety.org/index.php/jias/article/view/20027 | http://dx.doi.org/10.7448/IAS.18.2.20027 
[4]Reif LK et al. Journal of the International AIDS Society 2016, 19:20859 http://www.jiasociety.org/index.php/jias/article/view/20859 | http://dx.doi.org/10.7448/IAS.19.1.20859 
[5]Kurth AE et al. Journal of the International AIDS Society 2015, 18(Suppl 1):19433 http://www.jiasociety.org/index.php/jias/article/view/19433 | http://dx.doi.org/10.7448/IAS.18.2.19433