Oleh: Swasti Sempulur

Kelompok dukungan sebaya atau peer support group merupakan sebuah kelompok yang bertujuan mensupport setiap anggota kelompok dalam kehidupan keseharian mereka. Dukungan sebaya meliputi orang yang menghadapi tantangan yang sama misalnyapasien dengan infeksi tertentu, komunitas tertentu.[1] Kelompok dukungan sebaya (KDS) sangat dikenal dalam konteks penanggulangan HIV/AIDS untuk memberikan support bagi orang yang terinfeksi HIV (ODHA) maupun keluarganya. Pertama kali seseorang mendapati dirinya terinfeksi HIV, memiliki beberapa persoalan, terkait dengan psikologis, kekhawatiran terhadap kesehatan, relasi dengan pasangan, ekonomi dan prasangka akan didapati perlakuan stigma dan diskriminasi, dll.  Dukungan moral yang dibutuhkan oleh orang yang terinfeksi HIV sangat diperlukan untuk mengatasi berbagai persoalan tersebut, sehingga mereka tetap dapat hidup sehat, dan produktif.  Dukungan tersebut salah satunya diperoleh melalui kelompok dukungan sebaya (KDS).

Seberapa penting KDS bagi ODHA?.  Dari beberapa kajian menunjukkan bahwa KDS memiliki peran yang bermakna dalam mutu hidup ODHA. Pengaruh dukungan sebaya terhadap ODHA antara lain dapat membantu meningkatkan  kepercayaan diri, pengetahuan HIV, akses layanan HIV, perilaku pencegahan HIV, dan kegiatan positif yang lebih tinggi dibandingkan ODHA yang tidak mendapatkan dukungan sebaya. Di wilayah yang memiliki KDS, proporsi kualitas hidup ODHA relative lebih tinggi dibandingkan wilayah yang tidak memiliki KDS.[2]

Sebuah kajian pada populasi pekerja seks di Di Karnataka, India Selatan menunjukkan pula bahwa keterlibatan pekerja seks dalam kelompok sebaya memberikan kontribusi yang positif untuk mendorong perilaku seks yang aman, memiliki kepercayaan diri yang lebih tinggi untuk menghindari kekerasan seksual. Kaijan ini menunjukkan pula bahwa pekerja seks yang terlibat dalam kegiatan dukungan sebaya memiliki  prevalensi lebih rendah dari gonore dan  atau klamidia dan sifilis.[3]

Intervensi dukungan sebaya pada remaja yang terinfeksi HIV menunjukkan korelasi dengan pengelolaan emosional dan memiliki pengaruh positif pada hasil pengobatan. Kesimpulan ini diperoleh melalui penelitian dengan membandingkan kelompok remaja yang diintervensi dan tidak diintervensi melalui kegiatan dukungan sebaya. Dalam kurun waktu 2 tahun menunjukan bahwa terdapat perubahan persepsi tentang sakit dan kekhawatiran tentang sakit pada kelompok remaja dalam kelompok dukungan sebaya, dan lebih jauh adalah meningkatnya jumlah remaja yang  tidak terdeteksi virusnya melalui pemeriksaan viral load.[4]

Di Indonesia sebagian KDS merupakan kelompok khusus dalam artian keanggotaannya bersifat spesifik seperti LSL, WPS, waria, penasun, warga binaan, dll. Kekhususan ini ditentukan sendiri oleh ODHA di daerah tersebut sesuai kebutuhan masing-masing.[5] Jenis kegiatan yang dilakukan berupa kunjungan rumah, pertemuan kelompok, serta kunjungan ke fasilitas layanan kesehatan juga disesuaikan dengan kebutuhan kelompok.  Sementara itu berbagai dukungan juga diberikan dalam bentuk pelatihan, konseling, kepatuhan pengobatan, rujukan CST, dan lain sebagainya.

Kelompok dukungan sebaya (KDS ) mulai dikenal sejak tahun 1995, yang diinisiasi oleh Yayasan Spiritia. Sampai dengan sekarang jumlah KDS sebanyak 290 KDS, yang tersebar di 25 propinsi  . Sementara laporan tahunan Yayasan Spiritia tahun 2013, jumlah KDS sebanyak 259 Kelompok Dukungan Sebaya. (Spirita, 2013). Secara kuantitas, terjadi peningkatan jumlah KDS yang terbentuk di beberapa wilayah di Indonesia, namun bagaimanakah dengan kualitas KDS?  Mengacu pada laporan tahunan Yayasan Spirita, dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan jumlah KDS tidak seiring dengan kualitas KDS, hal ini dapat dilihat dari perkembangan jumlah KDS dan kelompok penggagas sebagaimana tampak dalam grafik berikut:

Sumber: Laporan Tahunan Yayasan Spiritia 2013

Grafik di atas menunjukkan bahwa peningkatan jumlah kelompok penggagas relatif lebih lambat dibandingkan dengan peningkatan jumlah KDS. Yang dimaksudkan dengan kelompok penggagas (KP) adalah kelompok atau wadah pengambil dan pelaksana inisiatif atau gagasan untuk melayani pembentukan, penguatan dan pengembangan KDS dengan prinsip kesetaraan.[6] Peralihan peran KDS menjadi kelompok penggagas membutuhkan kemampuan dan kekuatan organisasi KDS,  namun sayangnya belum semua KDS memiliki memiliki konsep organisasi dan kemandirian. Sumber daya bagi pengelolaan dan kegiatan KDS dapat dikatakan masih memiliki ketergantungan dengan organisasi di atasnya.  Hal ini yang masih menjadi tantangan bagi keberlangsungan organisasi KDS, sementara di sisi yang lain dari berbagai kajian di atas menunjukkan bahwa peran KDS sangat penting bagi ODHA, di mana salah satunya adalah mampu berkontribusi terhadap perilaku yang sehat dan positif.

Oleh karenanya keberadaan dan keberlangsungan KDS masih sangat diperlukan, untuk berperan aktif dalam upaya penanggulangan AIDS. Penguatan KDS dapat dilakukan dengan peningkaan sumber daya, memperkuat kapasitas finansial, serta membangun jaringan atau kemitraan dengan pihak lain, seperti pemerintah dan swasta serta untuk memperbesar akses informasi dan sumber daya. Pada umumnya sebuah organisasi menjadi lemah  tanpa adanya sumber daya material yang mantap yang merupakan hal kritis untuk memainkan peranan dalam pengembangan organisasi.[7] Untuk memperkuat organisasi KDS maka peran kelompok penggagas menjadi penting, tidak hanya sekedar mendorong terbentuknya KDS, namun juga berperan untuk memperkuat organisasi untuk menjaga keberlangsungan KDS. Penguatan KDS dapat dilakukan dengan mengembangkan ketrampilan tehnis dan strategis bagi penguatan kelembagaan KDS, sehingga dapat berorintasi pada kebutuhan yang bersifat strategis untuk tujuan keberlanjutan. Strategi lain adalah dengan menggali dan memobilisasi sumber pendanaan lain baik lokal maupun diversifikasi usaha dengan mengembangkan pola fundrising, yang mendatangkan keuntungan bagi lembaga. (ss)


[1] Tri Johan Agus Yuswanto, Tavip Dwi Wahyuni, Joko Pitoyo, (2015), Peran KDS dan kepatuhan minum obat ODHA
[2] Yayasan Spirita (2011) Laporan Penelitian Peran Dukungan Sebaya terhadap Peningkatan Mutu Hidup ODHA di Indonesia
[3] Parinita Bhattacharjee, Ravi Prakash, Priya Pillai, Shajy Isac, Mohan Haranahalli, Andrea Blanchard, Maryam Shahmanesh, James Blanchard & Stephen Moses, (2013). Understanding the role of peer group membership in reducing HIV-related risk and vulnerability among female sex workers in Karnataka, India, AIDS Care, 25:sup1, S46-S54, DOI: 10.1080/09540121.2012.736607
[4] Isabelle Funck-Brentanoa, Ce´cile Dalbanb, Florence Vebera, Pierre Quartiera, Serge Hefeza, Dominique Costagliolab and Ste´phane Blanche (2005) Evaluation of a peer support group therapy for HIV-infected adolescents
[5] Spiritia (2013) Laporan Tahunan Yayasan Spirita Periode 2013
[6] Spiritia (2013) Laporan Tahunan Yayasan Spirita Periode 2013
[7] Reimann, K. D. (2006). A view from the top: International politics, norms and the worldwide growth of NGOs. International Studies Quarterly, 50(1), 45-67.