Oleh: Thareq Barasabha

Thareq BarasabhaHari AIDS Sedunia belum lama berselang. Pada tahun 2014, tema yang dicanangkan oleh UNAIDS, badan dari PBB yang bertugas mengurus masalah penyebaran infeksi HIV dan AIDS, ialah Close The Gap. Makna dari tema ini sangatlah luas. Close the Gap dapat diartikan sebagai mempersempit kesenjangan pengobatan, mempersempit kesenjangan pengetahuan, mempersempit kesenjangan jarak, mempersempit kesenjangan dengan kelompok yang berisiko tinggi tertular HIV, mempersempit kesenjangan dengan ODHA, bahkan mempersempit kesenjangan finansial.

Banyak hal yang dapat dilakukan dalam rangka mempersempit berbagai kesenjangan tersebut. Bisa dengan mengurangi stigma terhadap ODHA, menjadikan tes HIV sebagai pemeriksaan yang umum, menghilangkan mitos bahwa pendidikan seks dan reproduksi adalah tabu, serta menyebarluaskan informasi yang akurat tentang HIV dan AIDS ke masyarakat. Berbagai hal tersebut dapat dilakukan secara lebih efektif dan efisien dengan bantuan sistem telemedika.

Menurut The American Telemedicine Association, telemedika dapat diartikan sebagai penggunaan informasi medis yang dipertukarkan dari satu tempat ke tempat lainnya melalui komunikasi eletronik untu meningkatkan status klinis kesehatan pasien. Telemedika mencakup berbagai variasi yang berkembang dari aplikasi dan layanan menggunakan video dua arah, email, smart phone, perangkat nirkabel dan berbagai bentuk teknologi telekomunikasi lainnya. Konsultasi pasien melalui konferensi video, pengiriman citra, e-health, pemantauan tanda-tanda vital dari jarak jauh, pendidikan kedokteran berkelanjutan, dan aplikasi-aplikasi lainnya dapat digolongkan sebagai bagian dari sistem telemedika.

Salah satu bentuk pemanfaatan dari sistem telemedika yaitu teleedukasi. Teleedukasi bisa dilakukan dengan sasaran masyarakat atau tenaga kesehatan. Teleedukasi pada masyarakat dapat berupa edukasi kesehatan atau  telemedika preventif (berbasis website). Sedangkan  teleedukasi pada tenaga medis bisa diaplikasikan dalam bentuk sistem pendidikan berkelanjutan jarak jauh. Hal ini telah dijelaskan oleh Prof. Soegijardjo Soegijoko pada even ICICI-BME tahun 2009 di Institut Teknologi Bandung.

Sistem telemedika sangat penting untuk diterapkan di negeri ini, tidak hanya dalam mempersempit kesenjangan di bidang HIV dan AIDS. Dari segi geografis, Indonesia memiliki wilayah yang sangat luas (lebih dari 1.900.000 kilometer persegi), berbentuk kepulauan (lebih dari tujuh ribu pulau yang dihuni), serta tekstur alam yang bervariasi. Seseorang yang bermukim di daerah terpencil dapat mengalami hambatan untuk mendapatkan pelayanan atau edukasi kesehatan karena pengaruh kondisi geografis, misalnya jarak rumah dengan fasilitas pelayanan kesehatan terlalu jauh atau kesulitan sarana transportasi. Selain itu, keterbatasan sumber daya manusia yang dapat memberikan edukasi tentang HIV dan AIDS pun menjadi masalah yang membuat informasi tentang HIV dan AIDS yang akurat tidak tersebar luas. Akibatnya, muncul berbagai mitos terkait HIV dan AIDS yang dapat berujung pada stigma terhadap ODHA maupun kelompok berisiko. Hal ini membuat sistem telemedika yang cepat menangani masalah dan tidak tergantung pada jarak menjadi penting. Edukasi melalui sistem telemedika dapat digunakan untuk menyebarluaskan informasi-informasi akurat tentang HIV dan AIDS sehingga mempersempit kesenjangan pengetahuan antara pihak-pihak yang banyak mengetahui informasi dengan pihak-pihak yang minim informasi.

Sistem telemedika juga dapat mempersempit kesenjangan pada terapi ODHA. Dilihat dari sudut pandang demografis, Indonesia memiliki jumlah penduduk lebih dari 240.000.000 jiwa. Dengan angka pertumbuhan penduduk lebih dari satu persen per tahun dan umur harapan hidup melebihi 69 tahun, dapat diprediksi bahwa jumlah penduduk Indonesia akan terus bertambah banyak, sehingga ada lebih banyak individu yang perlu mendapatkan pelayanan kesehatan. Sementara itu, sejak tahun 1987 hingga Juni 2013 telah ditemukan 108.600 kasus infeksi HIV di Indonesia, dengan lebih dari 43.667 kasus AIDS dan 8.340 kasus kematian ODHA. Melalui sistem telemedika, tenaga kesehatan di ibukota provinsi dapat memberikan layanan konsultasi medis tanpa perlu bertemu langsung dengan pasien. Hal ini membuat tenaga kesehatan dapat melayani lebih banyak penduduk. Konsultasi pada pengidap HIV yang perlu dilakukan secara rutin dan berkesinambungan pun dapat dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan, walaupun tanpa tenaga kesehatan yang ahli di bidang terapi HIV dan AIDS, selama sistem telemedika telah terinstalasi di fasilitas tersebut dan terkoneksi dengan tenaga kesehatan ahli di ibukota provinsi.

Bila ditinjau dari aspek ekonomis, kualitas pelayanan kesehatan di Indonesia tidak merata. Tidak setiap daerah memiliki sarana pelayanan kesehatan dengan kualitas yang prima. Tenaga medis ahli dan alat-alat canggih belum tentu bisa ditemukan pada daerah yang jauh dari ibukota provinsi. Dengan sistem telemedika, akses ke pelayanan kesehatan yang lebih baik dapat ditingkatkan. Tenaga medis yang ada di daerah terpencil dapat berkonsultasi dengan tenaga medis yang lebih ahli di pusat rujukan dengan sistem ini. Informasi medis dari pasien dapat dikirimkan secara cepat ke pusat rujukan untuk mempermudah proses diagnosis. Selain itu, sistem telemedika dapat menjadi pilihan yang efisien untuk mengganti sistem pencatatan dan pelaporan manual yang memakan banyak biaya.

Sayangnya, penerapan sistem telemedika di Indonesia harus menghadapi berbagai tantangan. Kemampuan sistem telekomunikasi di Indonesia yang belum dapat menjangkau seluruh penjuru negeri membuat pengiriman dan penerimaan informasi sulit dilakukan pada daerah tertentu. Jumlah tenaga medis di Indonesia pun terbatas dan tidak tersebar secara merata. Padahal, dalam proses telekonsultasi, sistem telemedika tidak dapat hanya mengandalkan kecanggihan teknologi. Kesiapan tenaga medis di lokasi pengiriman dan penerimaan informasi juga diperlukan. Tidak ada informasi yang dapat diolah tenaga medis ahli di pusat rujukan apabila tidak ada tenaga medis yang mengumpulkan data-data tentang pasien di daerah terpencil. Tenaga medis di daerah terpencil juga perlu dilatih agar dapat mengoperasikan sistem ini dengan optimal.

Keterbatasan fasilitas dan sumber daya juga dapat menjadi masalah. Hal ini dapat menghambat proses pengadaan dan operasional penerapan sistem. Secanggih apapun sistem telemedika berhasil dirancang, akan menjadi sia-sia bila tidak ada listrik atau perangkat telekomunikasi yang tersedia di daerah terpencil. Sebaik apapun sistem yang dikembangkan, tidak akan terpakai apabila tidak ada dana yang dialokasikan untuk biaya operasionalnya.

Perlu dilakukan sosialisasi-sosialisasi mengenai keuntungan sistem telemedika pada pemangku-pemangku kebijakan di bidang kesehatan dan teknologi untuk mengatasi masalah tersebut. Dengan adanya proses sosialisasi ini, diharapkan para pemangku kebijakan terkait HIV dan AIDS menyadari pentingnya penerapan sistem ini di Indonesia, sehingga berbagai solusi serta dukungan politis dan finansial dapat diperoleh. Semoga manifestasi sistem telemedika di Indonesia, khususnya dalam mempersempit kesenjangan pengetahuan tentang HIV dan AIDS, dapat berjalan dengan baik secara berkesinambungan dalam waktu yang tidak terlalu lama. Dan tidak sekedar menjadi wacana penghias kolom opini surat kabar saja.

Thareq Barasabha
Chief Editor pada Program Studi Teknik Biomedika
Sekolah Teknik Elektro dan Informatika
Institut Teknologi Bandung