Oleh:  Hersumpana

Ilustrasi | GoogleKesenjangan Geografis di daerah terpencil, sangat terpencil di Indonesia dengan daerah yang lebih maju di Jawa khususnya semakin lebar. Data yang disampaikan oleh  Kementerian Desa, Pembangunan daerah Tertinggal (PDT) dan Transmigrasi menegaskan disparitas ketersediaan layanan kesehatan dasar dan sumber daya kesehatan  di daerah tertinggal pada 2012 yakni dari 2.652 total jumlah kecamatan terdapat 303 kecamatan yang tidak memiliki Puskesmas, di level desa kesenjangan lebih besar lagi jumlah desa yang memiliki poskesdes terdapat 7.303 dari 29.273 desa, terdapat 11.910 desa yang tidak memiliki poskesdes. Ketersediaan dokter puskesmas 5.481 jika mengacu standar 2.500 orang per 1 dokter, kekurangan dokter puskesmas adalah 2.448 dokter dan jumlah bidan desa yang ada adalah 30.340 dengan standar 1 bidan per desa, kekurangannya 1.897 bidan[1]

Menjawab kesenjangan layanan dan sumber daya kesehatan tersebut, pemerintahan baru dengan kabinet kerjanya melalui kementrian desa, PDT, dan Transmigrasi membuat target pengembangan puskesmas perawatan sejumlah 6000 buah dan pemenuhan rasio 1 dokter untuk 2500 penduduk. Paradigma pemerintahan baru ini sejalan dengan arah pembangunan kesehatan Indonesia ke depan yang memprioritaskan untuk pembangunan promosi dan preventif lebih besar dari kuratifnya. Paradigma kesehatan Indonesia selama ini kembalikannya 85 %  layanan bersifat kuratif sementara 15 %  untuk promotif dan preventif. Paradigma ini mengasumsikan pendekatan layanan kesehatan yang berpusat pada masyarakat, peran puskesmas, poskesdes, dan pustu menjadi vital sebagai ujung tombak dalam pengembangan sistem kesehatan ke depan seperti salah prioritas pembangunan yang disebutkan dalam nawacita yang salah satu poinnya menyatakan strategi pembangunan berpusat dari pedesaan yang terpencil dan tertinggal sehingga masyarakat Indonesia dapat merasakan ‘kehadiran negara’.

Hasil Desk Review kebijakan AIDS di Indonesia oleh PKMK FK UGM (2014) mendapatkan gambaran bahwa upaya integrasi kebijakan penanggulangan AIDS sudah kelihatan level produk regulasinya, tetapi pada tataran implementasi belum terjadi sinkronisasi. Sebagian besar program penanggulangan AIDS masih bersifat program vertikal yang berupa program yang didorong oleh nasional seperti program obat ARV, PTRM, LASS yang masih merupakan obat program yang dicover oleh APBN belum masuk dalam skema pembiayaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).  Meskipun dalam Pedoman Pelaksanaan JKN yang baru yang dikeluarkan pada 3 Juni 2014 oleh Kemenkes bahwa pengobatan untuk ODHA mendapatkan jaminan dari BPJS dengan ketentuan dan syarat kepesertaan yang berlaku sesuai kriteria yang dirumuskan oleh kemensos tentang kepesertaan.  Meskipun demikian, sebagian besar kalangan populasi kunci masih skeptis dan terus melakukan advokasi terhadap JKN agar obat ARV, methadon, LASS yang selama ini di-cover oleh biaya program dapat masuk dalam coverage BPJS  dan kepesertaan BPJS untuk orang-orang dengan ODHA dan kaum terlantar lainnya perlu mendapatkan jaminan akses layanan kesehatan yang adil. Kesenjangan akses layanan kepada kelompok termarginalkan seperti OHIDHA dan masyarakat yang terpencil dan sangat terpencil secara geografis dalam hal ini mengalami persoalan yang mirip yakni bagaimana  masyarakat dari kawasan tertinggal dan kelompok termarginalkan mendapatkan cakupan layanan dari BPJS dan mereka dapat mengakses layanan kesehatan tanpa harus menghadapi kerumitan persoalan administrasi yang bersifat teknis yang selalu menjadi ujung pangkal persoalan dan bentuk diskriminasi terhadap ODHA dan kelompok terlantar lain.

Kesempatan mengatasi Kesenjangan

Salah satu pokok rekomendasi yang diusulkan untuk mengatasi kesenjangan cakupan layanan kesehatan di daerah terpencil dan sangat terpencil adalah mengembangkan upaya terobosan dengan mengembangkan mekanisme penyediaan tenaga kesehatan atau non kesehatan yang bersifat kontraktual (contracting out) baik untuk individu, maupun yang bersifat kelembagaan.  Model ini yang selama ini dilakukan dengan penyediaan dokter PTT untuk pemenuhan ketersediaan sumber daya kesehatan tidak sepenuhnya efektif  berjalan dengan perkembangan pendidikan dokter yang semakin mahal berpengaruh terhadap preferensi dokter untuk menjadi dokter PTT setelah menyelesaikan pendidikan di universitas. Pengalaman dari beberapa negara lain ada beberapa model yang bisa dilakukan seperti mobile clinic, flying doctor, dan bounded.  Pengembangan mekanisme kontrak dengan pihak lain untuk pemenuhan layanan kesehatan dapat mengatasi salah satu persoalan klasik terkait dengan anggaran kesehatan yang 2 % dari APBN tetapi kenyataannya, Kementrian Kesehatan tidak pernah dapat menggunakan anggaran yang dianggap kecil dengan maksimal. 

Problem yang sama dihadapi dalam upaya penanggulangan AIDS, dalam riset LKB yang dilakukan oleh PKMK FK UGM bekerjasama dengan Kemenkes mendapatkan data bahwa sebagian puskesmas yang sudah di-setting LKB tidak bisa berjalan efektif karena kekurangan sumber daya kesehatan yang memiliki skill melakukan layanan HIV dan AIDS seperti tenaga konselor,  Manager Kasus, tenaga penjangkauan yang melakukan pendampingan psikologis dan sosial. Mekanisme public private partnership (PPP) dapat dilakukan seperti halnya dalam pemenuhan kesenjangan sumber daya kesehatan untuk daerah terpencil maupun kebutuhan untuk tenaga khusus seperti dalam layanan HIV/AIDS. Beberapa contoh yang sudah dilakukan dalam melakukan kemitraan untuk meningkatkan kapasitas dan kompetensi RS di daerah adalah program sister hospital yang dilakukan oleh PKMK FK UGM bekerjasama dengan beberapa RS swasta seperti Panti Rapih yang mengembangkan kerjasama dengan RS di Ende yang mendapatkan dukungan dari donor[2]. Secara teoritis kerjasama ini dapat dikembangkan untuk memaksimalkan cakupan layanan yang lebih efektif dan memenuhi prinsip keadilan (equitas) dengan memperhatikan kebutuhan dan kriteria penyedia jasa yang memiliki kompetensi sesuai standar yang berlaku[3].

Dalam penangggulangan AIDS selama ini banyak mengembangkan kerjasama-kerjasama dengan mekanisme kontrak dengan dukungan donor  seperti GF, HCPI, IHPCP, SUM 1 dan SUM 2, CHAI dan seterusnya. Permasalahannya adalah bagaimana pemerintah berkoordinasi secara lintas sektor mengembangkan kemungkinan-kemungkinan kerjasama dengan tenaga-tenaga profesional baik dari universitas, lembaga kesehatan independen, tenaga ahli perorangan, dan penyedia layanan swasta yang memenuhi kriteria untuk memenuhi kesenjangan layanan-layanan penanggulangan AIDS dalam era desentralisasi yang terintegrasi dengan sistem kesehatan nasional.

Kebutuhan tenaga kesehatan trampil dalam pemerintah baru yang memperioritaskan pengembangan kesehatan di tingkat desa yang akan mengembangkan program Desa Sehat dengan membentuk Rumah Sehat dan penduduknya laskar desa sehat. Semangat mengembangkan integrasi dalam upaya penanggulangan AIDS yang sudah berjalan dengan LKB memiliki paradigma yang kurang lebih sama mensingkronisasikan upaya kesehatan medis dengan dukungan non medis mulai dari pengembangan koordinasi dengan lintas sektor oleh KPA dan pengembangan dukungan masyarakat melalui pengembangan kader kesehatan, kelompok dukungan sebaya (KDS), Warga Peduli AIDS (WPA) dan keterlibatan aktif tokoh masyarakat (tomas dan toga).  Pertanyaan kritisnya, bagaimana pengembangan gerakan sadar kesehatan dalam penanggulangan AIDS dengan sistem kesehatan nasional mendapatkan dukungan secara cukup secara regulasi, pembiayaan dan sumber daya kesehatan dalam semangat desentralisasi kebijakan kesehatan hingga di tingkat pedesaan?  Gerakan kesehatan ini mulai dari basis ini cukup potensial karena Indonesia sudah memiliki UU Pedesaan yang dapat menjadi amunisi pengembangan kebijakan Desa Sehat. Dengan kombinasi kebijakan yang bersifat vertikal untuk daerah-daerah yang minus dengan dukungan dana dekonsentrasi dengan pengembangan mekanisme kontrak yang lebih luas dapat menjadi harapan untuk mengatasi kesenjangan kebijakan kesehatan di daerah terpencil dan keterbatasan akses untuk kelompok termarjinalkan dapat lebih terjamin. 

[1] Presentasi dr. Hanibal Hamidi, M.Kes dari Kementrian Desa, PDT dan Transmigrasi dalam Seminar Nasional Pembangunan Kesehatan dalam era Jaminan Kesehatan Nasional: Bagaimana mengurangi kesenjangan Geografis yang semakin besar? yang diselenggarakan oleh PKMK FK UGM pada 13 Desember 2014. 

[2] Sharing pengalaman pengembangan SDM kerjasama Rumah Sakit Swasta (privat) dengan RSUD dari RS Panti Rapih dalam program Sister Hospital berkerjasama dengan Universitas Gajad Mada, Universitas Udayana dan Universitas Sebelas Maret untuk peningkatan kapasitas nakes lokal dengan model kontrak (contracting out) dengan dana donor dari AUSAID. 

[3] Xingzhu liu et.al, The impact of Contracting out on health system performance: A Conseptual Framework. Health Policy 82 (2007) 200-211