Oleh: Hersumpana
Sekeras apapun larangan terhadap prostitusi dengan berbagai peraturan anti prostitusi yang jumlahnya hingga ratusan akan tetapi fakta di lapangan berkata lain, prostitusi tetap hadir ditengah masyarakat seperti fenomen prostitusi terselubung di Apartemen atau tempat kos. Hal ini menjadi bukti kegagalan dalam pengambilan kebijakan terkait kebijakan pelarangan prostitusi yang asumsinya akan membuat orang takut dan jera, lalu masyarakat lambat laun bersih dari prostitusi. Apa lacur? Asumsi tersebut keliru besar. Semakin dilarang prostitusi, semakin kreatif bisnis prostitusi seperti pemberitaan yang hangat tentang PSK artis yang melibatkan pejabat dan berbagai modus prostitusi di berbagai tempat seperti kos dan apartemen. Menarik wacana yang dilempar oleh Ahok, Sang Gubernur Jakarta untuk membuat lokalisasi prostitusi berupa apartemen khusus PSK dan pemberian sertifikat. Bagaimana analisis Kebijakan terkait dengan Wacana legalisasi praktek prostitusi oleh Gubernur Jakarta ini? sebuah langkah yang berani di tengah semakin mengerasnya politik agama yang secara lugas akan menentang wacana tersebut. Apa yang bisa dipelajari dalam konteks Integrasi kebijakan tentang penanggulangan Penyakit dalam wacana prostitusi?
Pertama, Kebijakan pelarangan prostitusi seperti yang dilaporkan oleh Komisi Nasional anti Kekerasan terhadap perempuan, sampai dengan agustus 2011, setidaknya terdapat 207 peraturan anti prostitusi dan pornografi yang mengkriminalkan perempuan dan kelompok dengan orientasi seks yang berbeda[1]. Berbagai kebijakan tersebut mendiskriminasikan kelompok perempuan dan orang dengan orientasi seks yang berbeda yang marak menjadi alat untuk melakukan kekerasan oleh kelompok tertentu. Kebijakan ini memberikan peluang bagi kelompok masyarakat melakukan tindakan diluar hukum dengan payung perlindungan UU anti prostitusi dan pornografi. Sanksi pemenjaraan terhadap perilaku yang dipandang menyimpang mayoritas masyarakat “umum”, dalam praktik lebih sering dimaknai secara politik dan ideologis untuk membela kepentingan tertentu akan tetapi mengabaikan aspek lain seperti dalam kasus pelarangan prostitusi terkait hak kehidupan, hak memilih pekerjaan, dan hak berekspresi. Dari aspek kesehatan masyarakat umum, pelarangan prostitusi berdampak pada tidak adanya kontrol terhadap penyebaran penyakit IMS dan HIV melalui transmisi seksual. Aspek kesehatan ini selalu kalah dengan alasan moralitas dan keagamaan.
Kedua, Wacana Ahok untuk melegalkan lokalisasi di Apartemen yang khusus dengan sertifikasi merupakan salah satu bentuk dari komitmen seorang pejabat publik yang paham dengan dampak dari kebijakan pelarangan prostitusi. Ahok tidak terjebak dalam sistem hukum yang cenderung merumuskan persoalan dalam kerangkan boleh atau tidak boleh, akan tetapi sudah masuk pada subtansi yang lebih dalam yakni kesadaran situasional yang membaca perkembangan bahwa kebijakan anti prostitusi justru akan berdampak secara serius terhadap kesehatan masyarakat. Maka gagasan lokalisasi menjadi sebuah terobosan yang penting yang berdampak pada urusan kesehataan publik untuk mendapatkan jaminan dari pemerintah sehingga kemungkinan penularan penyakit IMS dan HIV melalui transmisi seksual semakin ditekan dan dikontrol dengan serius. Sayang sekali, wacana yang dilontarkan oleh Ahok justru sepi dari tanggapan para aktifis yang bergerak dalam penanggulangan HIV dan AIDS. Sehingga Suara Ahok seperti suara di padang gurun, dan segera akan menghilang seiring dengan datangnya angin atau badai.
Ketiga, Apa yang bisa dilakukan secara ilmiah untuk membuktikan bahwa gagasan Ahok adalah tepat untuk merespon penyebaran penyakit perilaku dan mengurangi dampaknya kepada masyarakat yang lebih luas? Terlepas dari persoalan etis dan hukum, kontrol terhadap penyakit membutuhkan payung hukum yang tegas sehingga semua pihak akan mendukung upaya untuk mengontrol penyakit perilaku seperti prostitusi. Kelompok aktifis HIV dan AIDS mengapa tidak menyambut wacana yang disampaikan Ahok, ini menjadi momentum penting untuk menumbuhkan saling kepercayaan terhadap berbagai kelompok yang dipandang ‘abnormal’ dengan kerangka berpikir rasional dan kontekstual. Wacana Ahok membuka ruang diskusi dan advokasi lanjut untuk pekerja seks yang menerima dampak dari adanya perda anti prostitusi, sehingga mereka tidak akan diperhatikan oleh dinas kesehatan. Masalah ini bukan soal legal atau tidak legal, melainkan bagaimana kontrol terhadap penyakit menular semakin efektif dan efisien untuk semua masyarakat. Jika tidak ada kontrol terhadap penyakit menular yang sistematis dan jelas maka akan sangat mudah masyarakat terpapar oleh penyakit menular melalui transmisi seksual. Situasi epidemi ini terbukti dengan peningkatan prevalensi infeksi baru Indonesia yang mencapai 162 % di antara negara-negara Asia Pasifik (The Gap Report, UNAID 2014). Kebijakan dan keberanian seseorang tokoh politik seperti Ahok memberi alternatif cara berpikir dan bertindak yang berbeda, dan jika didukung oleh gerakan-gerakan masyarakat sipil secara luas akan semakin memperkuat komitmen dan keberpihakan kepada masyarakat yang termarginalkan dalam khususnya populasi kunci. Sebuah pilihan yang sulit tetapi situasi epidemi perlu disikapi dengan pendekatan kesehatan bukan ideologis dan politis yang condong mengaburkan subtansi persoalan kesehatan publik. Singkat kata, Kebijakan yang sehat akan berdampak pada perilaku hidup sehat masyarakat.
[1] Laporan Independen Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan kepada Komite CEDAW mengenai pelaksanaan konvensi terhadap Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan di Indonesia, 2007-2011 (http://www.komnasperempuan.or.id/wp-content/uploads/2013/12/Laporan-Independen-Komnas-Perempuan_CEDAW.pdf).