Oleh: M.Suharni

Ilustrasi | homes4health.comAda kesenjangan antara produk regulasi penanggulangan AIDS dengan implementasinya di lapangan. Secara normatif  upaya penanggulangan AIDS di Indonesia sudah memiliki banyak kebijakan baik di tingkat pusat maupun di daerah,  menurut KPAN terdapat sekitar 247  kebijakan sampai dengan tahun 2014. Akan tetapi keberadaan Kebijakan AIDS belum mampu menurunkan epidemi AIDS, Indonesia merupakan penyumbang 23 % infeksi baru di Asia Pasifik, hanya kalah dari India yang menyumbang 38 % seperti dilansir oleh laporan UNAIDS[1]Tulisan ini  menawarkan bagaimana langkah yang harus dilakukan oleh para pemangku kepentingan kunci agar  regulasi yang ada dapat lebih efektif dilaksanakan untuk mencegah peningkatan epidemi AIDS.

Seperti disinyalir oleh Prichet (2014)[2]masalah utama yang dihadapi oleh negara berkembang seperti Indonesia adalah kapasitas mengimplementasikan kebijakan bukan pada memproduksi kebijakan.  Regulasi upaya penanggulangan AIDS di tingkat pusat dan daerah sudah ada dalam bentuk perda, SK bupati, dan Renstra. Bagaimana konsekwensi dari adanya kebijakan tersebut? Idealnya dengan adanya kebijakan tersebut upaya penanggulangan AIDS, pemerintah memiliki tanggungjawab untuk mengoperasionalisasikan dan menjalankan mandat secara konsisten. Secara nyata tanggungjawabnya adalah memberikan  pengalokasian pembiayaan untuk penanggulangan AIDS secara memadai.  Dalam praktik, seperti temuan penelitian yang dilakukan oleh PKMK FK UGM (2014) bahwa  pembiayaan AIDS masih sangat minim di berbagai daerah. Belum ada komitmen yang jelas dari pemerintah dan ada keengganan untuk memprioritaskan penanggulangan AIDS.

Hal tersebut dipengaruhi oleh konteks sosial, budaya dan politik di Indonesia yang masih kuat menstigmatisasi HIV dan AIDS. Sehingga upaya penanggulangan AIDS oleh berbagai SKPD maupun kelompok masyarakat luas masih mendapatkan tantangan yang besar. Salah satunya adalah disebabkan oleh lemahnya pemahaman pemerintah daerah terhadap isu AIDS sebagai masalah kompleks yang perlu ditangani secara multisektoral. Akibatnya,  pemangku kepentingan strategis yang mempunyai kekuasaan atau otoritas politik yang tinggi  belum menunjukkan dukungannya.

Oleh karena itu, perlu sebuah strategi untuk melakukan sensitisasi kepada para pemangku kepentingan dengan kekuasaan tinggi seperti Kepala Daerah, DPRD dan Bappeda agar mereka mempunyai komitmen dan kepemilikan terhadap upaya penanggulangan AIDS di wilayahnya. Dengan upaya ini diharapkan ke depan regulasi yang ada akan dapat diimplementasikan dengan lebih baik. Menarik belajar dari pengalaman respon yang dilakukan oleh China dalam upaya mendorong pemerintah memberikan komitmen untuk merespon peningkatan epidemi melalui advokasi yang panjang dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan hingga akhirnya pemerintah China mengeluarkan kebijakan penting untuk melakukan kontrol terhadap AIDS[3]

Berdasarkan gambaran permasalahan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa tidak cukup upaya untuk penanggulangan AIDS hanya dengan menghasilkan kebijakan di atas kertas, akan tetapi lebih penting bagaimana upaya untuk secara konsisten melaksanakan kebijakan tersebut sehingga berdampak langsung pada efektifitas pengurangan infeksi HIV baru dan penurunan angka kematian akibat AIDS. Langkah awal yang bisa dilakukan adalah dengan melakukan advokasi terus menerus kepada pemangku kepentingan kunci yang mempunyai kekuasaan dan otoritas tinggi agar mereka memperiortaskan upaya penanggulangan AIDS di wilayahnya.


[1] The Gap Report, UNAIDS, 2014.

[2] Lihat; Prichett, Lant et al. (2012). Looking Like a State: Techniques of Persistent Failure in State Capacity for Implementation. http://www.hks.harvard.edu/var/ezp_site/storage/fckeditor/file/239_PritchettWoolcockAnrews_loking_like_a_state_final.pdf

[3] Zunyou Wu et al., Lancet 2007: 369:679-90