Oleh : Chrysant Lily
Pada bulan Juli 2015, WHO mengeluarkan sebuah pedoman global yang baru untuk layanan tes HIV. Pedoman ini kembali menegaskan bahwa Provider Initiated Testing and Counseling (PITC) merupakan salah satu strategi penting dalam meningkatkan cakupan layanan tes HIV dan menghubungkan klien ke layanan lanjutan. PITC juga dikenal sebagai ‘tes rutin’ atau ‘tes konseling HIV terintegrasi di sarana kesehatan’ dimana berbeda dengan pendekatan tes HIV yang diprakarsai oleh klien, dalam PITC tes HIV ditawarkan oleh petugas di fasilitas layanan kesehatan secara rutin. Dengan pendekatan ini hambatan-hambatan yang ada dalam tes HIV yang diprakarsai oleh klien bisa diperkecil, antara lain karena klien bisa mendapatkan tes HIV sambil mengakses layanan kesehatan lainnya serta tes HIV bisa dilaksanakan tanpa harus bergantung pada motivasi klien untuk mencari tes HIV. Tes HIV bisa lebih dikondisikan sebagai sesuatu yang normal dan sifatnya rutin, sehingga diagnosa lebih dini bisa didapatkan oleh mereka yang mengakses layanan di fasilitas kesehatan.
Berbagai manfaat dari PITC ini mulai diperkenalkan sejak tahun 2007 oleh WHO[1]. Di Indonesia sendiri, Kemenkes telah mengeluarkan pedoman penerapannya sejak tahun 2010. PITC biasanya dilaksanakan sebagai bagian dari layanan Kesehatan Ibu dan Anak dimana tes HIV ditawarkan oleh petugas layanan kepada ibu-ibu hamil yang mengakses layanan di fasilitas kesehatan. Sayangnya setelah sekitar lima tahun diterapkan, masih sangat sedikit evaluasi terhadap penerapan PITC di Indonesia. Apabila ada, evaluasi tersebut skalanya kecil dan hasilnya tidak terpublikasi dengan baik sehingga sulit diakses untuk dijadikan sebagai pembelajaran bersama. Padahal di masa-masa awal PITC diperkenalkan, telah ada banyak literatur yang memperingatkan tentang diperlukannya kehati-hatian dalam penerapan pendekatan ini, sebab ada area-area resiko yang butuh perhatian lebih lanjut agar PITC bisa membawa manfaat sesuai yang diharapkan.
Gruskin et al. (2008), contohnya, memperingatkan bahwa salah satu aspek resiko adalah terkompromikannya hak asasi dari ibu hamil yang menjadi target PITC dalam beberapa hal. Pertama, panduan PITC dari WHO menekankan bahwa pre dan post-counseling adalah 'komponen integral dari proses tes HIV' dan merupakan tahapan yang harus diterima oleh semua orang yang mengikuti tes terlepas dari apapun hasil tesnya. Akan tetapi Gruskin et al. mencatat bahwa karena diberikan sebagai bagian dari layanan kesehatan yang lain, ada kecenderungan konseling direduksi menjadi sebatas pemberian informasi. Tenaga kesehatan harus turut melakukan berbagai tugas yang lain sehingga proses konseling yang memadai tidak terprioritaskan. Tidak saja karena faktor tenaga kesehatan, hak atas konseling juga berpotensi diabaikan karena masalah infrastruktur. Contohnya dalam paparan di Forum Nasional VI JKKI, dr. Ni Komang Yuni Rahyani menjelaskan bahwa peran bidan dalam memberikan konseling tidak dapat berjalan dengan baik karena tidak tersedianya ruangan khusus konseling. Tanpa langkah konkrit untuk mengatasi masalah beban kerja maupun infrastruktur ini, hak ibu hamil atas konseling dalam PITC akan tetap sulit dipenuhi.
Masalah berikutnya adalah dari segi persetujuan atau informed consent. Di banyak tempat pengaruh gender dan kelas sosial membuat relasi antara tenaga medis khususnya dokter dengan pasien (terlebih pasien perempuan) menjadi tidak setara. Pasien tidak bisa mempertanyakan nasihat medis dari dokter, termasuk saran untuk menjalani tes HIV. Padahal, pedoman WHO maupun Kemenkes untuk PITC menekankan bahwa PITC bukan merupakan tes wajib dan ibu hamil berhak untuk menolak tawaran untuk tes HIV. Selama belum ada strategi untuk memastikan bagaimana informed consent tetap bisa dipenuhi walaupun ada kendala budaya seperti ini, pada prakteknya kesempatan dan hak untuk menolak tawaran tes HIV tidak akan bisa terwujud bagi banyak ibu hamil.
Masalah ketiga berhubungan dengan hak atas rujukan ke layanan lanjutan paska tes HIV dilaksanakan. Dibanding pedoman dari WHO yang sebelumnya, pedoman PITC yang baru lebih menegaskan lagi bahwa hubungan ke layanan pencegahan, perawatan dan dukungan adalah komponen utama dari layanan tes HIV. Di pedoman sebelumnya (termasuk yang diadopsi oleh pedoman PITC Kemenkes), azas yang dikedepankan dalam PITC adalah 3 C yaitu consent atau persetujuan dari klien, disertai counseling, dengan menjaga confidentiality. Di pedoman WHO yang baru azas ini diperluas menjadi 5 C dengan tambahan bahwa hasil tes itu harus tepat (correct), dan connect atau terhubung dengan layanan lanjutan. Intinya, tes HIV sendiri bukan merupakan sebuah tujuan melainkan cara untuk mencapai link to care. Akan tetapi pada prakteknya kesenjangan dari yang jumlah orang yang dites HIV dengan yang masuk ke perawatan masih terlalu besar, dan ini mengindikasikan bahwa yang menjadi fokus masih pada bagaimana PITC menjadi jalan untuk meningkatkan cakupan tes, bukan sebagai jalan untuk memastikan klien mendapatkan hak untuk terhubungkan dengan layanan lanjutan sejak dini.
Masih ada beberapa aspek lainnya yang diperingatkan oleh Gruskin et al. (2008) sebagai potensi masalah dalam penerapan PITC, khususnya terkait resiko pemenuhan hak ibu hamil sebagai salah satu target utama dalam pendekatan ini. Diperlukan evaluasi lebih lanjut untuk melihat sejauh mana penerapan PITC di Indonesia bisa mengatasi kendala-kendala tersebut. Lebih jauh lagi, diperlukan langkah-langkah praktis untuk memastikan adanya sinergi antara kepentingan programatik dengan etik dimana PITC sebagai praktek kesehatan masyarakat yang baik perlu agar tetap mampu konsisten dengan etika dan hak asasi manusia.