Oleh : Ign. Praptoraharjo

Pengantar

Dalam lima tahun terakhir ini penularan HIV melalui hubungan seksual yang tidak aman kembali menjadi faktor risiko yang utama baik secara heteroseksual maupun homoseksual. Kebijakan penanggulangan AIDS di Indonesia pun dititikberatkan untuk mengendalikan penularan HIV melalui program pencegahan penularan HIV melalui transmisi seksual (PMTS). Pilar PMTS dikembangkan baik secara struktural dengan mendorong terbangunnya lingkungan yang kondusif maupun pada tingkat individual melalui komunikasi perubahan perilaku. Dua fokus program tersebut dilengkapi dengan adanya akses yang lebih besar utuk pemeriksaan infeksi menular seksual dan terjaminnya pasokan kondom. Meskipun demikian ada satu tingkat yang belum disikapi dengan jelas dalam kebijakan itu yaitu pada tingkat dyad (pasangan) dimana hubungan seksual ini pada dasarnya merupakan interaksi antar dua orang yang dengan motif-motif tertentu menentukan bagaimana bentuk hubungan seksual yang dijalaninya.

Studi tentang perilaku seks terkait dengan penularan HIV selama ini menunjukkan bahwa jenis pasangan seks biasanya dikategorikan paling tidak ke dalam tiga kategori yaitu pasangan seks tetap/regular, pasangan seks suka sama suka (casual) dan pasangan komersial. Jenis pasangan ini sejatinya menunjuk pada jenis interaksi sosial yang berbeda antara pasangan satu dengan pasangan yang lain. Hubungan seks pada pasangan non-komersial cenderung lebih tidak aman (tidak menggunakan kondom) dibanding dengan hubungan seks dengan pasangan komersial. Dengan melihat karakteristik hubungan sosial berdasarkan jenis pasangan tersebut tentunya program PMTS akan menghadapi dilema yang serius untuk mempromosikan perilaku seksual yang aman secara konsisten mengingat selama ini promosi untuk melakukan hubungan seksual cenderung hanya dengan pasangan komersial dimana studi-studi sebelumnya menunjukkan tingkat penggunaan yang lebih tinggi. Perhatian terhadap dinamika hubungan seks non-komersial ini menjadi sangat penting diperhatikan dengan semakin meningkatnya jumlah pasangan seks non-komersial yang tertular HIV (misalnya meningkatnya jumlah pasangan dari penasun, pelanggan WPS atau LSL yang terular HIV).

Interaksi Seksual

Interaksi seksual pada dasarnya adalah berbagai episode hubungan seksual yang melibatkan dua orang yang mencakup di dalamnya semua interaksi dan tindakan komunikasi yang mengarahkan, mengkerangkakan, dan memberikan makna bagi hubungan seksual dari pasangan tersebut (van Campenhout et al, 1997). Berdasarkan definisi tersebut maka beberapa pertanyaan yang perlu diajukan ketika menginvestigasi pola relasi seksual dalam kaitannya dengan risiko penularan HIV yaitu: (1) motif-motif apa yang dimiliki oleh dua orang pasangan ini menjalin sebuah interaksi? (2) Apa saja perilaku dari pasangan tersebut jika tujuan akhirnya adalah berhubungan seks? (3) Faktor-faktor apa saja yang berkaitan dengan dorongan atau menghindari ririko HIV yang mungkin terjadi? (4) Sikap-sikap seperti apa yang dimiliki oleh pasangan seksual tersebut untuk melibatkan kondom atau tidak dalam rangka melindungi dari penularan HIV? (5) Situasi seperti apa yang membuat percaya bahwa pasangan yang satu tidak membahayakan pasangan yang lain dalam kaitannya dengan penularan ini? Beberapa pertanyaan ini pada dasarnya adalah untuk mengindikasikan nature of relationship yang mungkin bisa mengarahkan atas penjelasan mengapa partner yang satu lebih memungkinkan perilaku yang protektif dibandingkan dengan pasangan seks yang lain.

Untuk bisa merespon berbagai pertanyaan tentang sifat interaksi seksual ini, Bastard et.al (1998) menyarankan beberapa faktor yang perlu dilihat dalam menganalisis relasi seksual yaitu (1) analisis jenis pasangan seksual berdasarkan harapan dan sifat atau isi dari hubungan yang dijalinnya, (2) tahapan dari interaksi sosial tersebut dan posisi pasangan dalam tahapan tersebut, (3) ruang sosial dari interaksi yang dibangunnya, (4) keseimbangan kuasa dalam interaksi dan (5) pemahaman tentang tubuh dan kesehatan dalam kaitannya dengan pihak yang lain. Berbagai faktor  ini pada hakekatnya bisa mengarahkan pada pemahaman tentang bagaimana cara-cara pasangan tersebut mengadaptasi risiko yang terwujud dalam bentuk-bentuk persepsi terhadap pasangan dan perilaku yang dilakukan digunakan dalam kaitannya dengan masalah AIDS dalam relasi yang sedang mereka lakukan. Berbagai faktor ini bisa digunakan untuk menganalisis proses komunikasi tentang risiko diantara pasangan seksual dan berbagai metode yang kongkrit yang untuk melakukan perlindungan terhadap kemungkinan penularan AIDS, termasuk didalamnya adalah proses rasionalisasi dan berbagai alasan untuk menjelaskan praktek-praktek tersebut.

Dengan demikian, sebuah interaksi seksual ini akan menyangkut dimensi situasional, waktu, makna, kuasa, emosi dan situasi risiko (Van Campenhoudt et al, 1997). Masing-masing dimensi ini akan berpengaruh terhadap variasi hasil akhir dari perilaku seksual yang dikembangkan oleh pasangan seksual tersebut. Dalam perspektif sosiologis, berbagai dimensi ini menunjuk pada dimensi struktur, proses dan makna. Dengan memperhatikan dimensi-dimensi ini maka interaksi seksual tidak bisa hanya disederhanakan dalam analisis tentang keluaran (output) semata – memakai kondom atau tidak memakai kondom tetapi harus mengkaji berbagai situasi yang menjadi konteks dari keluaran atas interaksi sosial tersebut. Beranjak dari pemikiran ini maka penanggulangan AIDS dalam hubungan seksual seharusnya menempatkan pendekatan interaksional sebagai fokus untuk mendorong perubahan perilaku karena bagaimanapun penggunaan kondom atau tidak akan tergantung sifat interaksi dari pasangan yang mengikatkan diri untuk berhubungan seksual.

Pentingnya memahami interaksi antar dua orang ini ditegaskan oleh Ahlemeyer (1997) yang melihat bahwa interaksi seksual pada dasarnya merupakan sebuah sistem komunikasi yang dikembangkan oleh dua orang yang menjadi pasangan seksual yang terlepas dari sistem komunikasi yang lebih besar. Menurutnya, hubungan sistem dyadic ini adalah sebuah system yang relatif tertutup dimana pengaruh sosial maupun karakteristik pribadi tidak bisa secara langsung bisa mempengaruhi relasi diantara dua orang ini. Pengaruh ini hanya akan tampak ketika norma sosial atau harapan pribadi ini masuk akal di dalam dyadic system tersebut. Sebagai sebuah sistem yang tertutup maka akan memungkinkan juga untuk menginvestigasikan mengapa tindakan yang aman hanya bisa dilakukan dengan partner tertentu sedangkan dengan partner lain tindakan tersebut tidak berlaku.

Kedekatan Emosional

Dimensi pertama yang perlu dilihat dalam memahami interaksi seksual adalah kedekatan emosional. Kedekatan emosional menunjuk pada seberapa besar harapan dan komitmen yang dimiliki oleh pasangan seksual ini terhadap bahwa hubungan yang yang sedang dikembangkan melibatkan cinta atau kepercayaan terhadap satu dengan yang lain. Dengan demikian dimensi ini bisa dilihat dari dua hal yaitu harapan dan komitmen. Dalam relasi seksual antara pekerja seks dan pasangan seksualnya, pekerja seks memiliki harapan yang berbeda ketika mengembangkan hubungan dengan pasangan tetap dan komersialnya. Hubungan dengan pasangan tetap cenderung akan melibatkan cinta dan kepercayaan sementara hubungan dengan pasangan komersial lebih didominasi oleh hubungan bisnis semata (Nemoto et al, 2004; Wolfers et al, 1991). Sementara itu dilihat dari pasangan seksualnya, laki-laki yang memiliki relasi dengan pekerja seks mempunyai variasi harapan yang berbeda terhadap hubungan yang mereka bangun. Laki-laki yang tertarik karena kepribadian pekerja seks cenderung akan lebih melibatkan perasaan cinta, sementara laki-laki yang menjalin hubungan seksual dengan waria karena ketertarikan fisik dan eksotis cenderung akan lebih mementingkan hubungan yang didominasi oleh pertukaran (Oprario et al, 2008).

Kedekatan emosional juga bisa dilihat berdasarkan pada komitmen pada hubungan yang sedang dibangunnya. Bastard et al (1997), membedakan komitmen ini dengan menganalisis dari makna dari interaksi seksual yang dibangun yaitu fusion relationships dan associative relationships. Pasangan seksual yang berkomitmen terhadap fusion relationships cenderung akan memiliki kedekatan emosional yang tinggi dalam arti aspek romantik merupakan bagian dominan dari relasionship karena hubungan ini mengandaikan adanya total sharing diberbagai aspek dalam hidup mereka. Sementara itu, associative relationship merupakan relasi yang lebih menekankan aspek pertukaran dari interaksi yang dibangun oleh kedua pasangan. Pertimbangan rasional dan untung rugi lebih dominan di dalam relasi ini dari pada aspek romantisme. Hubungan ini misalnya sangat tampak pada hubungan pekerja seks yang terlibat dalam kerja seks karena definisi dari kerja seks merupakan hubungan pertukaran. Oleh karenanya dilihat dari kedekatan emosional ini akan terlibat bahwa interaksi seksual yang terjadi lebih sedikit melibatkan aspek emosional sehingga kemungkinan untuk mengintroduksikan bentuk perlindungan terhadap penularan HIV lebih dimungkinkan karena rasionalitas ekonomi lebih menjadi dasar atas tindakan tersebut. Sementara perilaku yang protektif menjadi lebih sulit dilakukan pada interkasi sosial yang lebih melibatkan emosi karena upaya perlindungan merupakan hal yang tidak relevan dalam interaksi yang dilandasi oleh cinta dan kepercayaan. Ketika introduksi sistem perlindungan ini dilakukan maka hubungan yang sedang dibangunnya menjadi dipertanyakan. Meski demikian ini tidak selalu menjadi kasus terhadap interaksi seksual komersial, dimana terjadi kelangkaan di pasar pasangan seksual maka upaya proteksi ini menjadi semakin sulit untuk dilakukan.

Waktu dalam Interaksi Seksual

Dimensi waktu memiliki pengaruh yang besar terhadap interkasi seksual. Oleh karena interaksi seksual tidak hanya melibatkan tindakan seksual semata teapi juga melibatkan aspek komunikasi diantara pasangan seks sehingga memberikan struktur pada interaksi ini. Hubungan seks yang pertama kali dilakukan akan memberikan makna yang berbeda dengan hubungan seks pada masa-masa berikutnya. Tingkat familiarity pasangan seksual yang diimplikasikan oleh komunikasi antar pasangan akan menentukan bentuk perilaku seksual yang dilakukan termasuk juga tentang relevansi penggunaan kondom di dalam hubungan seksualnya. Familiarity dalam interkasi seksual ini dicapai dalam waktu yang relatif singkat karena self-disclosure dan intimacy yang diimplikasikan oleh hubungan seksual dan konteks kedekatan dari kontak tersebut. Sejumlah studi menunjukkan bahwa pasangan seks yang pertama kali berhubungan seks dengan menggunakan kondom pada waktu yang relatif cepat penggunaan kondom tersebut akan ditinggalkan. Demikian juga dalam konteks prostitusi, semakin mengenal pekerja seks dengan pasangan komersialnya, menyebabkan kondom menjadi tidak relevan karena mereka menjadi lebih saling mengenal.

Relasi Kuasa

Analisis interaksi seksual selalu mengimplikasikan adanya analisis relasi kuasa diantara pasangan seksual. Analisis yang tidak memperhatikan aspek power relationship akan mengakibatkan pengambilan kesimpulan yang salah karena didasarkan pada hubungan yang setara diantara pasangan seksual yang terlibat. Relasi kuasa pada hakekatnya adalah menjadi bagian penting dalam interaksi seksual karena interaksi ini membawa bersama dua orang yang memiliki tujuan berbeda dengan sumber daya yang berbeda pula. Selain itu, analisis relasi kuasa memungkinkan untuk mengidentifikasi pengaruh satu pasangan atas pasangan yang lain berdasarkan sumber daya yang dimilikinya. Pengaruh sosial yang berupa ideologi gender, norma seksual, atau hubungan gender dalam pasangan seksual ini akan lebih nyata ketika analisis relasi kuasa ini dilakukan.

Keseimbangankuasa bisa dilihat dari identifikasi atas sumber-sumber kekuasaan yang yang dimiliki oleh partner yang potensial berpengaruh terhadap interaksi seksual yang mencakup berbagai jenis modal (capital) yang dimiliki oleh pasangan yang bersangkutan seperti social, economic, culture and symbolic capital (Bastard et al, 1997). Penguasaan yang lebih besar terhadap capital ini cenderung akan memiliki pengaruh untuk menentukan bentuk dan sifat dari relasi sosial yang dibangunnya. Social capital menunjuk pada jaringan sosial yang dimiliki oleh seseorang untuk memperoleh pasangan seksual. Economic capital adalah kelebihan yang dimiliki oleh seseorang sehingga memiliki kesempatan yang lebih besar untuk memilih dan bertemu dengan pasangan seksual yang lain, menjadi tempat bergantung bagi pasangan seksual yang tidak memiliki sumber ekonomi. Sedangkan cultural capital adalah kelebihan seseorang yang diperoleh dari pendidikan atau pengalaman. Symbolic capital merujuk pada kemampuan untuk memobilisasi capital-kapital yang disebutkan terdahulu untuk memperoleh status tertentu atau kelebihan relatif dimata pasangan seksualnya.

Sejumlah studi telah menunjukkan bahwa kebanyakan perempuan pekerja seks atau waria memiliki keterbatasan dalam penguasaan capital karena pendidikan mereka yang rendah, tingginya kerentatan ekonomi, pangalaman terhadap diskriminasi dan keinginan untuk diafirmasi identitas gendernya serta isolasi sosialnya (Nemoto et al 2004, Gorbach & Holmes, 2003, Oprario et al 2008, Wolffers et al, 1998). Oleh karenanya dengan menggunakan analisis relasi kuasa, tampaknya perempuan atau waria akan memiliki kuasa yang lebih lemah ketika berhadapan dengan pasangan seksualnya baik komersial mapun non komersial. Kelemahan ini yang kemudian dimanfaatkan oleh pasangan seksual mereka untuk memperoleh hubungan seks yang tidak aman yang menurutnya lebih menyenangkan.

Komunikasi Seksual

Seperti telah disebutkan di atas bahwa interaksi seksual pada dasarnya adalah sebuah sistem komunikasi yang dibangun oleh pasangan seksual. Jenis-jenis sistem komunikasi dalam interaksi seksual yang pada gilirannya akan menentukan apakah perilaku aman dimungkinkan atau tidak. Dengan mendasarkan pada karakteristik komunikasi, keterkaitannya dengan lingkungan serta keterkaitannya dengan risiko terhadap AIDS, sistem komunikasi di dalam interaksi seksual yang bertujuan untuk memperoleh kesenangan secara seksual, membangun hubungan cinta, untuk menghasilkan keturunan dan untuk untuk memperoleh penghasilan akan mengimplikasikan relevan atau tidaknya pembicaraan tentang penggunaan di dalam interaksi yang dibangunnya (Ahlemeyer, 1997). Gorbach dan Holmes (2003) melaporkan bahwa komunikasi tentang HIV dan pengurangan risiko pada pasangan-pasangan homoseksual dan heteroseksual menunjukkan variasinya berdasarkan jenis pasangan seksualnya. Lebih jauh mereka melaporkan bahwa komunikasi diantara pasangan tentang penggunaan kondom memiliki asosiasi yang positif terhadap penggunaan kondom. Meski demikian, komunikasi tentang penggunaan kondom ini sering menjadi isu yang sulit untuk dimunculkan di dalam sebuah relasi yang melibatkan komitmen emosional diantara dua pasangan ini karena membawa isu ini ke dalam relasi akan menyebabkan terganggunya relasi yang sedang mereka kembangkan.

Implikasi terhadap Pengembangan Kebijakan PMTS

Gambaran di atas telah menunjukkan bahwa pemahaman tentang relasi seksual antara satu orang dengan orang yang lain tidak bisa direduksi hanya pada tingkat output semata tetapi harus ada pemahaman yang lebih mendalam terhadap dimensi-dimensi dalam interaksi seksual yang mencakup kedekatan emosional, waktu, relasi kuasa dan sistem komunikasi diantara pasangan seksual. Perhatian tentang aspek relasional ini secara praktis akan membantu memahami situasi permasalahan dan kondisi-kondisi tertentu yang penting untuk mengembangkan upaya pencegahan dan sekaligus bisa digunakan untuk memperkuat program-program yang ada dengan memberikan pandangan dari mereka yang melakukan interaksi seksual. Program yang hanya berfokus pada individual jelas tidak akan mampu untuk menangkap kompleksitas interaksi yang kompleks ini karena mengasumsikan pada kebebasan dan independensi dari individual tersebut. Sementara intervensi yang diarahkan untuk membangun norma sosial tampaknya juga akan menghadapi persoalan efektivitas karena norma sosial yang diperkenalkan ini hanya akan ada efeknya jika sesuai dengan sistem komunikasi yang dibangun oleh pasangan seksual tersebut.

Untuk itu, pemahaman yang mendalam tentang karakteristik interaksi seksual ini seharusnya bisa diakomodasi di dalam pengembangan intervensi PMTS melalui pengembangan strategi komunikasi dan promosi yang lebih spesifik. Misalnya dengan mengintroduksikan ukuran-ukuran pengurangan risiko di luar penggunaan kondom sesuai dengan karakterstik hubungan seksual yang dimiliki, mengembangkan promosi penggunaan kondom pada pasangan tetap dengan tidak meningkatkan risiko terhadap hubungan yang sedang dimilikinya, penguatan kegiatan penjangkauan yang tidak semata-mata berfokus pada penyebaran kondom tetapi lebih berfokus pada obrolan tentang seksualitas serta promosi dan penyediaan layanan konseling dan tes HIV atau IMS bagi pasangan. Meskipun pengembangan program ini tidak mudah, tetapi kesediaan untuk mempertimbangkan kompleksitas interaksi seksual dalam pengembangan program PMTS itu sendiri pada dasarnya sudah merupakan capaian yang lebih maju dari pada sebelumnya. (G)

Referensi:

Wolffers, I, Rika Subarniati Triyoga, Endang Basuki, Didikyudhi, Walter Devilleí And Rachmat Hargono Pacar and Tamu: Indonesian women sex workers’ relationships with men, CULTURE, HEALTH & SEXUALITY, 1999, VOL. 1, NO. 1, 39- 53

Ahlemeyer, H. W., & Ludwig, D. (1997). Norms of communication and communication as a norm in the intimate social system. In L. Van Campenhoudt, Cohen, M., Guizzardi, G. and Hausser, D (Ed.), Sexual Interaction and HIV Risk. New Conceptual Perspectives in European Research (pp. 22-43). London: Taylor & Francis.

Bastard, B., Cardia-Vonèche, L., Peto, D., & Van Campenhoudt, L. (1997). Relationships between sexual partners and ways of adapting to the risk of AIDS: Landmarks for a relaitionship-oriented conceptual framework. In L. Van Campenhoudt, Cohen, M., Guizzardi, G. and Hausser, D (Ed.), Sexual lnteraction and HIV Risk. New Conceptual Perspectives in European Research (pp. 44-58). London: Taylor & Francis.

Gorbach, P., & Holmes, K. (2003). Transmission of STIs/HIV at the partnership level: Beyond individual-level analyses. Journal of Urban Health, 80(0), iii15-iii25.

Nemoto, T., Operario, D., Keatley, J., & Villegas, D. (2004). Social context of HIV risk behaviours among male-to-female transgenders of colour. AIDS Care, 16(6), 724 — 735.

Operario, D., Burton, J., Underhill, K., & Sevelius, J. (2008). Men who have sex with transgender women: challenges to category-based HIV prevention. AIDS Behav, 12(1), 18-26.

Van Campenhoudt, L., Cohen, M., Guizzardi, G., & Hausser, D. (Eds.). (1997). Sexual Interaction and HIV Risk. New Conceptual Perspectives in European Research London: Taylor & Francis.