Oleh : Hersumpana, Ig.

Ilustrasi | Kebijakan AIDS IndonesiaUpaya meningkatkan penjangkauan pada populasi dan kelompok yang tersembunyi dan sulit didekati membutuhkan strategi pendekatan yang tepat dan kebijakan yang memihak. Kunci keberhasilan dalam pencegahan penularan HIV yang diyakini adalah kemampuan mengembangkan strategi dan kebijakan untuk melakukan penjangkauan kepada populasi kunci (Most At Risk Population). Kebijakan layanan pencegahan dan layanan HIV  yang memberikan prioritas kepada populasi kunci selama ini dipandang sebagai strategi dan langkah yang tepat dalam penurunan angka penularan HIV yang lebih luas. Penanganan sumber penularan secara proporsional dapat membantu lebih efektif upaya penanggulangan AIDS di berbagai negara. Setiap negara memiliki dinamika perkembangan dan karakteristik penularan epidemi HIV dan AIDS yang berbeda. Sebagian besar Asia dan Asia Tenggara, penularan HIV dan AIDS disebabkan oleh perilaku resiko yang kompleks, meliputi penularan melalui transmisi seksual oleh pekerja seks (WPS),  lelaki yang seks dengan  lelaki,  kelompok transgender dan penasun[1]. Tulisan ini mencoba mencermati strategi dan kebijakan untuk layanan HIV bagi kelompok tersembunyi dan rentan.

Satu hal paling mendasar yang perlu terus dikembangkan adalah ketersediaan data yang reliable yang menggambarkan jumlah sekaligus memotret permasalahan yang dihadapi kelompok populasi kunci. Satu strategi untuk memperoleh data yang terpercaya adalah dengan melakukan Survey Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP) pada 2007 dan 2011 pada populasi kunci tertentu menunjukkan kecenderungan peningkatan yang tajam seperti prevalensi pada kelompok LSL (5%) pada 2007 meningkat menjadi 12 % pada 2011, demikian juga pada populasi waria menunjukkan angka yang tetap tinggi, yakni 24 % pada tahun 2007 menjadi 23 % pada 2011, meski ada penurunan tetapi tidak cukup bermakna, demikian halnya pada populasi WPS, yakni 10 % pada 2007 menjadi 9 % pada 2011.  Sementara, survey lainnya  STHP  2013 di dua Provinsi di Tanah Papua menunjukkan prevalensi HIV sebesar 2,3 % pada masyarakat umum, yang diperkirakan prevalensi pada populasi asli lebih besar.  Data-data tersebut menjadi dasar pengembangan kebijakan dan program terkait dengan layanan HIV dan AIDS pada populasi kunci. Seperti program pencegahan untuk penasun dengan seperti Needle dan Syringe Program (NSP) dengan pemberian jarum suntik steril yang cukup berhasil dalam mengurangi laju infeksi baru, sedangkan program PMTS dirancang untuk pencegahan pada WPS, LSL dan kelompok transgender dengan konsistensi penggunaan kondom untuk seks beresiko.

Strategi pengumpulan data memainkan peran vital untuk perencanaan dan pengembangan program yang sesuai dengan karakteristik dan dinamika epidemi yang berkembang. Hal ini ditegaskan oleh penelitian PKMK FK UGM tentang upaya integrasi penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan bahwa informasi strategis atau data masih dikuasai oleh pusat baik sistem pengumpulan datanya hingga tata kelola pemanfaatan datanya[2]. Pengertian pusat di sini adalah pemerintah ( kemenkes) maupun MPI (donor).  Penguasaan sistem, mekanisme pengumpulan dan pemanfaatan ini menentukan jenis program yang dikembangkan.  Perbedaan sistem dan mekanisme pengumpulan yang diacu selama ini seperti IBBS sebagai metode yang secara metodologis diakui dalam mendapatkan data-data yang menggambarkan keterwakilan dari populasi tertentu, tidak lepas dari kepentingan dan kebijakan dari lembaga yang memberikan dukungan.  Perbedaan sistem dalam mendapatkan perkiraan terkait perkembangan epidemi ini perlu disesuaikan dengan karakteristik perkembangan epidemi yang disebabkan oleh faktor perilaku resiko tertentu. Sehingga upaya intervensi yang dikembangkan  semakin mendekati kenyataan dari fakta yang berhasil dipotret dengan metode yang terpercaya. Apalagi penggalian data pada jenis populasi yang tersembunyi dan sulit dijangkau ini menjadi tantangan tersendiri secara metodologis untuk mendapatkan data yang sahih dan menghindari bias seperti double counting (penghitungan double) sehingga menjadi overestimate pada populasi tertentu seperti estimasi pada kelompok LSL yang memanfaatkan media sosial yang sulit dilacak kebenarannya[3]

Demikian halnya pada pemetaan WPS di hotspot, dan  estimasi pada populasi umum, observasi sumber dengan kerangka metode sistematis yang dapat menjamin keterwakilan menjadi prasyarat dalam melakukan penjangkauan pada kelompok ini. Data yang mendekati ‘kebenaran’ yang dapat dipertanggungjawabkan secara metodologis dengan keterbatasan dan prosedur etisnya, menjadi bukti yang bermanfaat untuk pengembangan kebijakan  (evidence base policy) maupun pengembangan intervensi program pada kelompok populasi kunci. Cakupan yang semakin luas dalam penjangkauan pada kelompok yang sulit dijangkau merupakan bentuk dari keberhasilan pengembangan strategi pendekatan yang dikembangkan oleh NGO untuk mengakses layanan HIV sebagai bagian dari continuum of care. Peran kelompok NGO dalam hal ini menentukan dalam mendorong peningkatan cakupan jangkauan populasi kunci untuk dapat bekerjasama dalam  penyediaan layanan HIV. Seperti Pengalaman di Cameron, menunjukkan bahwa adanya lebih banyak CBO yang menyediakan layanan berpengaruh terhadap peningkatan akses layanan kesehatan pada populasi pada kelompok LSL. Intervensi program yang menyertakan kader komunitas dapat mengurangi barrier pada kelompok LSLdalam mengakses layanan[4].

Dari aspek kebijakan menunjukkan terkait dengan penjangkauan kelompok-kelompok yang sulit dijangkau masih mengalami diskriminasi dan stigmatisasi, khususnya kebijakan-kebijakan pemerintah yang menghambat upaya penanggulangan HIV pada kelompok populasi kunci, seperti kebijakan anti prostitusi yang menghalangi populasi untuk mendapatkan perawatan dan akses layanan kesehatan oleh karena keberadaan kebijakan anti prostitusi menyebabkan terjadinya pergerakan yang tidak terkontrol dari populasi kunci ke berbagai daerah lain. Pergerakan ini menimbulkan konsekwensi dalam mendapatkan jaminan layanan kesehatan yang menggunakan basis kewiayahan dalam prosedur dan persyaratan pemberian layanan.  Asas portabilitas dalam pratik untuk kelompok populasi kunci (WPS) yang bekerja di luar daerah dengan tanpa kartu Identitas yang berbeda, tidak mendapatkan akses layanan secara memadai.  Kebijakan baru yang akan merevisi UU Narkotika (pasal 4 No 35 tahun 2009)[5] terkait pasal rehabilitasi dengan ‘pemenjaraan untuk semua pengguna napza’ pada 2016 yang didengungkan oleh Kepala BNN yang baru,  Budi Waseso, menjadi satu tantangan berat dan dilema bagi para penjangkau kelompok ini.  Kebijakan yang tidak sensitif menjadi upaya dan kerja keras melakukan advokasi hukum bagi penasun untuk mendapatkan rehabilitasi seperti kembali ke titik nol.  Sudah barang tentu kebijakan yang ‘keras’ bisa berdampak serius pada upaya-upaya penjangkauan bagi penazun ke depan.

Pada prinsipnya, strategi penjangkauan bertujuan untuk memperluas layanan kepada kelompok-kelompok yang sulit dijangkau dan tersembunyi sehingga kemudian bisa terpapar dengan layanan HIV dalam rangkaian layanan berkelanjutan mulai dari preventif-promotif, pengobatan dan rehabilitasinya. Kejelasan data populasi kunci menjadi dasar untuk pengembangan intervensi yang sesuai, apakah layanan akan disediakan secara tersendiri  atau terintegrasi ke dalam sistem layanan kesehatan umum. Sejauh ini, integrasi diyakini menjadi pilihan yang dipercaya dapat menjadikan layanan semakin efektif dan efisien.  Salah satu program yang paling kentara yang diintegrasikan adalah integrasi program PPIA kedalam layanan KIA. Strategi penjangkauan akan semakin efektif apabila didukung oleh sistem informasi data yang baik yang dapat mampu memperkirakan keberadaan populasi kunci yang sulit dijangkau dan kebijakan sensitif yang tidak mendiskriminasikan atau mengriminalkan kelompok populasi kunci  seperti yang terjadi pada kelompok WPS dan IDU belakangan.  Sebuah tantangan baru bagi para pekerja kemanusiaan di depan mata, advokasi panjang untuk kelompok populasi kunci agar mendapatkan akses layanan kesehatan yang baik, dapat lenyap dalam waktu singkat di tangan pengambil kebijakan yang tidak paham persoalan dan lebih mementingkan citra politik. 


[1] Breyrer C, Baral S, Kerrigen D, El-Bassel D, Gail-Bekker, Selentano D, Expanding the Space: Inclusion of Most-at-Risk Populations in HIV Prevention, Treatment, and Care Services. J Acquir Immune Defic Syndr. 2011 August ; 57(Suppl 2): S96–S99. doi:10.1097/QAI.

[2] PKMK FK UGM, Upaya penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam sistem Kesehatan. Yogyakarta: Insist Press, 2015.

[3] Media sosial (grinder, hornet, facebook) banyak digunakan oleh kelompok-kelompok populasi kunci untuk melalukan penjangkauan maupun mengestimasikan jumlah dari populasinya. Perlu mekanisme checking dan kontrol yang sistematis untuk menghindari bias penghitungan (sharing pengalaman Vesta dalam diskusi Kultural PKMK FK UGM tentang Mengestimasikan orang-orang berbasis di Jalanan, bersama dengan Paul Kellner, PhD Student, Universitas Oxford, 19 November 2015).

[4] Holland CE, Papworth E, Bilong SC, Kaseegne S, Petitbon F, Mo, ndoleva V, et al., Access To HIV Services at Non Government Organization and Community based organization Among Men who have sex with Men in Cameron: An Integrated Biological Behavioural Surveillance Analysis. PloS One 10 (4) e0122881. Doi. 10:1371/journal.pone.0122881.

[5] Berita Satu.com, Diplot Jadi Kepala BNN, Buwas ingin revisi UU Narkoba.

Penelitian

Knowledge Hub

knowledgehub

knowledgehub

knowledgehub

Informasi

sejarahaids sistemkesehatan kebijakankesehatan kebijakanaids

Didukung oleh

AusAID