Oleh: Hersumpana, Ig.

Ilustrasi | womenshealthency.comIsu kekerasan terhadap perempuan merupakan masalah penting yang membutuhkan perhatian serius, terutama kasus kekerasan terhadap perempuan dengan HIV dan AIDS. Sebuah survei pendokumentasian kekerasan pada perempuan dengan HIV Positif yang dilakukan oleh Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI) memberikan gambaran penting mengenai tingkat kerentanan perempuan positif HIV terhadap berbagai kekerasan yang dialami. Risiko kekerasan yang kompleks dialami meliputi kekerasan fisik, kekerasan seksual, kekerasan psikis, kekerasan ekonomi, diskriminasi karena status HIV dan kasus sterilisasi/aborsi paksa[1]. Tulisan ini menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi kompleksitas kekerasan terhadap perempuan positif HIV yang masih mengalami pengabaian hak-haknya untuk mendapatkan perlindungan baik secara hukum, sosial dan kultural.

Meskipun dari aspek hukum sudah terdapat kemajuan dalam memberikan jaminan perlindungan perempuan dalam rumah tangga dengan adanya UU no 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), akan tetapi perlindungan perempuan dengan HIV positif dan AIDS belum memberikan jaminan perlindungan yang memadai. Diskriminasi dan stigmatisasi terhadap ODHA bahkan dilakukan oleh petugas kesehatan dalam akses layanan seperti ditemukan oleh penelitian PKMK di 10 provinsi[2]. Diskriminasi secara struktural ini  secara umum dialami oleh penderita HIV dan AIDS  dalam memperoleh jaminan seperti JKN yang belum sepenuhnya memberikan jaminan kepada para penderita AIDS dan hanya mencakup jenis obat IO tertentu.  Diskriminasi  yang disebabkan oleh karena statusnya sebagai perempuan dengan HIV  mencapai 28,7 persen dari survei penelitian IPPI. Seperti hasil penelitian dari Maman et al (2008) mendapatkan kesimpulan bahwa perempuan dengan HIV positif dibandingkan dengan perempuan yang negatif di Tanzania mengalami kekerasan 52 % berbanding 29 %[3] baik oleh pasangan maupun masyarakat. Data ini menunjukkan betapa kekerasan struktural masih menjadi bagian dari kompleksitas yang dialami oleh para perempuan positif  dalam memperoleh akses layanan kesehatan.

Dalam kehidupan sehari-hari, para perempuan dengan HIV positif juga mengalami kekerasan yang berlipat yang dilakukan oleh pasangannya. Adapun bentuk kekerasan yang dialami oleh perempuan positif HIV dari pasangan intimnya menurut survei IPPI meliputi  kekerasan fisik mencapai 24 persen seperti dipukul, diinjak, sampai dicekik;  kekerasan seksual mencapai 28, 98 persen seperti dipaksa melayani seks meski sedang dalam masa haid;  dan  kekerasan verbal mencapai 30,24 persen dirasakan sebagai salah satu yang paling sering diterima dengan kata-kata kotor dan tidak pantas dari pasangannya.   Kekerasan fisik, seksual dan verbal yang dialami para perempuan positif merupakan permasalah serius  yang dialami perempuan positif secara global. Sebuah penelitian di Amerika memperkuat  temuan IPPI bahwa kekerasan oleh pasangan seksualnya menimbulkan permasalahan kesehatan mental yang luas yang disebut sebagai post traumatic stress disorder[4]. Disamping itu, kajian ini juga menunjukkan bahwa para perempuan yang positif  HIV memiliki comorbid kekerasan yang lebih besar dari pasangan dan komunitas.

Pengalaman kekerasan secara kultural  bagi perempuan yang positif dalam kontek budaya tertentu menjadi  sebuah ekslusi dan persekusi sosial seperti kasus yang sedang marak terkait dengan LGBT terakhir ini semakin memperkuat bagaimana secara kultural masyarakat menjadi sangat tidak toleran dan memberikan label secara membabi buta tanpa disertai argumentasi yang jelas dan benar.  Argumentasi berbasis bukti menjadi tidak berguna menghadapi berbagai stigma kultural, sehingga argumentasi terkait kesehatan ditinggalkan. Lebih memprihatikan lagi karena penderita HIV dan AIDS juga terancam kehilangan hak-hak sebagai warga negara. Diskriminasi terhadap perempuan secara khusus karena perbedaan gender yang dikontruksikan secara kultural menjadikan kekerasan yang kompleks semakin tidak berujung dihadapi oleh perempuan. Bahkan perempuan yang hamil bisa mengalami pemaksaan untuk pengguguran kandungan (aborsi) oleh pasangan atau keluarga mencapai 13, 58 persen.

Dari analisis faktor-faktor tersebut, dapat ditarik simpulan bahwa perempuan dengan HIV positif memiliki faktor kerentanan yang lebih besar dibanding kekerasan perempuan dengan HIV negatif mengalami kekerasan baik dari pasangan, maupun secara struktural, sosial dan kultural sehari-hari dimana dia berada. Kekerasan yang berlipat dan kompleks menjadikan posisi perempuan yang positif semakin tersisih dan terabaikan. Meskipun pada kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga sudah mendapatkan perhatian dari aspek hukum, akan tetapi pada kasus perempuan dengan HIV  perlu perhatian lebih serius sehingga hak-hak sebagai warga negara untuk mendapatkan perlakukan hukum yang adil dan perhatian secara sosial dan kultural yang layak sebagai manusia diperoleh.  Karena secara global sebagai mana resolusi PBB no 48/pasal 104 (1993) tentang Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan,disebutkan bahwa setiap tindakan  kekerasan berbasis gender  yang berakibat  atau kemungkinan mengakibatkan kekerasan secara fisik, seksual, dan psikologis atau penderintaan terhadap perempuan, meliputi ancaman seperti pemaksaan, kesewenangan, berkurangnya kebebasan, baik yang muncul di tingkat publik atau kehidupan privat bertentangan dengan hukum dan kemanusiaan. 


[1] IPPI, Pendokumentasian Kekerasan Terhadap Perempuan dengan HIV, 2012.
[2] PKMK FK UGM, Integrasi Penanggulangan AIDS Ke Sistem Kesehatan, 2015.
[3] Maman S, Mbwambo J, Hogan N, Kilonzo G, Campbell JC, Weiss E. HIV-positive women report more lifetime partner violence: findings from a voluntary counseling and testing clinic in Dar es Salaam, Tanzania. American Journal of Public Health. 2002; 92(8):1331–1337. [PubMed: 12144993]
[4] Campbell et al., The intersection of intimate partner violence against women and HIV/AIDS: a review. Int J Inj Contr Saf Promot. 2008 December ; 15(4): 221–231. doi:10.1080/17457300802423224.
Penelitian

Knowledge Hub

knowledgehub

knowledgehub

knowledgehub

Informasi

sejarahaids sistemkesehatan kebijakankesehatan kebijakanaids

Didukung oleh

AusAID