Oleh: Hersumpana Ignatius
Pola kebijakan pembiayaan penanggulangan HIV dan AIDS selama ini bersifat vertikal yang menggantungkan dari bantuan hibah dari donor internasional daripada menggali sumber-sumber pembiayaan dari dalam negeri. Kekawatiran keberlanjutan program penanggulangan HIV dan AIDS membayang di depan mata dengan rencana penghentian pembiayaan dari Global Fund pada 2016. Pertanyaannya sejauhmana kesiapan dari pemerintah Indonesia menggali sumber-sumber pembiayaan alternatif dari lokal yang dapat menjamin keberlangsungan intervensi program yang sudah dikembangkan selama ini ? sejauhmana integrasi kebijakan pembiayaan penanggulangan HIV dan AIDS dalam JKN?
Beberapa isu yang sering dimunculkan terkait dengan penanggulangan HIV dan AIDS adalah soal tiadanya payung hukum yang kuat untuk menjamin keberlangsungan komitmen pemerintah. KPAN dan KPAD yang dibentuk pemerintah untuk menangani HIV dan AIDS ini jika dibandingkan dengan Komisi-Komisi lain seperti KPU, KPID dan KPAI kurang mendapatkan perhatian dalam penganggaran rutin. Keberadaan KPA seringkali dipandang sebelah mata oleh pelaksana di level kabupaten/kota karena status payung hukum masih belum sekuat komisi-komisi lain yang dibentuk dengan Undang-Undang. Pada praktiknya, meskipun keanggotaan ketua dan anggota KPAN/KPAD itu berasal dari birokrasi tetapi fungsionalisasi peran mereka belum maksimal. Pemberdayaan kapasitas struktural terkait HIV dan AIDS menjadi isu penting untuk meningkatkan efektifitas layanan.
Isu keberlanjutan pembiayaan ini semakin krusial untuk digali model pembiayaan baru yang dapat menjamin program-program penanggulangan HIV dan AIDS. Potensi pembiayaan dari lokal ini seperti yang sudah berjalan ada dua model, yakni pembiayaan yang ditanggung oleh pemerintah dari sumber APBN dan APBD untuk obat-obat ARV yang selama ini dijamin dari diperoleh dari skema GF. Kedua, Era Jaminan Kesehatan Nasional yang mewajibkan seluruh masyarakat Indonesia mendapatkan akses layanan kesehatan yang bermutu dan terjangkau (murah) seperti amanat UU no. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SSJN) tidak terkecuali pada kelompok ODHA. JKN ini membawa angin segar bagi ketersediaan jaminan pembiayaan penanggulangan HIV dan AIDS.
Selama ini pembiayaan obat-obat ARV dan ART yang mahal dan tidak terjangkau disediakan gratis oleh pemerintah dengan pembiayaan program yang bersumber dari APBN. Akan tetapi ini, skema ini sampai kapan akan bisa berjalan? Karena secara perlahan jaminan kesehatan ini akan dialihkan ke JKN melalui BPJS Kesehatan. Pengintegrasian pembiayaan penanganggulangan HIV dan AIDS ke dalam JKN menjadi solusi alternatif dalam jaminan keberlanjutan pembiayaan layanan ke depan. Disamping itu, tentu saja penggalian komitmen pembiayaan dari sektor-sektor swasta (CSR) menjadi potensi yang sangat memungkinkan untuk pengembangan alternatif-alternatif pembiayaan yang selama ini belum banyak digali dari sektor swasta di Indonesia. Isu keberlanjutan pembiayaan penanggulangan HIV dan AIDS ini perlu pendekatan komprehensif dan integral melibatkan semua stakeholder untuk menjamin ketersediaan dan akses pembiayaan ke depan.