0leh: dr. Husein Pancratius R*. Sekretaris KPA Provinsi NTT.
Dari temuan data HIV di NTT ditemukan bahwa penyebaran Epidemi HIV AIDS baik sebagai sumber penularan maupun sebagai penyebaran penularan hampir selalu ditemukan hadirnya angka angka yang bermakna dari 2 (dua) kelompok masyarakat yaitu Kelompok Populasi kunci dan Kelompok Lelaki berisiko tinggi. Kehadiran kedua kelompok ini terutama berkaitan dengan identifikasi anggota kelompok (untuk masuknya program intervensi) selalu kurang berhasil, karena berkaitan dengan berbagai sebab yang menyebabkan anggota kelompok menempatkan diri sebagai masyarakat underground. Kita siapa saja, baik Pemerintah, Lembaga Sosial Masyarakat terkait, maupun Kelompok Dukungan Sebaya (KDS), sudah berupaya keras untuk mengenal dan mendata mereka, tetapi hasilnya; jumlah anggota sesungguhnya dari kelompok ini (angka riil) tetap tak terjangkau. Padahal secara Epidemilogi kalau kelompok ini bisa dijangkau sampai 80 % saja maka angka laju epidemi bisa menurun secara bermakna.
Oleh: M. Suharni
HIV dan AIDS bukan hanya persoalan kesehatan semata, tetapi juga berimplikasi pada permasalahan sosial, politik hukum dan ekonomi. Oleh karena itu upaya penanggulangan HIV dan AIDS merupakan permasalahan multisekroral yang melibatakan para pemangku kepentingan. Para pemangku kepentingan adalah mereka ada yang terdampak oleh HIV dan juga mereka yang memainkan berbagai peran dalam upaya penanggulangannya, yang terdiri dari ODHA, para pemimpin lokal, tenaga kesehatan, pemerintah, organisasi non pemerintah, organisasi berbasis masyarakat, organisasi berbasis kepercayaan, ikatan dokter, para pengambil kebijakan, sektor swasta, mitra pembangunan internasional dan dunia akademis. Oleh karena itu perlu perlu usaha serius untuk mengoordinasi para multipihak tersebut untuk mendukung upaya penanggunggalangan HIV dan AIDS.
Oleh: Ita Perwira
Penyakit Tuberkulosis (TB) masih menjadi salah satu isu prioritas penyakit menular secara global. Berdasarkan Global Tuberculosis Report tahun 2015 yang dikeluarkan oleh WHO, pada tahun 2014, ada sekitar 9.6 juta kasus TB (incidence[1]. Indonesia dengan perkiraan jumlah penduduk 254 juta menyumbang sekitar 1 juta[2] kasus TB yaitu 10% dari jumlah total global. Angka tersebut merupakan yang tertinggi kedua setelah China yang menyumbang 25% dan sejajar dengan India yang juga menyumbang 10%.
Oleh : M. Suharni
Teknik Delphi dapat digunakan dalam proses penyusunan kebijakan dan progam penanggulangan HIV dan AIDS yang melibatkan banyak aktor dengan beragam keahlian dan kepentingan. Teknik Delphi bukan hal yang baru, namun dianggap masih tetap relevan dan banyak digunakan untuk mencari konsensus terhadap suatu isu kebijakan. Tulisan ini akan menyajikan bagaimana teknik Delphi jika kita ingin membuat satu keputusan untuk salah satu aspek upaya penanggulangan HIV dan AIDS, seperti aspek pencegahan HIV dan AIDS di Puskesmas. Dasar tulisan ini adalah tulisan Rayen, M dan Hann, J.E. (2000) Building Consensus Using the Policy Delphi Method dan tulisan Chia-Chien Hsu (2007) The Delphi Technique: Making Sense Of Consensus. Selain itu, tulisan ini berdasarkan serangkaian pertemuan yang dilakukan oleh para peneliti dan konsultan PKMK- FK UGM dalam Pengembangan Model Pencegahan Melalui Transmisi Seksual di Tingkat Pelayanan Primer Puskesmas dan Jejaringnya.
Oleh: Hersumpana Ig.
Peristiwa kekerasan seksual terhadap perempuan (anak) yang dilakukan secara kolektif oleh laki-laki usia remaja atas perempuan sebaya atau usia dibawah umur yang menyeruak ke publik kurun waktu terakhir memicu kemarahan dan keprihatinan banyak pihak[1]. Ditengah perdebatan pro dan kontra untuk memberikan hukuman kepada pelaku kekerasan seksual dengan sanksi yang berat, ada usulan menghilangkan kemampuan pro-kreasinya dengan melakukan pengebirian diajukan sebagai bentuk hukuman dalam rancangan Peraturan Pengganti Undang-Undang (PERPU) tentang perlindungan anak dan perempuan dari kekerasan seksual. Satu sisi kebijakan perlindungan terhadap anak dan perempuan dari serangan seksual secara kolektif tentu semua sepakat sebagai bentuk upaya penertiban sosial dengan pemberian hukuman (punishment). Akan tetapi, sisi lain wacana sanksi pengebirian tentu perlu pemikiran yang matang, karena menyangkut hak paling asasi dari pelaku untuk pro-kreasi. Sementara tujuan dari pemberian sanksi atau hukuman semestinya adalah untuk membangun kesadaran pelaku. Permasalahan yang patut dikritisi lebih lanjut adalah apakah dengan kebijakan penghukuman yang keras merupakan solusi yang tepat dalam kasus ini? Apa yang perlu dilakukan untuk mengatasi kasus kekerasan seksual, karena perilaku ini berakar dari faktor kegagalan negara dan masyarakat sendiri dalam pendidikan moral dan kultural. Disamping itu, perlu mengembangkan strategi dan perspektif baru untuk pencegahan kekerasan melalui pendidikan kesetaraan dan sensitifitas gender kepada kaum laki-laki yang tumbuh dalam kultur patriarki untuk memutus lingkaran kekerasan seksual terhadap perempuan.
© 2024 Kebijakan AIDS Indonesia