Dibukanya sebuah resto pop-up (sementara) bernama June's HIV+ Eatery di Toronto, Kanada, menjadi perbincangan hangat di media sosial.

Pasalnya, resto ini mengusung konsep unik untuk meningkatkan kesadaran sekaligus melebur stigma negatif yang melekat pada pengidap HIV hingga kini. Diklaim sebagai yang pertama di dunia, pengunjung restoran bisa mencicip masakan buatan 14 koki pengidap HIV positif, tanpa perlu takut bahwa penyakit tersebut bisa tertular lewat makanan.

"Kami benar-benar ingin menantang stigma yang masih ada di sekitar HIV," kata Joanne Simons dari Casey House pada The Guardian.

Casey House merupakan rumah sakit pertama dan satu-satunya di Kanada bagi Orang dengan HIV dan AIDS (ODHA). Rumah sakit ini juga menggagas dibukanya resto June's HIV+ Eatery selama dua hari pada 7 dan 8 November 2017.

Gagasannya ini bermula dari studi jajak pendapat yang menemukan sekitar setengah orang Kanada menolak makan makanan yang disiapkan oleh penderita HIV positif.

Berdasarkan keterangan Avert.org yang menguraikan 80 referensi data soal stigma dan diskriminasi terhadap ODHA, ada hubungan timbal balik antara stigma dan diskriminasi, dengan pengidap HIV.

Perlakuan negatif hanya akan membuat mereka merasa terasing dan lebih rentan terhadap penyakit itu. Sementara mereka yang hidup dan bertahan, justru semakin rentan mengalami stigma negatif. Misalnya karena tempat layanan kesehatan yang diskriminatif.

Bisa disimpulkan, pengakuan hak dan dukungan memang dibutuhkan para penderita untuk mengantisipasi salah persepsi yang terjadi selama ini.

Meski banyak sudah kampanye dan sosialisasi mengenai ODHA, masyarakat masih belum sepenuhnya memahami dan bersikap terbuka pada para penderita. Hal ini tak terlepas dari mitos yang sebagian besar masih bertahan sampai sekarang, karena ketakutan masa lampau soal penularan epidemi HIV yang muncul pada tahun 1980 .

Kala itu pengetahuan soal ODHA belum berkembang. Masyarakat dulu kerap mengasosiasikan ODHA dengan seks bebas yang dianggap tabu dalam beberapa budaya, penggunaan narkoba, sikap tidak bertanggungjawab yang berawal dari kesalahan moral, hingga kematian yang disebabkan penyakit, pun hukuman mati agar penyakit tak menular.

"Representasi HIV dalam budaya dan media populer sering tidak berkaitan dengan kemajuan medis, serta berfokus pada kematian dan tragedi, atau kriminalisasi tak terungkap," beber salah satu koki bernama Mikiki pada Toronto Star.

Penting diketahui, Center for Disease Control and Prevention menyebutkan penularan HIV/AIDS tidak terjadi lewat udara atau air, peliharaan atau serangga, kontak kulit, keringat, air mata, urine, bahkan dengan berbagi makanan atau alat makan, hingga tempat duduk di toilet.

Lebih dari itu, penularan bisa terjadi dari ibu pada bayi saat kehamilan atau menyusui, lewat seks oral, pemakaian alat bantu seks secara bersama-sama, melalui transfusi darah orang yang terinfeksi, juga pemakaian alat dan perlengkapan menyuntik yang telah terkontaminasi.

Simons mengatakan, reaksi orang di media sosial dengan munculnya Resto June's sangat beragam, dan ia menjadikan ini sebagai kesempatan berharga untuk membahas mitos secara terbuka.

Ada banyak orang yang bertanya tentang bagaimana jika koki penderita HIV tak sengaja memotong dan melukai tangannya lalu darah masuk dalam masakan. Ia menjawab,

"Kami mengurusnya sebagaimana yang dilakukan orang lain di dapur: Anda memastikan memberikan pertolongan pertama, membersihkan daerah itu, membuang apa pun yang tersentuh oleh darah, dan kemudian membersihkannya. Kami akan melakukan itu terlepas dari memiliki HIV atau tidak--itu hal lazim."

Ada pula pertanyaan soal risiko penularan lewat makanan. Ia menjawab tidak mungkin seraya menerangkan, "HIV tidak hidup dengan baik di luar tubuh dalam waktu yang lama, dan melewati proses pemasakan virus akan mati."

Melansir Foxnews dan Newswire.ca, para koki pengidap HIV menggunakan celemek bertuliskan pesan unik terkait HIV seperti "I'm not a cook with HIV. I'm a cook," "Meals just like mom used to make. If mom had HIV," dan "I got HIV from pasta. Said no one ever."

Sumber

Upaya ini merupakan bagian dari kampanye "break bread, smash stigma," yang juga menjadi jargon resto pop-up, di mana orang-orang juga bisa menyuarakan pengalaman mereka dengan tagar #SmashStigma.

"(Resto June's) memungkinkan kami untuk dilihat sejujurnya, layaknya manusia," pungkas Mikiki.