Lensa Indonesia, 10 September 2014
Dampak penutupan Lokalisasi Dolly
LENSAINDONESIA.COM: Penutupan sejumlah lokalisasi di Surabaya belum menjamin penyebaran penyakit HIV/AIDS berkurang. Dinas Kesehatan (Dinkes) Surabaya mencatat, pasca penutupan Lokalisasi Dolly pada 18 Juni hingga saat ini, jumlah PSK yang mengidap HIV/AIDS mencapai 50 orang. Para PSK ini adalah hasil tangkapan razia yang rutin digelar Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Surabaya.
Kepala Dinkes Surabaya, Febria Rachmanita, mengatakan selama menggelar razia, Satpol PP selalu melibatkan tim dari Dinkes. Ketika Satpol PP berhasil menjaring perempuan yang diduga berprofesi sebagai Pekerja Seks Komersial (PSK), tim dari Dinkes akan melakukan pemeriksaan dan tes HIV.
Baca juga: PSK Dolly disinyalir masih beroperasi secara terselubung dan Tanpa PSK, Lokalisasi Dolly mati suri
Ketika sudah diketahui si perempuan mengidap HIV, maka pihaknya akan langsung memberikan obat antiretroviral (ARV). Berdasarkan penelitian, pasien HIV yang mendapat pengobatan ARV kecil kemungkinan menularkan HIV dibanding dengan yang tidak mengonsumsi obat tersebut. "Setelah kami beri ARV, selanjutnya para pengidap HIV ini akan kami kembalikan ke daerah asal mereka. Nantinya mereka akan ditangani Dinkes setempat," katanya.
Perlu diketahui, setelah Lokalisasi Dolly ditutup, Satpol PP Surabaya gencar menggelar razia di sejumlah tempat hiburan. Diantaranya tempat karaoke dan juga hotel-hotel kelas melati. Diduga tempat-tempat tersebut menjadi tempat PSK eks Lokalisasi Dolly untuk menjajakan diri.
Selain di hotel kelas melati dan tempat karaoke, Satpol PP Surabaya juga merazia sejumlah panti pijat yang diduga memberi layanan plus-plus. Panti pijat ini tersebar di sejumlah lokasi seperti di Kedungdoro, Darmo Park Jl Mayjend Sungkono dan juga di Kalibokor. "Selain untuk menjaring PSK eks Lokalisasi Dolly yang masih beroperasi, razia untuk juga untuk mendata warga yang tidak punya identitas," kata Kepala Satpol PP Kota Surabaya, Irvan Widyanto.
Sementara itu, Direktur Program Our Right To Be Independent (Orbit), LSM yang menangani penyebaran virus HIV/AIDS, Rudy Wedhasmara mengatakan, kebijakan Pemkot Surabaya menutup lokalisasi diyakini tidak akan mampu menekan penyebaran virus HIV/AIDS. Justru penutupan lokalisasi terbesar se-Asia Tenggara itu mengakibatkan virus mematikan itu menyebar kemana-mana.
Penyebaran tersebut lantaran para pekerja seks komersial (PSK) tidak lagi berpraktik di lokalisasi, melainkan di panti pijat, rumah karaoke, diskotik, spa dan sejumlah tempat-tempat hiburan lainnya. "Dengan tidak adanya lokalisasi, maka tidak akan ada lagi pemeriksaan rutin yang dilakukan Dinas Kesehatan Surabaya (Dinkes) Surabaya," katanya.
Dia menjelaskan, ada dua kategori PSK. Pertama, PSK langsung dimana PSK jenis ini berpraktik di lokalisasi. Kedua PSK tidak langsung. PSK jenis ini berpraktik di panti pijat, diskotik dan tempat-tempat hiburan. Nah, saat ini sudah mulai ada kecenderungan perpindahan PSK dari lokalisasi ke panti-panti pijat.
Ini ditunjukkan dengan makin menjamurnya panti pijat diseluruh penjuru Surabaya. Sebut saja di daerah Bratang dan juga Mayjend Sungkono, tepatnya di Darmo Park. Bahkan, di Jl Dharmawangsa yang notabene berdekatan dengan kampus Universitas Airlangga (Airlangga) juga terdapat panti pijat.
Dari sisi ekonomi, dengan menjamurnya rumah hiburan dan panti pijat, tentu akan berdampak pada peningkatan pendapatan daerah melalui pajak. "Risma itu menutup lokalisasi asal menutup saja, tanpa mempertimbangkan dampak sosialnya," terangnya.@iwan_christiono
Editor: Andiono Hernawan
Sumber: Lensa Indonesia