Oleh: M. Suharni dan Hersumpana

Diskusi KulturalMenutup jurang kesenjangan penanggulangan HIV dan AIDS adalah tema Hari AIDS  Sedunia yang dipilih oleh UNAIDS seperti yang disampaikan dalam web resmi UNAIDS[1]. UNAIDS telah mengidentifikasi ada 12 kelompok yang masih terdapat  kesenjangan antara kebutuhan dan kenyataan layanan HIV dan AIDS.  Dua belas kelompok itu adalah; 1.  Perempuan Muda, 2. Warga Binaan, 3. Pekerja Migran, 4. Pengguna Napza Suntik, 5.  Pekerja Seks, 6. Lelaki seks dengan Lelaki, 7.  Transjender, 8. Wanita Hamil, 9. Anak-anak, 10. Kaum difable, 11.  Kaum penyintas karena korban bencana, konflik atau perang.  12. ODHA.  Terkait dengan kelompok ini pemerintah Indonesia sudah melakukan banyak hal, namun ada beberapa kelompok yang belum mendapat perhatian optimal baik dari sisi kebijakan apalagi dari program untuk mereka. 

Dalam situs resmi Kementrian kesehatan  disebutkan respon pemerintah dalam 8 tahun terakhir dalam penanggulangan HIV dan AIDS. Upaya penanggulangan AIDS terus dikembangkan  mulai dari inovasi pencegahan penularan dari jarum suntik yang disebut Harm Reduction pada tahun 2006;  Pencegahan Penularan Melalui Transmisi Seksual (PMTS) mulai tahun 2010;  Penguatan Pencegahan Penularan dari Ibu ke Anak (PPIA) pda tahun 2011; Pengembangan Layanan Komprehensif Berkesinambungan (LKB) di tingkat Puskesmas pada tahun 2012; Terobosan paling baru yang disebut Strategic use of ARV (SUFA) dimulai pada pertengahan tahun 2013[2].

Untuk menutup jurang kesenjangan pada kalangan Warga Binaan Lapas/Rutan, pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM juga telah banyak melakukan terobosan mulai dari kebijakan penanggulangan HIV dan AIDS di Lapas/Rutan sampai dengan aksi nyata berupa penyediaan layanan di Lapas/Rutan.  Hasilnya pun sudah mulai terlihat walaupun beberapa kendala masih ditemui, seperti ketidakproporsional jumlah SDM kesehatan di Lapas/Rutan dibanding dengan jumlah penghuni Lapas/Rutan,  keterbatasan infrastruktur kesehatan dan juga stigma dan diskriminasi terjadi dikalangan para warga binaan.   Pada tahun ini, tema Hari AIDS di Indonesia mengangkat tema “Cegah dan Lindungi Diri, Keluarga dan Masyarakat dari HIV-AIDS dalam rangka Perlindungan HAM”.

Membangun Wacana:  Mengikis Gap Elitisme Program HIV/AIDS

Dua diskusi dengan kelompok sasaran yang berbeda dilakukan oleh PKMK-FK UGM terkait dengan tema Hari AIDS sedunia tema HAS di Indonesia  tersebut, yakni; Diskusi Online pada 28 November 2014 dengan peserta  dari berbagai  daerah   yaitu  para staf KPA Kota dan Kabupaten, Staf Dinas Kesehatan Kabupaten,  Dosen di Universitas, Sekolah Tinggi Kesehatan dan Politeknik Kesehatan,  Aktifis LSM, dan Peneliti Balitbang Kemensos.  Diskusi dengan tema menutup jurang kesenjangan dalam penanggulangan HIV dan AIDS ini mencoba mengangkat permasalahan dan upaya nyata yang telah dilakukan oleh berbagai pihak  di daerah para peserta masing-masing. 

Peserta dari Mataram menyampaikan bagaimana upaya KPA Kota Mataram bekerjasama dengan instansi terkait  dalam menanggulangi HIV dan AIDS pada pekerja migran. Terkait dengan upaya penanggulangan HIV dan AIDS dan bencana alam, dari Mataram juga menyampaikan bahwa ada pedoman Praktis Kesehatan Reproduksi pada Penanggulangan Bencana di Indonesia.  Dari pengalaman lapangan, maka peserta mengusulkan bahwa seharusnya penanggulangan HIV dan AIDS di daerah bencana dintegrasikan dalam pelayan kesehatan reproduksi, sehinga layanan PMTS, VCT dan PITC juga memungkinkan disediakan  di wilayah bencana.

Dari Jember, menyampaikan kegiatan mereka  di kampus  dalamupaya pencegahan   HIV dan AIDS di kalangan remaja, terutama di kalangan mahasiswa dan pelajar. Gaung program ABAT (Aku bangga aku tahu) juga disampaikan oleh beberapa peserta dari Mataram dan Banjar Baru sebagai bentuk program pencegahan dan promosi pengetahuan HIV dan AIDS.  Peran karang taruna menjadi perhatian peserta dari Jakarta untuk melibatkan karang taruna dalam upaya pengobatan dan perawatan ODHA.  Hal yang tidak kalah penting adalah pelaksanaan tema yang diangkat HAS kali ini yakni, cegah dan lindungi diri, keluarga dan masyarakat. Salah seorang peserta dari Makassar menafsirkan tema ini untuk mengajak  test HIV mulai dari diri kita. Peserta dari Makassar mengharapkan  test HIV sama dengan cek kesehatan umum (general chek up) sehingga test HIV bukan sesuatu yang ribet, menakutkan dan mengancam nama baik.  Sudahkah diri kita test HIV? Aksi konkrit keterlibatan dalam peringatan HAS 2014 ini, salah satunya dengan melakukan test HIV untuk memastikan tertular atau tidak.

Melihat dari kelompok yang terabaikan, maka belum ada peserta yang melaporkan ada kebijakan apalagi kegiatan penanggulangan HIV dan AIDS untuk kaum difable. Data tentang kelomok difable  dan HIV dan AIDS pun belum ada dalam berbagai laporan penanggulangan HIV dan AIDS.  Hal ini menjadi perhatian kita semua agar ada perhatian terhadap kelompok difable.  Kelompok difable  ini merupakan kelompok yang terabaikan, apalagi jika positif AIDS maka mereka mengalami doble burden (beban ganda), sebagai difable sekaligus  penderita AIDS.

Kesenjangan lain dalam upaya pencegahan HIV dan AIDS, adalah kesenjangan pengetahuan tentang cara penularan HIV dan perawatan ODHA. Kesenjangan pengetahuan ini pada akhirnya akan menimbulkan stigma dan diskriminasi oleh masyarakat pada kelompok ODHA.  Terkait dengan itu, maka PKMK UGM dan bekerjasama dengan Angkatan Muda Senopati, Rejowinangun Kotagede melakukan sarasehan kedua pada tanggal 30 November 2014  di lapangan terbuka  yang diikuti oleh para anak muda Kampung Rejowinangun.  Sarasehan yang diformat di alam terbuka dimulai dengan brainstorming apa itu HIV, bagaimana penularannya, dan upaya apa yang bisa dilakukan oleh diri sendiri dan warga untuk mencegah jangan sampai tertular HIV. Selanjutnya, apa yang harus dilakukan untuk mengetahui seseorang terinfeksi atau tidak dan kemana harus mencari pengobatan dan perawatan kalau terinfiki HIV.  Selain itu, materi KIE yang dibuat Yayasan Kembang diberikan pada para peserta agar peserta mempunyai pengetahuan dasar tentang IMS dan HIV. Komunitas pemuda ini tergabung dalam organisasi pemuda yang kritis terhadap berbagai persoalan budaya, politik hingga kesehatan.

Sebuah pertanyaan penting yang muncul dalam diskusi adalah terkait mitos penularan HIV dan AIDS. Apakah HIV dapat menular melalui jarum tatoo, air liur (saat berciuman), keringat, alat cukur.  Pertanyaan praktis tetapi sangat dibutuhkan oleh kelompok muda usia yang ingin tahu pandangan yang beredar di kalangan umum tentang AIDS yang cenderung bersifat parsial dan tidak mendalam.  Pemahaman yang keliru dan dangkal terkait HIV/AIDS mulai dari  apa itu HIV/AIDS, bagaimana cara penularannya, melalui media apa, dan bagaimana cara  mengobati jika tertular.  Bagi kalangan muda usia,  Promosi kondom yang dapat melindungi dari AIDS cukup sensitif dan sering disalahtafsirkan dengan promosi seks bebas. Yang penting dipahami adalah pendidikan pengetahuan AIDS ini bukanlah promosi soal seks bebas atau memfasilitasi orang untuk melakukan kegiatan yang melanggar norma.  Informasi yang benar terkait dengan HIV dan AIDS merupakan mandat dari kebijakan pemerintah seperti diatur dalam Peraturan Pemerintah No 87 tahun 2014 tentang perencanaan keluarga bencana, yang salah satu pasalnya menyebutkan tentang hak semua perempuan muda atau dewasa untuk mendapatkan  informasi terkait kesahatan repoduksinya.

Pengetahuan Masyarakat tentang AIDS Minim

Pengalaman berdiskusi dengan salah satu kelompok terabaikan kelompok gadis muda menunjukkan bahwa pengetahuan mereka masih minim. AIDS masih dipandang sebagai ‘tabu’ oleh sebagian besar masyarakat grassroot. Fakta ini memperkuat pengamatan kita, bahwa berbagai strategi penyuluhan yang selama ini dilakukan secara masif oleh Dinkes, sering tidak memunculkan pertanyaan kritis dan sederhana terkait AIDS. Forum diskusi alternatif untuk  berbagi  pengetahuan melalui diskusi informal yang santai tapi serius perlu dikembangkan untuk meningkatkan pengetahuan komunitas. 

Diskusi ini menjadi bagian dari penguatan sistem komunitas dalam memperoleh pengetahuan dasar terkait AIDS dan hubungannya dengan keragaman pemahaman yang simpang siur dalam khalayak masyarakat luas. Melalui terobosan-terobosan kecil dan terus-menerus ini dapat menjadi media efektif memperkecil gap terutama pengurangan diskriminasi dan stigma yang selalu dilekatkan dengan  penderita AIDS.

Lebih lanjut dari forum ini ada pendapat para peserta untuk melakukan sarasehan kepada para warga kampung lain, khususnya ibu-ibu dan bapak-bapak sehingga mereka juga mendapatkan pengetahuan tentang bahaya AIDS dan pencegahannya.