Oleh: M.Suharni
Integrasi HIV/AIDS dan Tuberculosis (TB) masih menjadi tantangan besar di Indonesia. TB adalah salah satu penyakit penyerta yang banyak terdapat pada penderita HIV positif, sehingga upaya pengintegrasian penanggulangan kedua penyakit ini mendesak dilakukan[1] . Respon pemerintah terhadap HIV dan AIDS telah dimulai sejak tahun 1987 namun tren epideminya terus meningkat dengan pola penularan yang dinamis melalui heterosexual, jarum suntik dan homoseksual. Demikian juga dengan TB, berbagai upaya telah dilakukan mulai dari program pemberantasan TB paru dengan strategi DOTS (Direct Observed Treatment Shortcourse Chemotherapy) yang direkomendasikan WHO kemudian mengalami perubahan menjadi Program Penanggulangan TB.
Pembiayaan adalah komponen yang sangat penting dalam pengelolaan kesehatan, termasuk dalam upaya pengintegrasian penanggulangan AIDS dan TB. Beberapa hal penting terkait pembiayaan adalah sumber pendanaan, kecukupan, proporsi, kesesuaian peruntukan, distribusi dan keberlanjutan pembiayaan. Terkait dengan sumber pembiayaan, saat ini program penggulangan HIV dan AIDS di Indonesia sedang mengalami transisi karena pendanaan dari Global Fund (GF) yang akan segera berakhir. Benarkan dana dari GF akan berakhir? Untuk periode ini benar akan segera habis periodenya, tapi GF tetapkan menawarkan kemungkinan pendanaan dengan model baru yang disebut dengan New Funding Model (NFM) [2]yang bertujuan untuk menginvestasikan dana seefektif-efektifnya dalam penanggulangan HIV/AIDS, TB dan Malaria dan mereka yang terdampak oleh penyakit tersebut. Tawaran ini direspon oleh pemerintah Indonesia dengan pengajuan proposal melalui Country Coordinating Mechanisms Global Fund (CCM GF) di Indonesia yang prosesnya sudah berlangsung cukup panjang dan melibatkan berbagai kelompok kepentingan.
Sebagai bentuk partisipasi PKMK-FK UGM untuk mengawal pengajuan proposal ini, pada tanggal 9 April 2015 dilakukan diskusi dengan melibatkan CCM, KPA Provinsi DIY, KPA Kota dan Kabupaten yang ada di DIY, Dinas Kesehatan Kota DIY, Perguruan Tinggi, LSM, Kelompok Dukungan Sebaya, dan masyarakat umum dengan format diskusi tatap muka dan via webinar. Nara sumber dari CCM memaparkan bahwa penyusunan proposal NFM telah dilakukan melalui proses panjang dan melibatkan banyak pihak, bahkan konsultasi ke daerah telah dilakukan di beberapa daerah terpilih. Salah satu narasumber menyebutkan penyusunan proposal ini adalah penyusunan proposal yang transparan dan melibatkan penerima manfaat yang cukup intensif dan sangat berbeda dengan penyusunan proposal ke GF pada periode sebelumnya.
Proposal NFM ini disusun sejalan dengan Rencana Strategi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS 2015 – 2019 yang dibuat KPAN dan Rencana Strategi Nasional Penanggulangan TB, sehingga dalam proposal ini ada integrasi penanggulangan HIV-AIDS dan TB. Integrasi ini adalah upaya yang dilakukan dalam upaya efektifitas program dan efesiensi pembiayaan dengan harapan tercapainya tujuan penanggulangan AIDS dan TB. Proposal NFM yang diajukan telah mengintegrasikan dua program besar, yakni program penanggulangan HIV dan AIDS dengan program penanggulangan TB. Salah satu keuntungan dari integrasi program adalah efektifitas dan efisiensi pendanaan[3], namun pengintegrasian ini tentunya juga akan menimbulkan berbagai tantangan dalam pelaksanaannya, termasuk tantangan legal maupun tantangan teknis. Dalam paparan CMM disebutkan salah satu bentuk kegiatan yang akan diusulkan adalah menghilangkan hambatan legal (legal barriers). Dari segi teknis akan ada berbagai peningkatan kapasitas baik lembaga maupun sumberdaya manusia pelaksana program.
Dari sisi integrasi pendanaan, nampak bahwa NFM ini masih donor driven yang belum terintegrasi dengan mekanisme pendanaan kesehatan umum. Walaupun dalam proses pembuatan proposalnya sudah melibatkan banyak stakeholder, tapi ini diluar dari skema pendanan kesehatan yang ada. Seperti layaknya dana dari donor, maka pada akhirnya nanti tetap akan meninggalkan pertanyaan bagaimana keberlanjutan dana setelah NFM? Sudah saatnya kita meminimalkan timbulnya pertanyaan tersebut. Untuk itu integrasi penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan menjadi alternatif yang perlu dikembangkan lebih lanjut. Integrasi upaya penanggulangan AIDS ke dalam sistem kesehatan umum, komitmen pemerintah untuk keberlanjutan program, dan peningkatan partisipasi masyarakat menjadi poin penting untuk membangun rasa kepemilikan (ownership) dan engagement (keterikatan) untuk menuju target zero new infection, zero death related AIDS dan zero discrimination pada 2025. Wujud konkrit dari integrasi pendanaan adalah tersedianya dana dari pemerintah untuk penanggulangan AIDS dan TB melalui skema APBN dan APBD.
[1] Untuk konsep integrasi kedua penanggulangan kedua penyakit ini, Lihat: Coker, et.al (2010) Conceptual and analytical approach to comparative analysis of country case studies: HIV and TB Control programmes and health systems integrasi. Health Policy and Planning; 25; i21 – i31.