PKMK FK UGM bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan sebagai Principal Recipient GF ATM Komponen AIDS telah melakuan sebuah penelitian operasional terhadap implementasi LKB di Kota Yogyakarta dan Kota Semarang pada fasilitas kesehatan primer, fasilitas layanan kesehatan sekunder, KPA dan LSM/KDS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat berbagai faktor yang menghambat efektivitas pelaksanaan strategi LKB pada dasarnya terkait dengan konsep pelibatan (engagement) dan kepemilikan (ownership) dari pemangku kepentingan lokal terhadap inisiatif yang dilakukan oleh pusat (Kementerian Kesehatan). Olh karenanya intervensi yang dilakukan untuk permasalahan keterlibatan dan kepemilikan terhadap penerapan strategi LKB di kedua kota adalah dengan (1) mengaktifkan mekanisme koordinasi kurang berjalan selama ini sebagai media untuk ‘mengungkit’ pelibatan dan kepemilikan yang lebih besar terhadap penerapan LKB ini. (2) melakukan pelatihan tehnis bagi SDM dalam LKB sebagai bentuk upaya untuk meningkatkan keterlibatan dan tanggung jawab dari staf layanan.
Pemaknaan LKB sebagai strategi pelibatan barbagai pihak dalam layanan untuk menjamin kesinambungan tidak terlapas dari peran komunitas. Secara spesifik persoalan akses layanan ODHA terhadap pengobatan ARV dan keterkaitannya dengan pendampingan lanjutan oleh komunitas menjadi penting untuk dicermati efektivitasnya. Dalam diskusi kultural yang diselenggarakan oleh PKMK FK UGM pada tanggal 31 Juli 2015 menghadirkan tiga narasumber yaitu Zainal Abidin (Klinik Edelwise, RSUP DR. Sardjito), Sandeep Nanwani (Peneliti AIDS), dan Ragil Setya ( Pendamping Sebaya). Dalam diskusi tersebut mendiskusikan bagaimana peran pendamping dalam kerangka LKB.
Keterpaparan informasi LKB belum merata di semua penyedia layanan kesehatan. Peran pendamping diakui sangat membantu untuk memastikan keberlanjutan dan ketaatan ODHA dalam melakukan terapi. Ditambah lagi dengan banyaknya kasus loss follow up dari pasien ODHA yang mengases layanan di rumah sakit. Hasil kajian terhadap pasien ODHA yang mengakses layanan di rumah sakit menunjukkan adanya pergeseran makna dari kontrol kesehatan menjadi sekedar mengambil obat (ARV). Pergeseran makna ini didasari atas alokasi waktu yang dibutuhkan untuk konsultasi dengan dokter relative sedikit dibandingkan dengan lamanya waktu untuk mengantri obat di farmasi. Sementara kontrol kesehatan justru dibutuhkan peran dan tanggung jawab dokter yang lebih besar dari sekedar memberikan resep. Kritik atas layanan mobile VCT terhadap layanan keberlanjutannya, terutama pada populasi dengan mobilitas yang tinggi, bagaiman untuk memonitoring keberanjutan layanan CST, yang seyogyanya tidak hanya diberikan kepada pasien dengan HIV positif saja, akan tetapi dapat pula diberikan pada konteks layanan profilaksis pasca pajanan.
Pendampingan terhadap ODHA yang dilakukan oleh pendamping sebaya pada dasarnya ada upaya untuk memberdayakan ODHA khususnya dalam mendapatkan akses layanan, terutama pada saat pertama kali untuk memulai terapi ARV. Tantangan dalam pendampingan adalah sinkronisasi informasi antara pendamping dengan dokter, sehingga peningkatan kapasitas bagi pendamping ODHA menjadi satu hal yang penting untuk dikedepankan. (ss)