*catatan cultural meeting di Makassar, 28 Agustus 2015 
Oleh: Shanti Riskiyani

Suasana Diskusi Kultural | UNHASTantangan dalam memulai terapi ARV  tampaknya masih menjadi topic menarik dalam berbagai kesempatan diskusi, salah satunya adalah diskusi  kultural yang menjadi tema dalam diskusi kulutural yang diselenggarakan di Kota Makassar pada tanggl 28 Agustus 2015.  

Agenda utama dalam diskusi adalah ; sharing pengalaman dalam pemanfaatan ARV, baik dari sisi pendamping maupun ODHA yang mengaskes ARV.

Sharing pengalaman dimulai dari pendamping ODHA yang menjelaskan bahwa terdapat perbedaan dalam kualitas layanan dalam mengakses ARV. Perubahan itu dirasakan karena pengalaman langsung yang dimiliki sebagai ODHA yang mengakses secara langsung terapi ARV. Ketersediaan ARV yang sudah sampai di tingkat puskesmas, tidak menjamin bahwa ODHA akan mudah untuk berkonsultasi dengan dokter. Konsultasi dengan dokter hanya dapat dilakukan saat terdapat keluhan pada pasien. Meskipun sebenarnya kebutuhan bertemu dengan dokter sangat dibutuhkan lebih dari sekedar mengambil obat.

Sulitnya menemui dokter, menjadikan peran buddies dikedepankan. Sehingga justru buddies menampung banyak cerita pengalaman efek samping ARV. Buddies berperan pula menjadi perantara antara pasien dengan dokter. Manakala pasien mengalami hambatan untuk bertemu secara langsung dengan dokter.Keberadaan buddies diangap cukup efektif,  selain mereka memiliki banyak pengalaman menghadapi kasus efek samping, dampingan juga merasa lebih leluasa dan fleksibel ketika berinteraksi dengan buddies. Tetapi situasi ini menjadi tantangan tersendiri bagi buddies terutama ketika menemui kasus yang cukup langka dan harus berhadapan dengan dokter yang ternyata masih kalah pengalaman dengan buddies. Menurut mereka sangatlah sulit meyakinkan dokter akan suatu hal yang berhubungan dengan tindakan medis, terutama karena mereka dianggap tidak punya pendidikan yang mumpuni untuk itu. Sehingga dalam hal ini perlu kesepahaman antara buddies dengan dokter yang  bersangkutan. Pengalaman lain juga menunjukkan bahwa buddies memperlancar pasien dalam mengakses layanan kesehatan. Terdapat perbedaan antara mengakses layanan dengan ditemani oleh buddies dan tanpa buddies.

Sharing pengalaman lain menunjukkan bahwa kegiatan bersama yang dilakukan antara komunitas ODHA dengan staf penyedia layanan menjadi ruang untuk mereduksi stigma dan diskriminasi pada ODHA. Dengan melakukan aktivitas bersama seperti kerja bakti, dan acara informal, maka kedekatan akan terbangun dan membuat pasien tidak berjarak dengan penyedia layanan. Bahkan muncul pengembangan program baru seperti pemantauan gizi ODHA, serta melaoprkan food recall kepada petugas di POKJA HIV RS.

Dari pengalaman yang disampaikan oleh salah seorang pendamping ODHA menunjukkan bahwa persoalan stigma dan diskriminiasi tampaknya masih menyelimuti kehidupan ODHA, bahkan sampai soal perawatan jenasah. Terlebih bagi ODHA yang telantar belum mendapatkan dukungan sepenuhnya dari Dinas Kesehatan dalam hal pemakaman. Biaya yang diberikan relative kecil sehingga tidak mampu untuk melakukan pemakaman yang layak.

Selanjutnya masih terkait dengan kontradiksi layanan pada program SUFA (Strategic Use of Antiretroviral).Beberapa layanan yang memberikan ARV kadang tidak lagi melakukan pemeriksaan lengkap kepada seseorang yang baru mulai ARV. Padahal pemeriksaan terhadap fungsi hati dan ginjal dianggap penting, terutama untuk menentukan jenis regimen yang akan diberikan. Ini kemudian menjadi kendala tersendiri, mengingat bahwa pemeriksaan lengkap hanya dapat dilakukan di rumah sakit. Sebagian besar ODHA ataupun kelompok populasi kunci lebih memilih puskesmas sebagai layanan kesehatan mereka. Proses pelayanan yang tidak berbelit-belit dan jarak yang lebih dekat dari tempat tinggal mereka menjadi alasan memilih fasilitas kesehatan. 

Fasilitas layanan laboratorium yang lengkap kadang digunakan oleh layanan tertentu sebagai alasan ‘melarang’ pasiennya untuk pindah ke layanan lain. Rumah sakit akan menahan pasien untuk tetap mengambil ARV disana dan bahkan adapula yang mengancam bahwa jika pasiennya pindah, kemudian suatu hari ingin kembali lagi mengakses ARV di RS tersebut, ia tidak akan dilayani. Biasanya pasien meminta pindah karena alasan kepraktisan dan juga biaya. Jasa layanan di rumah sakit sebesar lima puluh ribu rupiah dirasakan sangat mahal bagi ODHA. Sedangkan jika mengambil ARV di puskesmas mereka tidak dikenakan biaya apapun.

Pengalaman kesulitan memperoleh ARV juga sempat diceritakan pada saat diskusi. Suatu waktu sempat terjadi kekosongan ARV di semua layanan walaupun tidak berlangsung lama. Komunitas melalui petugas lapangan dan buddies saling berkoordinasi untuk melakukan pinjam-meminjam obat dengan sesama ODHA.

Hasil diskusi kultural menyimpulkan bahwa, pelaksanaan program HIV di Makassar dianggap sudah semakin maju dengan mudahnya akses terhadap layanan HIV dan banyaknya fasilitas kesehatan yang disediakan bagi ODHA. Namun kembali lagi tantangan dan hambatan masih dirasakan oleh kelompok populasi kunci, terutama minimnya informasi mengenai layanan ataupun pengobatan yang diberikan. Masih banyaknya kasus putus obat dianggap diakibatkan oleh kurang maksimalnya konseling ketika memulai ARV dan makin sulitnya bertemu dokter jika tidak didampingi oleh buddies.