Digulirkankannya Perpres No. 124 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Perpres No. 75 Tahun 2006, menimbulkan beberapa kegelisahan. Dalam diskusi kultural kali ini, dinyatakan oleh KPA DIY dalam paparannya bahwa pasal 17B Perpres No. 124 Tahun 2016 bisa menimbulkan multi-tafsir dan hal ini yang kemudian memicu pertanyaan: Bagaimana nasib KPA di daerah ke depannya? Lebih jauh lagi, seperti apa nantinya upaya penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia, baik pada tataran nasional maupun sub-nasional? Secara tegas dinyatakan dalam pasal 17B tersebut, bahwa “pada saat Perpres ini mulai berlaku, peraturan pelaksanaan dari Perpres No. 75 Tahun 2006 tentang Komisi Penanggulangan AIDS Nasional dicabut dan dinyatakan tidak berlaku”. Fakta yang saat ini terjadi setelah pemberlakuan Perpres terbaru ini, Sekretariat KPAN sudah berpindah ke Kementerian Kesehatan RI dan sebagai Sekretarisnya adalah Dirjen P2P Kemenkes RI.

Ulasan di atas merupakan gambaran dinamika yang terjadi pada tataran nasional. Lalu seperti apa yang kemudian akan terjadi pada tataran daerah? Ditegaskan dalam forum diskusi ini oleh KPA DIY dan KPA Kota Yogyakarta, bahwa Yogyakarta tidak terlalu risau atas pemberlakukan Perpres yang baru tersebut. Namun, hal ini belum tentu berlaku juga di daerah yang lain. Bagaimana kemudian tiap-tiap daerah mensikapi adanya Perpres yang baru tersebut kaitannya dengan keberadaan lembaga Komisi Penanggulangan AIDS? Apakah kemudian daerah juga akan menerapkan pola yang sama dengan yang ada di nasional, mengintegrasikan upaya penanggulangan HIV dan AIDS ke dinas kesehatan setempat? Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana kemudian mekanisme koordinasi antar SKPD yang terlibat dalam upaya penanggulangan HIV dan AIDS ini? Apakah mungkin dinkes kemudian melakukan peran koordinasi bagi SKPD non-kesehatan yang lain, seperti halnya peran yang dulu dilakukan oleh KPAD? Satu hal lagi implikasi yang dikhawatirkan terjadi, yakni upaya untuk mendorong pemda untuk mengalokasikan anggaran daerahnya untuk penanggulangan HIV dan AIDS menjadi agak terganjal, jika penanggulangan HIV dan AIDS hanya menjadi ranah kesehatan saja. Dengan demikian, dikhawatirkan dukungan dari sektor non-kesehatan menjadi semakin kecil.

Pengalaman dari DIY, dengan mempergunakan Permendagri No. 20 Tahun 2007, mampu mendorong sektor non-kesehatan untuk turut ambil bagian dalam penanggulangan HIV dan AIDS dalam bentuk yang berbeda-beda. Dengan dasar kebijakan Permendagri tersebut, dimungkinkan untuk dilakukan perencanaan bersama dengan Bappeda setempat melalui mekanisme Musrenbang terkait dengan penanggulangan HIV dan AIDS. Selain itu, pelibatan populasi kunci dan layanan dalam perencanaan ini tanpa menemui kendala yang berarti. Beberapa kegelisahan yang muncul tersebut sebenarnya akan menjadi lebih jelas harapannya, jika muncul Permenkes yang memperjelas tata kelola penanggulangan HIV dan AIDS pasca pemberlakuan Perpres No. 124 Tahun 2016 atau pasca selesainya tugas sekretariat KPAN. Dalam konteks Yogyakarta, sebelum muncul Permenkes yang baru mengenai hal ini, maka kebijakan yang diacu tetap mempergunakan Perda Penanggulangan HIV dan AIDS di DIY.

Beberapa poin yang muncul dalam pemaparan yang disampaikan oleh KPA DIY, memicu beberapa diskusi di dalam forum diskusi kultural ini. Salah seorang peserta menanyakan apakah Dirjen P2P Kemenkes RI nantinya akan membentuk unit sendiri untuk penanggulangan HIV dan AIDS ataukah upaya ini akan ‘dicantolkan’ di salah satu direktorat? Beliau menegaskan, untuk Kota Yogya upaya penanggulangan HIV dan AIDS masih tetap sama hingga keluarnya Permenkes yang baru merespons Perpres No. 124 Tahun 2016. Tanggapan atas pertanyaan tersebut adalah meskipun DIY tidak terlalu terpengaruh, namun bagaimana dengan daerah yang lain? Sekali lagi ditegaskan bahwa adanya pasal 17B bisa menyebabkan interpretasi yang berbeda-beda. Lalu bagaimana jika kemudian menyelesaikan masalah stigma dan diskriminasi pada populasi kunci jika upaya penanggulangan HIV dan AIDS hanya pada ranah kesehatan semata? Dari diskusi tersebut, disepakati bersama bahwa sebenarnya yang perlu didorong atau diadvokasi adalah segera dikeluarkannya Permenkes. Harapannya Permenkes ini mampu mewadahi semua kepentingan berbagai pihak yang melibatkan SKPD/OPD terkait.

Satu pertanyaan reflektif lain adalah seperti apa implikasi dari adanya Perpres No. 124 Tahun 2016 terhadap penanggulangan HIV dan AIDS? Dan seberapa jauh daerah patuh terhadap Permenkes yang diharapkan segera turun tersebut? Pak Kaswanto mencoba untuk membagikan pengalamannya selama beliau menjabat menjadi Sekretaris KPA Kota Yogya, yakni ketika dulu pernah ada wacana untuk pembubaran lembaga non-struktural, Pemkot Yogya sudah berniat untuk membuat sendiri lembaga untuk penanggulangan HIV dan AIDS selama ada payung hukum yang jelas dan dukungan dana dari APBD Kota. Tetapi yang menjadi persoalan saat ini, pada bulan Juni 2017 sudah mengajukan anggaran untuk program di tahun 2018. Bagaimana nanti jika ada Permenkes yang baru? Meskipun di Kota Yogya sudah ada Perwal dan SRAD Penanggulangan HIV dan AIDS sesuai dengan Surat Keputusan Walikota. Jika nanti Permenkes yang baru ternyata hanya mengurusi masalah-masalah kesehatan saja, maka tentu diperlukan formulasi yang baru agar aspek atau masalah yang lain juga bisa tertangani.

Satu hal yang seharusnya perlu menjadi perhatian dari adanya Perpres No. 124 Tahun 2016, yakni bagaimana nasib PMTS yang dulu diampu oleh KPAN? Kondisi yang ada terkait dengan PMTS adalah keengganan beberapa pihak untuk mengkoordinasikan intervensi bagi pekerja seks. Bagaimana pula dengan LSL yang selama ini juga belum diampu secara langsung oleh Kementerian Kesehatan. Dengan demikian, kemungkinan besar yang terjadi adalah aspek pencegahannya akan terabaikan. Selain itu, Bagaimana kemudian keterwakilan populasi kunci di KPA nasional? Apakah perwakilan LSM yang akan mengartikulasikan kepentingan populasi kunci?

Dengan adanya berbagai pertanyaan yang muncul dan tidak diketahui jawaban pastinya, maka pada akhir diskusi, disepakati bersama bahwa perlu dorongan dari masyarakat sipil untuk menanyakan kejelasan upaya penanggulangan HIV dan AIDS, khususnya pada tingkatan daerah terkait dengan dikeluarkannya Perpres No. 124 Tahun 2016. Pertanyaan ini akan dibuat atas nama Forum Diskusi Kultural HIV dan AIDS Yogyakarta dan ditujukan kepada Dirjen P2P Kemenkes RI sebagai Sekretaris KPA. Tujuan dari penulisan surat ini adalah bisa diperoleh informasi yang jelas bagi daerah secepatnya agar bisa dilakukan langkah-langkah antisipasi yang diperlukan dengan adanya perubahan tersebut.