Penelitian Daerah - Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS ke Dalam Sistem KesehatanUpaya penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia sangat dipengaruhi oleh inisiatif kesehatan global. Seiring dengan semakin menurunnya dukungan inisiatif global, upaya mengintegrasikan program HIV dan AIDS ke dalam kerangka sistem kesehatan nasional menjadi satu tantangan sekaligus harapan untuk mencapai efektivitas dan keberlanjutan program. Integrasi sebagai sebuah konsep diyakini menawarkan potensi terjadinya sinkronisasi sistem kesehatan yang terpadu untuk meningkatkan efisiensi sumber daya dan pembiayaan sehingga bisa meningkatkan efektivitas dan keberlanjutan program.

Penelitian ini bertujuan untuk memetakan tingkat integrasi program penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan di Indonesia serta untuk menghasilkan rekomendasi perbaikan sistem dan kinerja penanggulangan HIV dan AIDS dalam jangka menengah. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif dengan basis temuan Tim Peneliti Universitas di sebelas kabupaten/kota di Indonesia. Metode ini mengacu pada pendekatan yang dikembangkan oleh Atun et al. (2010) yang melakukan analisis sistematis berbasis hasil penelitian lainnya untuk menarik kesimpulan.

Hasil analisis penelitian ini menemukan bahwa integrasi upaya penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan masih lemah. Secara umum, fungsi regulasi dan formulasi kebijakan mengindikasikan adanya integrasi, tetapi terdapat kelemahan pada fungsi akuntabilitas dan daya tanggap karena daerah tidak memiliki mekanisme pertanggungjawaban yang strategis dengan melibatkan masyarakat secara bermakna dalam proses perencanaan, implementasi, dan evaluasi program. Temuan ini mempertegas bahwa permasalahan yang dihadapi bukan pada kemampuan menyusun kebijakan, tetapi pada kapasitas dalam mengimplementasikannya. Oleh karena itu, hambatan-hambatan dalam penerapan kebijakan membutuhkan strategi untuk meminimalkan faktor-faktor penghambat dan mendorong daya ungkit daerah dalam mengembangkan program penanggulangan HIV dan AIDS.

Fungsi penyediaan layanan (service delivery) paling potensial untuk diintegrasikan dan cenderung sudah mencerminkan penyediaan layanan terpadu (continuum of care) mulai dari intervensi pencegahan; perawatan, dukungan dan pengobatan (PDP); dan mitigasi dampak (MD). Ini terjadi karena kesiapan mekanisme penyedia layananan di layanan umum. Ia bisa mengadopsi layanan HIV dan AIDS mulai dari infrastruktur, sumber daya, dan standar layanan yang sudah berjalan. Sedangkan fungsi-fungsi lain seperti pembiayaan, sumber daya kesehatan, informasi strategis, dan partisipasi masyarakat yang sangat bervariasi belum teringrasi.

Tingginya variasi pada fungsi-fungsi sistem kesehatan yang belum terintegrasi tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor dari berbagai aspek. Dari aspek politik, misalnya, tingkat komitmen politik daerah terhadap penanggulangan HIV dan AIDS masih rendah sehingga tidak menjadikannya prioritas pembangungan kesehatan di daerah. Indikatornya, pemda cenderung enggan untuk mengalokasikan pembiayaan yang memadai bagi program penanggulangan HIV dan AIDS. Pembiayaan yang minimal ini juga dipengaruhi oleh konteks ekonomi di mana pemda masih bergantung pada dukungan donor (mitra pembangunan internasional/MPI) dan belum mampu mengoptimalkan potensi sektor swasta untuk berpartisipasi dalam penanggulangan HIV dan AIDS. Sementara dari aspek hukum, masih berlaku regulasi-regulasi yang menghambat akses atas layanan. Kapasitas daerah juga masih lemah dalam menentukan status epidemi daerah, sehingga upaya penanggulangan HIV dan AIDS masih mengandalkan program dan pembiayaan dari pusat.

Integrasi program penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan ditentukan juga oleh produktivitas interaksi antar-pemangku kepentingan kunci yang memiliki kekuasaan dan kepentingan. Penelitian ini menemukan bahwa pemangku kepentingan dengan kekuasaan tinggi memiliki kepentingan rendah dalam upaya penenggulangan HIV dan AIDS. Dengan situasi seperti ini, tantangannya ialah meningkatkan sensitivitas pemangku kepentingan kunci yang memiliki posisi strategis dan kekuasaan besar seperti kepala daerah, DPRD, dan Bappeda agar memiliki pemahaman dan kapasitas yang memadai dalam menyusun dan menerapkan berbagai kebijakan strategis mengenai HIV dan AIDS. Dengan begitu, maka rasa tanggung jawab (akuntabilitas) dan kepemilikan mereka terhadap program terkait HIV dan AIDS juga terpenuhi. Interaksi aktif dan produktif di antara para pemangku kepentingan kunci dapat menciptakan lingkungan yang kondusif (enabling environment) untuk mengoptimalkan intervensi program pencegahan, PDP, dan MD yang di sebagaian besar daerah menghadapi problem stigma dan diskriminasi dari aspek sosial, kultural, dan politik.

Interelasi antara tingkat integrasi, interaksi antar-pemangku kepentingan kunci, dan faktor-faktor yang memengaruhi integrasi belum mengindikasikan adanya pengaruh terhadap efektivitas program penanggulangan HIV dan AIDS. Di atas semua itu, kuat atau lemahnya sistem kesehatan di tingkat daerah itu sendiri juga turut memengaruhi integrasi penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan. Secara umum maka, temuan penelitian tentang integrasi penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan ini belum bisa dijadikan dasar pengukuran tingkat efektivitas program penanggulangan HIV dan AIDS secara keseluruhan.

Berdasarkan kondisi-kondisi tersebut, penelitian ini merekomendasikan bahwa integrasi sebagai sebuah tujuan ideal untuk menjamin efektivitas dan keberlanjutan program HIV dan AIDS bisa diwujudkan jika secara bersamaan juga diikuti upaya untuk memperkuat sistem kesehatan itu sendiri dengan: 1) Adanya sinergi pemangku kepentingan strategis (Bappeda/Bappeko, Bupati/Walikota, DPRD, dan SKPD) dalam menyikapi isu-isu HIV dan AIDS sebagai isu kesehatan daerah; 2) Penguatan fungsi regulasi melalui pengembangan kebijakan operasional di tingkat kabupaten/ kota terkait dengan peraturan daerah dan peraturan pusat; 3) Adanya kewenangan daerah yang lebih besar untuk mengelola data program dan data epidemiologis sebagai dasar untuk mengembangkan kewenangan administratif (perencanaan dan penganggaran) dalam memperkuat penyediaan layanan pencegahan, PDP, dan MD di daerah; 4) Adanya kesediaan pusat (pemerintah dan MPI) untuk menyerahkan sebagian besar kewenangan administratif dalam penanggulangan HIV dan AIDS sesuai dengan kapasitas daerah; 5) Adanya komitmen pemda untuk mengambil peran lebih besar dalam pencegahan melalui pendanaan kepada sektor komunitas yang selama ini didanai oleh MPI; 6) Adanya replikasi dari keberhasilan-keberhasilan dalam kebijakan penanggulangan HIV dan AIDS di tingkat daerah dan nasional; 7) Dukungan teknis dan finansial pemerintah pusat dan MPI bagi daerah perlu diarahkan secara langsung dalam penyusunan roadmap integrasi penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan di tingkat implementasi secara bersama; 8) Pelibatan yang lebih besar dari perguruan tinggi di daerah untuk menyediakan bukti (evidences) sebagai basis informasi pengembangan kebijakan daerah.

 

Silakan download dokumen lengkap pada link berikut.