Selama ini kebutuhan anggaran bersumber luar negeri untuk penanggulangan HIV dan AIDS tersebut dipenuhi oleh Global Fund, Departemen Luar Negeri Negara Australia, dana dukungan Amerika Serikat (USAID), Pemerintah Inggris (UK), badan-badan PBB  dan Organisasi Non Pemerintah Internasional (NGOI). Diperkirakan, sumber-sumber pendanaan luar negeri tersebut akan berkurang pada periode 2015-2019. Ketergantungan terhadap pendanan bersumber dari luar negeri ini  terutama untuk kegiatan dalam upaya promotif preventif.  Target 70% pendanaan HIV dan AIDS dari sumber domestik pada tahun 2014 tampaknya belum tercapai. Lebih dari 50% pendanaan masih bersumber dari luar negeri[1]. Sehingga perlu strategi dalam mobilisasi sumber pendanaan lainnya yang masih tersedia. Instruksi Presiden no 3 tahun 2010 tentang Program Pembangunan yang Berkeadilan, mengamanatkan kepada Gubernur dan Bupati/Walikota untuk mengambil langkah-langkah sesuai kewenangannya dalam pencapaian tujuan pembangunan Melenium (MDGs) dimana HIV dan AIDS merupakan MDGs Goal 6.

Experiences of Contracting with the Private SectorArtikel ini membahas sejumlah pengalaman pemerintah atau lembaga pembangunan dalam melakukan kontrak pelayanan kesehatan kepada sektor non-pemerintah. Artikel ini memberikan fokus pada kapasitas dari mekanisme pengontrakan untuk meningkatkan akses bagi kelompok miskin untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang dibutuhkannya. Artikel ini merupakan kumpulan dari sejumlah pengalaman di berbagai negara berkembang dengan berbagai contoh mekanisme kontrak dalam bidang medik, pelayanan kesehatan dasar atau keberlangsungan pendanaan publik bagi pelayanan kesehatan kelompok miskin.

Oleh : Ign. Praptoraharjo

Latar Belakang

contractingoutKesenjangan kebutuhan dan ketersediaan dana untuk penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia di masa depan akan mengancam cakupan layanan yang selama ini sudah dicapai secara nasional baik dalam upaya promosi dan pencegahan, perawatan, dukungan,  pengobatan serta mitigasi dampak[1]. Akibatnya, kemungkinan program HIV dan AIDS mencapai universal coverage pada tahun 2019 menjadi tantangan utama untuk bisa direaliasikan. Salah satu strategi yang banyak direkomendasikan oleh banyak pihak untuk menjamin keberlanjutan program yang diinisiasi dari Global Health Initiatives adalah dengan mengintegrasikannya dengan sistem kesehatan yang berlaku. Isu penting sebagai konsekuensi upaya untuk mengintegrasikan penanggulangan HIV dan AIDS adalah seberapa jauh sistem kesehatan di Indonesia ini mampu mengadopsi penanggulangan HIV dan AIDS yang komprehensif mengingat selama ini pendanaan APBN hanya difokuskan untuk upaya kuratif, sementara upaya promotif dan preventif masih sebagian besar menggantungkan sumber pendanaan dari luar negeri. Demikian pula pendanaan mitigasi dampak lebih banyak dilakukan oleh sektor non-kesehatan kecuali untuk pembiayaan perawatan infeksi oportunistik yang sudah ditanggung oleh JKN. Apakah dengan integrasi ke dalam sistem kesehatan, upaya promosi dan pencegahan bisa memperoleh perhatian yang besar dari pemerintah karena saat ini upaya tersebut sebagian besar dilakukan oleh sektor non-pemerintah khususnya lembaga swadaya pemerintah. Jika pemerintah menyediaan dana bagi kegiatan promotif dan preventif, apakah ada mekanisme yang memungkinkan bagi LSM untuk mengakses pendanaan tersebut sehingga memungkinkan untuk meneruskan peran mereka selama ini? Tentunya pertanyaan ini masih belum ada jawaban yang pasti mengingat upaya meningkatkan kinerja layanan kesehatan selama ini cenderung diarahkan untuk memperkuat aspek ketenagaan kesehatan dan penyediaan infrastruktur kesehatan. Masih sangat terbatas upaya untuk meningkatkan pelayanan kesehatan ini dengan pendekatan kemitraan antara sektor pemerintah dan non-pemerintah.

Oleh : Eviana Hapsari Dewi

World Hepatitis Day LogoHari Hepatitis Sedunia diperingati setiap tanggal 28 Juli. Tema global yang ditetapkan WHO untuk tahun ini adalah “Prevent hepatitis : Act now.”[1]. Bagaimana pengejawantahan dari tema tersebut, dikaitkan dengan upaya penanggulangan HIV dan AIDS selama ini? Kelompok penasun merupakan kelompok yang paling berisiko tertular HCV karena perilaku penggunaan jarum suntik yang tidak aman[2]. Hal ini diperkuat dengan hasil kajian sistematik mengenai penyakit Hepatitis B (HBV) dan Hepatitis C (HCV) yang menunjukkan bahwa kondisi epidemiologi HBV dan HCV secara global pada penasun di tahun 2010 adalah sekitar 10 juta penasun mengidap HCV positif dan tersebar di Eropa Timur (2,3 juta) serta Asia Timur dan Tenggara sebesar 2,6 juta. Jumlah ini kurang lebih 3,5 kali lebih besar daripada 2,8 juta penasun yang diestimasi dengan HIV. Sedangkan prevalensi pada populasi yang lain, misalnya LSL, dari salah satu hasil penelitian yang dilakukan di Boston, menunjukkan bahwa dari 1171 laki-laki yang terinfeksi HIV, dimana 96% nya merupakan LSL, sebanyak 1068 (91%) yang dilakukan skreening HCV, ternyata sebanyak 64 orang (6%) nya terinfeksi HCV[3]. Angka prevalensi ini tidak sebesar dengan prevalensi pada populasi penasun, seperti yang telah dinyatakan sebelumnya. Akan tetapi, data tersebut menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan tingginya angka prevalensi dan penularan penyakit Hepatitis C. Namun, WHO menyatakan bahwa pada tataran global penyakit Hepatitis C dirasakan masih kurang mendapatkan perhatian[4]. Padahal penyakit Hepatitis C berhubungan erat dengan infeksi HIV, karena ada kemiripan antara kedua infeksi tersebut. Dengan demikian, sebenarnya bisa diambil pembelajaran dari penanganan infeksi HIV untuk penanganan penyakit Hepatitis C. Virus Hepatitis C sepuluh kali lebih menular daripada HIV[3] melalui pertukaran sikat gigi atau alat cukur, pertukaran peralatan yang dipergunakan untuk menyiapkan napza, melalui transfusi darah yang tidak diskreening, sex yang tidak aman serta penularan dari ibu kepada anaknya.[5]. Dengan cara penularan yang relatif lebih mudah daripada HIV tersebut, maka Hepatitis C dianggap sebagai ‘silent killer’ dan semakin diperburuk jika ada koinfeksi dengan HIV[6].

Paul K Nelson, Bradley M Mathers, Benjamin Cowie, Holly Hagan, Don Des Jarlais, Danielle Horyniak, Louisa Degenhardt

Pengantar: Artikel ini merupakan hasil dari sebuah kajian sistematik sejumlah data dan laporan, baik yang dipublikasi maupun yang tidak (grey literature[1]) mengenai Penyakit Hepatitis B dan C pada penasun di beberapa negara.

Metodologi: Kajian dilakukan dengan beberapa tahapan, mulai dari pencarian dokumen, konsultasi tingkat internasional dan melakukan kajian kritis dengan para pakar HIV pada penasun.

Hasil: Review dilakukan pada 1125 dokumen yang terdiri dari peer-reviewed dan grey literature, dengan kriteria eligibilitas jika di dokumen tersebut menyebutkan jumlah atau prevalensi penyakit hepatitis pada penasun, baik di level nasional maupun sub nasional. Sebanyak 18 dari 127 (14%) sumber data dipergunakan untuk mengeneralisasi estimasi pada tingkatan regional dan berasal dari grey literature (dokumen yang tidak dipublikasikan).

Supported by

AusAID