Rabu, 04 Februari 2015
Jakarta, HanTer - Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) peduli HIV/AIDS, Indonesia AIDS Coalition (IAC), mengecam pernyataan Menteri Perdagangan, Rachmat Gobel yang dinilai menyesatkan masyarakat. Rachmat Gobel menyatakan, pemakaian baju bekas bisa menularkan HIV. Hal itu disampaikan saat menanggapi kasus baju bekas impor yang membanjiri pasar Indonesia.
Sementara, diketahui jika infeksi HIV hanya bisa terjadi karena kontak darah melalui hubungan seks tanpa pengaman, dengan pasangan yang terinfeksi HIV. Selain itu infeksi juga baru bisa terjadi disebabkan penggunaan jarum suntik yang tidak steril secara bergantian, perinatal dari ibu yang terinfeksi HIV kepada bayinya serta melalui air susu ibu yang terinfeksi HIV kepada bayinya.
"Infeksi HIV tidak bisa terjadi dengan mudah, bahkan untuk keempat jalur transmisi HIV tadi, sudah ada alat pencegahannya. Bahkan sekarang ibu yang positif HIV, dengan terapi yang tepat, bisa melahirkan anak yang sehat dan negativ HIV dengan tetap menyusui anaknya," kata Ayu Octariani, dari IAC dalam keterangannya kepada Harian Terbit, di Jakarta, Rabu (4/2/2015).
Ia menjelaskan, penggunaan baju bekas sama seperti halnya berenang, berjabat tangan, berpelukan dan kontak sosial lainnya tidak akan menularkan HIV. “Menggunakan pakaian bekas itu yang bisa tertular panu dan penyakit kulit lainnya dan bukan HIV.” tandas Ayu.
Ayu menambahkan, pernyataan mantan Presiden Komisaris PT Panasonic Gobel itu dipandang akan menyebarkan cap buruk terhadap upaya program penanggulangan AIDS yang selama ini gencar dilakukan berbagai pihak. "Pesan berbau Hoax semacam ini malah akan mengaburkan pesan pencegahan HIV yang sesungguhnya dan menyebabkan stigma serta diskriminasi kepada orang terinfeksi HIV semakin besar dikarenakan masyarakat takut melakukan kontak sosial dengan orang dengan HIV (ODHA)," tandasnya.
Menurut dia, ucapan dari tokoh dan public figure yang menyesatkan seperti ini akan membawa Indonesia kembali ke masa dimana HIV begitu ditakuti, sehingga pengidapnya kemudian dijauhi, dikucilkan atau bahkan diisolasi. Implikasi lanjutannya adalah orang jadi enggan memeriksakan diri terhadap status HIV-nya. Dan bagi yang sudah terinfeksi HIV akan enggan dan takut didiskriminasi untuk mendapatkan pengobatan.
“Jangankan mengedukasi masyarakat umum, di lingkar kabinet sendiri yang notabene berasal dari kalangan yang cukup punya pendidikan saja masih terdapat miskonsepsi terkait HIV dan AIDS," tutur Ayu Octariani.
Bantuan Luar Negeri
Pemerintah, lanjut Ayu, dibanding mengeluarkan pernyataan menyesatkan seperti itu, lebih baik mengambil langkah yang serius dalam menangani persoalan HIV dan AIDS. Ia memaparkan, salah satu bentuk ketidakseriusan pemerintah dalam menangani persoalan HIV dan AIDS adalah masih bergantungnya pendanaan bagi program penanggulangan AIDS dari bantuan luar negeri. Hal lainnya yang menjadi indikator belum seriusnya pemerintah, karena didapati bahwa kasus HIV pada perempuan dan anak terus mengalami angka peningkatan yang signifikan.
"Dengan masih beredarnya miskonsepsi mengenai HIV dan AIDS di kalangan anggota kabinet, mengindikasikan bahwa mungkin para anggota kabinet ini masuk dalam kriteria kelompok risiko tinggi terinfeksi HIV dikarenakan minimnya informasi akurat tentang HIV yang mereka miliki," ujarnya.
Oleh karena itu, Ayu mengaku pihaknya bersedia memberikan learning session bagi para menteri kabinet sekarang dan juga anggota DPR terkait informasi akurat pencegahan dan penanggulangan HIV, sehingga kedepan para menteri dan anggota DPR bisa melindungi dirinya dan keluarga dari infeksi HIV serta membuat pernyataan serta kebijakan yang produktif terhadap program penanggulangan AIDS.
(Arbi)