Kebijakan HIV  1987 - 2013

Kebijakan merupakan serangkaian keputusan yang dibuat oleh pemegang tanggung jawab pada bidang tertentu . Kebijakan tentang HIV/AIDS mencakup serangkaian keputusan dan aksi yang mempengaruhi lembaga, organisasi, dan system penyedia layanan dan pendanaan terkait dengan HIV/AIDS. Konteks kebijakan AIDS akan melingkupi kondisi politik,ekonomi dan sosial budaya ditingkat internasional, regional, nasional dan lokal. Sedangkan proses kebijakan akan dilihat bagaimana kebijakan itu diinisiasi, diformulasikan atau dikembangkan, dikomunikasikan, implentasi dan dievaluasi. Aktor dalam pembuatan kebijakan ini juga akan dilihat mulai dari individu, organisasi masyarakat, lembaga pemerintah, dan juga Mitra Pembangunan Internasional. Selanjutnya peristiwa yang menyebabka kebijakan itu ada juga ditinjau dalam tulisan ini. Dimulai dari dukungan berbagai pihak dari kelompok peduli, LSM, Populalasi Kunci, birokrat, organisasi masyarakat dan partai politik.

Sejak tahun 1987 sampai 2013 ada 10 kebijakan internasional, 66 kebijakan nasional, dan 21 kebijakan tingkat Provinsi dan Kabupaten/kota. Pada priode awal isi kebijakan mayoritas adalah kebijakan lembaga (institusional policy) yang mengacu pada pembentukkan lembaga, seperti Pembentukan KPA, KPA Provinsi, KPA Kabupaten/kota. Sampai tahun 2013 kebijakan tentang mitigasi masi sangat kurang.

Kondisi sosial politik sejak 1987 sampai 2013, ada beberapa pristiwa besar di Indonesia, yakni peralihan dari Era Orde Baru yang sentralistik ke Era Otonomi yang desentralisik. Pada era Orde Baru Sistem Pemilihan Presiden dilakukan oleh DPR, sedangkan pada era Otonomi telah diakukan pemilihan presiden, gubernur dan bupiati/walikota secara langsung oleh rakyat. Perubahan ini juga berpengaruh terhadap arah kebijakan AIDS. Satu kebijakan nasional terkait HIV/AIDS di era Orde Baru adalah Peraturan Presiden No 36 tahun 1994 tentang Pembentukan KPA. Sedangkan peraturan yang dibuat dalam era desentralisasi yang terkait AIDS adalah permendagri dan permenkumham mengenai peanggulangan AIDS di lapas dan rutan. Di era desentralisasi, Mendagri telah mengeluarkan Permendagri No.20/2007 mengenai Pedoman Umum Pembentukan KPA Daerah.

Periode 1987-1996

Indonesia mendukung sepenuhnya upaya penanggulangan HIV/AIDS secara global. Sebagai negara anggota WHO, kebijaksanaan nasional terkait AIDS di Indonesia dikembangkan sesuai dan selaras dengan kebijakan "WHO Global AIDS Strategy "yang dikeluarkan pada tahun 1991 yang sudah mulai disusun tahun 1985-1986.

Tahun 1988 Pemerintah Indonesia mulai mempunyai inisitatif untuk melakukan respon terhadap HIV AIDS dengan mengeluarkan beberapa kebijakan terkait dengan isu HIV/AIDS yang diantaranya adalah SK Menkes No. 339/IV/1988 mengenai Pembentukan Panitia Penanggulangan HIV AIDS kemudian disusul dengan SK Menkes No. 301/IV/1989 mengenai Penyempurnaan Panitia Penanggulangan HIV AIDS, Instruksi Menkes No. 72/ii/1988 mengenai kewajiban melaporkan penderita gejala AIDS, serta Surat Keputusan Dirjen PPM&PLP Dep-Kes RI 2/6/1988 mengenai Juklak Kewajiban Melaporkan Penderita dengan gejala AIDS.

Sebagai langkah lanjutan, pada 1994 pemerintah Indonesia mengeluarkan Keputusan Presiden No.26 thn.1994 dan melalui kebijakan tersebut dibentuklah Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) di tingkat nasional yang kemudian disusul dengan terbentuknya KPA di beberapa provinsi. (kebijakan daerah terkait KPAD ada di table kebijakan). Setelah terbentuknya KPA, dikeluarkan beberapa Surat Keputusan menteri diantaranya SK Menkokesra no.8/V/1994 mengenai Susunan Tugas Fungsi Keanggotaan Komisi Penanggulangan HIV dan AIDS; SK Menkokesra No.9/VI/1994 mengenai Strategi Nasional Penanggulangan HIV/AIDS (STRANAS-1994) yang merupakan salah satu respon dan dokumen penting pada periode ini; SK Menkokesra no.12/VII/1994 mengenai pembentukan Kelompok Kerja Penanggulangan HIV dan AIDS; SK Menkokesra no.05/II/1995 mengenai Strategi Penanggulangan AIDS Nasional untuk PELITA VI. KPA mulai mengkoordinasikan upaya penanggulangan yang dilaksanakan pemerintah dengan mengacu pada dokumen STRANAS 1994.

Periode 1997-2006

Pada kurun waktu 1997-2006 ada 2 kebijakan internasional yang terkait HIV AIDS, ada 7 kebijakan nasional untuk pencegahan dan 7 kebijakan Nasional untuk Care Support and Treatment. Pada tahun 1997 dikeluarkan UU no 5/1997 tentang Psikotropika terkait kriminalisai terhadap penasun. UU ini kontradiksi dengan program Harm Reduction.

Jumlah kasus AIDS pada tahun 2002 adalah 1.016 kasus dan HIV positif 2.553 kasus. Jumlah kasus AIDS masih jauh sangat rendah bila dibandingkan dengan estimasi Departemen Kesehatan, bahwa pada tahun 2002 akan ada 90.000-130.000 kasus. Estimasi ini didominasi oleh peningkatan tajam penularan melalui penggunaan jarum suntik tidak steril di sub-populasi pengguna napza suntik (penasun), yaitu bulan Maret dilaporkan 116 kasus AIDS di 6 propinsi, sementara penularan melalui hubungan seksual berisiko tetap sama.

Penasun memiliki faktor risiko yang semakin besar melalui perilaku seks. Berdasarkan hasil survei perilaku (SSP) tahun 2002, diketahui bahwa sebagian penasun juga berperilaku membeli jasa seks pada penjaja seks dengan cara yang tidak aman, atau tidak menggunakan kondom.

Respon pemerintah pada saat ini adalah di tanggal 28 Maret 2002 dan November, mengadakan Sidang Kabinet khusus HIV dan AIDS yang memutuskan beberapa hal penting, yaitu: departemen/lembaga harus memberikan komitmen dan respns yang kuat untuk menghambat lajunya epidemic HIV/AIDS; Ada gerakan Nasional Penanggulangan HIV/AIDS; Menetapkan penanggulangan HIV/AIDS sebagai prioritas pembangunan nasional dan dicantumkan dalam Perencanaan Strategis Pembangunan masing-masing Departemen/Lembaga terkait; menetapkan ketersediaan dana nasional Gerakan Nasional Stop HIV/AIDS setiap tahun; Menetapkan dan memperkuat organisasi KPA untuk mengkoordinasi upaya penanggulangan HIV/AIDS. Inilah yang menjadi cikal bakal dari STRANAS 2003-2007. Selain itu, Kementerian Kesehatan mengeluarkan Kepmenkes No.1285/MENKES/SK/X/2002 tentang Pedoman Penaggulangan AIDS dan Penyakit Menular Seksual.

Sebagai tanggapan atas komitmen yang dibuat pada Sesi Khusus Majelis Umum PBB pada tahun 2001, maka pada tahun 2003, KPA Indonesia meluncurkan Strategi HIV/AIDS Nasional 2003-2007. Strategi HIV/AIDS ini memilik 7 prioritas, dan setiap program memiliki tujuan yang ingin dicapai serta kegiatan yang harus diakukan. Strategi HIV/AIDS Nasional (2003-2007) menegaskan tujuh prioritas, setiap program memiliki tujuan yang ingin dicapai serta kegiatan yang harus dilakukan. Ketujuh program prioritas tersebut meliputi surveilans, pencegahan, pengobatan, perawatan dan dukungan untuk Odha, riset tentang HIV/AIDS dan dampaknya, hak asasi para Odha serta koordinasi pemerintah pada semua tingkatan. Harm reduction, pengurangan dampak buruk, diikutsertakan sebagai bagian dari rencana strategis yang baru ini.

Program Prioritas Tujuan
Pencegahan HIV/AIDS Memastikan bahwa orang-orang mampu melindungi diri mereka sendiri dari infeksi HIV dan menghindari penularan kepada orang lain.
Perawatan, pengobatan dan dukungan bagi ODHA Mengurangi penderitaan yang disebabkan HIV/AIDS, mencegah terrjadinya penularan HIV lebih lanjut, meningkatkan kualitas hidup ODHA
Serveilans HIV/AIDS dan IMS Menggali informasi mengenai besaran, sebagan, dan kecenderungan dari penularan HIV.AIDS, dan IMS, yang nantinya bisa digunakan dalam merumuskan kegiatan dan kebijakan pencegahan HIV/AIDS
Riset dan studi operasional Melaksanakan riset dan studi operasional untuk memeperoleh informasi yang dapat membantu peningkatan kualiras pencegahan HIV?AIDS sekaligus untuk memperbaiki sejumlah dampak negatif infeksi HIV terhadap individu dan masyarakat, serta untuk meningkatkan kualitas hidup para ODHA
Lingkungan yang kondusif Mendorong pengesahan perundang-undangan yang akan menciptakan lingkungan yang mendukung penuh penerapan program pencegahan HIV/AIDS
Koordinasi multi pihak Mengharmoniskan dan mengintegrasikan kebijakan dan kegiatan pencegahan HIV/AIDS yagn memiliki badan-badan pemerintah, sektor swasta.komunitas bisnis, LSM dan masyarakat dalam rangka mencapai tujuan secara efektif dan efisien.
Kesinambungan penanggulangan Menjamin berlangsungnya tanggapan yagn berkelanjutan terhadap HIV.AIDS pada semua tingkat pemerintahan melalui kepemimpinan yagn kuat dan komitmen mendalam, serta didukung oleh informasi dan sumberdaya yang memadai.

 

Sebagai respon dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS melalui penggunaan napza suntik, maka dibuatlah nota kesepahaman antara Menkokesra dan Kapolri selalu ketua BNN. Nota kesepahaman ini disahkan dalam Keputusan Bersama Menkokesra No. 20.KEP/MENKO/KESRA/XII/2003 dan Kepala Kepolisian Negara No. B/01/XII/2003/BNN tentang Pembentukan Tim Nasional Upaya Terpadu Pencegahan Penularan HIV/AIDS dan Pemberantasan Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat/Bahan Adiktif dengan Cara Suntik.

Indonesia telah sepakat untuk meningkatkan akses ART terhadap 5.000 ODHA di tahun 2004 dan 10.000 ODHA pada tahun 2005, dan terealiasi pada 4.000 ODHA di akhir 2005). Sebagai tanggapan awal pemerintah Indonesia atas initiative “3 by 5” maka dikeluarkan SK Menkes No.781/MENKES/SK/VII/2004 yang menetapkan 25 rumahsakit rujukan ARV agar dapat memperluas jangkauan pengobatan ARV bagi ODHA. Dari hasil pemantauan ke-25 rumahsakit tersebut, diketahui bahwa belum berkembang jejaring yang kuat di tingkat daerah. Hal ini diperkirakan karena belum jelasnya prosedur pengembangan jaringan. Peran KPA di daerah, baik KPA Propinsi maupun KPA Kabupaten/Kota dianggap sangat penting sehingga aktifitasnya perlu ditingkatkanxiii.

Deklasrasi Komitmen UNGASS dan ILO Code of Practice on HIV/AIDS and World of Work juga ditindaklanjuti oleh Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi dengan menetapkan Kemenakertrans No. Kep. 68/MEN/IV/2004 tentang Percepatan dan Penanggulangan HIV/AIDS di tempat kerja. Keputusan ini dibuat terutama karena dalam jumlah kasus HIV/AIDS yang terjadi, sebagian besar kasus merupakan kelompok usia kerja produktif yang akan berdampak negatif terhadap produktifitas perusahaan. Keputusan menteri ini melarang majikan melakukan segala bentuk diskriminasi dan penyaringan dalam proses rekrutmen dan promosi. Keputusan tersebut juga mewajibkan majikan untuk

Kasus AIDS terus meningkat. Akhir tahun 2004, kasus AIDS berjumlah 2.682 kasus dari 25 propinsi (kumulatif), diantaranya 1.844 ODHA baru terdiri dari 649 orang stadium HIV dan 1.195 ODHA baru. Sebanyak 824 orang atau 68,95% dari ODHA baru yang dilaporkanii adalah akibat penggunaan napza suntik.iv

Epidemi HIV di Propinsi Papua agak berbeda dengan propinsi lain. Walau penduduknya hanya 1% dari penduduk Indonesia, tapi di bulan Desember jumlah HIV kumulatif yang dilaporkan di Papua sebesar 19,1% dari seluruh infeksi baru di Indonesia, yang penyebabnya 90% karena hubungan seks yang berisiko. Tantangan terbesar bagi penanggulangan AIDS di Propinsi Papua dan Papua Barat adalah masalah komunikasi, transportasi, dan infrastruktur kesehatan dan masyarakat yang sangat terbatas.

Kemudian Dirjen Pembinaan dan Pengawasan Ketenagakerjaan juga mengeluarkan surat Keputusan Dirjen Pengawasan Ketenagakerjaan No.Kep 20/PPK/IV/2005 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS di tempat kerja.

Pada kurun waktu 1995-2005, proporsi penularan melalui jarum suntik tidak steril meningkat lebih dari 50 kali lipat, dari 0,65% menjadi 35,8%. Sedangkan pada kurun waktu yang sama, proporsi penularan melalui hubungan seksual menurun cukup besar. Bahkan selama bulan Januari-Maret 2005, penambahan kasus HIV/AIDS dengan faktor risiko penasun mencapai proporsi 59,27%. Hal ini membuktikan bahwa penularan melalui penggunaan jarum suntik tidak steril menjadi penularan utama.

Bulan Oktober 2005, Kementerian Kesehatan merasa perlu membuat sebuah rencana kerja jangka menengah perawatan, dukungan dan pengobatan untuk ODHA serta pencegahan HIV/AIDS yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kesehatan No. 1508/MENKES/SK/X/2005. Rencana jangka menengah ini dibuat agar dapat mendukung Rencana Strategis Penanggulangan HIV/AIDS Nasional terutama rencana kerja selama tahun 2005-2009.

Setelah ditunjuknya 25 rumahsakit rujukan ARV bagi ODHA sesuai SK Menkes No.781/MENKES/SK/VII/2004 yang didasari oleh initiative “3 by 5” , pemerintah melakukan penguatan pada laboratorium yang berfungsi untuk menegakkan diagnosa dan memantau perkembangan penyakit. Tujuannya adalah agar kualitas hasil tes HIV pada saat VCT memiliki keseragaman dan dapat dijamin mutunya. Kementerian Kesehatan mengakomodasi kebutuhan ini melalui pengesahan Keputusan Menteri Kesehatan No. 241/Menkes/SK/IV/2006 tentang Standar Pelayanan Laboratorium Kesehatan Pemeriksa HIV dan Infeksi Oportunistik .

Meskipun demikian, ditemukan sumber utama penularan HIV di Indonesia adalah penggunaan napza suntik. Maka, sebagai bentuk respon cepat dan tepat penanggulangan HIV/AIDS di kelompok penasun maka Kementerian Kesehatan mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan No. 567/MENKES/SK/VIII/2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengurangan Dampak Buruk Napza. Pengurangan dampak buruk napza menekankan tujuan jangka pendek, karena pencegahan infeksi harus dilaksanakan sesegera mungkin, yang mengacu pada prinsip: (1) penasun didorong untuk berhenti memakai napza; (2) jika bersikeras menggunakan napza maka didorong untuk berhenti menggunakan jarum suntik; (3) kjika tetap bersikeras menggunakan cara suntik, maka didorong dan dipastikan menggunakan peralatan suntuk sekali pakai atau baru; (4) jika tetap terjadi penggunaan bersama peralatan jarum suntuk, maka didorong dan dilatih untuk menyucihamakan peralatan suntik.

Timbulnya kasus-kasus baru HIV dan AIDS serta Komitmen Sentani, membuat Menkokesra yang baru, Ir. Aburizal Bakri berkesimpulan bahwa masalah AIDS merupakan masalah nasional dan ancaman terhadap pembangunan Indonesia. Upaya penanggulangan yang menyeluruh dan terkoordinasi dibutuhkan untuk mengendalikan epidemi ini. Analisa ini mendorong dibuatnya sebuah kebijakan baru yang mengatur tentang perubahan status, keanggotaan, dan tata kerja dari KPAN.

Pada tanggal 13 Juni 2006, Presiden Bambang Susilo Yudoyono mengesahkan Peraturan Presiden (Perpres) No.75 tahun 2006 tentang Komisi Penanggulanan AIDS Nasional. Perpres memberi amanat kepada KPAN yang baru untuk meningkatkan upaya pencegahan, pengendalian dan penanggulangan AIDS, serta melakukan langkah-langkah strategis sebagai respon yang ditujukan untuk mengurangi peningkatan kasus baru dan kematian. KPAN tidak lagi bekerja sendirian, tetapi melibatkan berbagai pihak yang terkait, yaitu instansi pemerintah sipil dan militer, akademisi, organisasi profesi, organisasi ODHA nasional, lembaga swadaya masyarakat (LSM) termasuk komunitas LSM AIDS, sektor swasta, serta pihak lainnya yang dianggap perlu. Fungsi LSM dan masyarakat sipil adalah meningkatkan peran sebagai mitra pemerintah sampai ke tingkat pemerintahan yang paling kecil, yaitu tingkat desa.

Perpres ini juga mengatur pembiayaan bagi pelaksanaan kegiatan KPA Nasional, propinsi dan kabupaten, yaitu dibebankan pada APBN/APBD I/APBD II. Harapannya, pembiayaan meningkat sejalan dengan bertambahnya masalah HIV/AIDS yang dihadapi. Pembiayaan pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS di 11 Kementerian/Lembaga sektor pemerintah tahun 2006 adalah sebesar Rp 118,6 milliar dari dana APBN. Di tingkat Propinsi/Kabupaten/Kota hanya sebesar Rp 41.560.000 untuk kegiatan di 19 Propinsi dan 73 kabupaten/kota.

Sejak 2006 ini, dimulailah penguatan Sekretariat KPA di 100 kabupaten/kota prioritas. Sementara itu, pada bulan September 2006, sudah terjadi 6.871 kasus yang dilaporkan oleh 32 dari 33 propinsi yang ada. Menarik, distribusi umur ODHA sangat tinggi pada golongan umur 20-29 tahun mencapai 54,77%, dan bila digabung dengan golongan sampai 49 tahun, maka angka mencapai 89,37%. Sementara persentase anak 5 tahun kebawah mencapai 1,22%. Diperkirakan pada tahun ini, sebanyak 4.360 anak tertular HIV dan separuhnya telah meninggal.

Periode 2007 – 2013

Ditahun 2007 KPAN kembali menyusun Strategi dan Rencana Aksi Nasional (SRAN) untuk menanggulangi epidemi HIV dan AIDS di Indonesia. Melalui SRAN 2007-2010 ini diharapkan adanya kerangka kerja sama, tujuan umum dan tujuan khusus untuk penanggulangan yang komprehensif, namun memberikan peluang untuk penyusunan rencana aksi daerah dan mobilisasi sumber daya yang sesuai dengan kebutuhan dan prioritas masing-masing daerah.

Dana yang dipakai dalam implementasi SRAN bersumber dari DKIA/IPF, dukungan AusAID, dan Global Fund. Beberapa area prioritas penanggulangan HIV dan AIDS untuk tahun 2007-2010 antara lain adalah: Pencegahan HIV dan AIDS; Perawatan, Pengobatan dan Dukungan kepada ODHA; Surveilans HIV dan AIDS serta Infeksi menular Seksual; Penelitian dan riset operasional; Lingkungan Kondusif; Koordinasi dan harmonisasi multipihak; dan Kesinambungan penanggulangan.

Strategi yang dikembangkan untuk mencapai tujuan tersebut adalah sebagai berikut:

  1. Meningkatkan dan memperluas upaya pencegahan yang nyata efektif dan menguji coba cara-cara baru
  2. Meningkatkan dan memperkuat sistem pelayanan kesehatan dasar dan rujukan  untuk mengantisipasi peningkatan jumlah ODHA yang memerlukan akses perawatan dan pengobatan
  3. Meningkatkan kemampuan dan memberdayakan mereka yang terlibat dalam upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS di pusat dan di daerah melalui pendidikan dan pelatihan yang berkesinambungan
  4. Meningkatkan survei dan penelitian untuk memperoleh data bagi pengembangan program penanggulangan HIV dan AIDS
  5. Memberdayakan individu, keluarga dan komunitas dalam pencegahan HIV dilingkungannya
  6. Meningkatkan kapasitas nasional untuk menyelenggarakan monitoring dan evaluasi penanggulangan HIV dan AIDS
  7. Memobilisasi sumberdaya dan mengharmonisasikan  pemamfaatannya disemua tingkatvii.

Pada tahun 2009 terdapat berbagai perkembangan penting dalam pemerintahan, misalnya berlangsungnya pemilihan umum nasional yang berimplikasi terhadap komitmen penanggulangan HIV dan AIDS ditingkat nasional, yang dapat dilihat dari pembentukan kabinet baru termasuk Menteri Koordinator baru untuk Kesejahteraan Rakyat selaku Ketua Komisi Penanggulangan AIDS Nasional, dan tersusunnya Rencana Pembangunan Jangkah Menengah Nasional tahun 2010-2014. Perubahan ini mengharuskan percepatan proses perumusan SRAN Penanggulangan HIV dan AIDS yang baru untuk tahun 2010-2014, meskipun laporan evaluasi SRAN sebelumnya (2007-2010) belum lengkap, sehingga tahun terakhir dalam SRAN 2007-2010 menjadi tahun pertama bagi SRAN 2010-2014.

Di tahun 2010, KPAN mengeluarkan Strategi dan Rencana Aksi Nasional (SRAN) 2010-2014 memberikan kerangka kerja sama, tujuan umum dan tujuan khusus untuk penanggulangan yang komprehensif, namun memberikan peluang untuk penyusunan rencana aksi daerah dan mobilisasi sumber daya yang sesuai dengan kebutuhan dan prioritas masing-masing daerah.

Beberapa bentuk kebijakan untuk penguatan KPA Nasional/Provinsi/Kabupaten/Kota yang dikeluarkan ditahun 2007 antara lain adalah (1) Permenkokesra No.3/PER/MENKO/KESRA/III/2007 mengenai Susunan, Tugas dan Keanggotaan KPA Nasional, (2) Permenkokesra No.4/PER/MENKO/KESRA/III/2007 mengenai Pedoman dan Tata Kerja KPA Nasional, Prov & Kab/Kota, (3) Permenkokesra No.5/PER/MENKO/KESRA/III/2007 mengenai Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat KPA Nasional, dan (4) Permenkokesra No.6/PER/MENKO/KESRA/III/2007 mengenai Tim Pelaksana KPA Nasional.

Kebijakan terkait lain ditetapkan untuk menggerakkan Program Pencegahan dan Penanggulangan AIDS antara lain (1) Permendagri No.20/2007 mengenai Pedoman Umum Pembentukan KPA Daerah, (2) Permenkokesra No.2/PER/MENKO/KESRA/I/2007 mengenai Kebijakan Penanggulangan AIDS melalui Pengurangan Dampak Buruk Penggunaan Narkotika Psikotropika dan Zat Adiktif Suntik, dan (3) Permenkokesra No.7/PER/MENKO/KESRA/III/2007 mengenai Strategi Nasional Penanggulangan AIDS Tahun 2007-2010.

Permendagri nomor 20 tahun 2007 memberikan pedoman untuk pembentukan KPA di daerah serta pemberdayaan masyarakat dalam menanggulangi HIV dan AIDS, yang mana pengembangan sistem KPA disemua tingkatan ialah untuk memimpin dan mengelola, serta mengkoordinasikan upaya penanggulangan HIV DAN AIDS. Permenkokesra nomor 2 tahun 2007 tentang Kebijakan Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS melalui Pengurangan Dampak Buruk Penggunaan Napza Suntik, bertujuan untuk mengurangi dampak buruk penggunaan napza suntik melalui pendekatan kesehatan masyarakat yang bertujuan mencegah penyebaran HIV di kalangan penasun dan pasangannya, serta mencegah penyebaran HIV dari penasun dan pasangannya ke masyarakat luas. Dalam pelaksanaan regulasi tersebut dibutuhkan adanya kerja sama antara Sekretariat KPAN, POLRI, Kemkes, BNN, dan Kementerian Sosial untuk meluncurkan kampanye yang intensif dengan advokasi, pelatihan, kebijakan dan panduan untuk pengintegrasian Layanan Alat Suntik Steril (LASS) dan Program Terapi Rumatan Methadon (PTRM) ke dalam sistem kesehatan masyarakat (puskesmas, klinik dan RS).

Tahun 2007 merupakan waktu disahkannya banyak peraturan daerah terkait penanggulangan HIV DAN AIDS, yaitu (1) Peraturan Daerah Kabupaten Gianyar Nomor 15 Tahun 2007 tentang Penanggulangan HIV DAN AIDS, (2) Peraturan Daerah Kota Tarakan Nomor 06 Tahun 2007 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV DAN AIDS, (3) Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Timur nomor 05 tahun 2007 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV DAN AIDS dan Infeksi Menular Seksual, dan (4) Peraturan Daerah Provinsi Kepulauan Riau nomor 15 tahun 2007 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV DAN AIDS Dan IMS di Provinsi Kepulauan Riau.

Dalam Strategi dan Rencana Aksi Daerah (SRAD) Provinsi Jawa Barat fokus pada upaya harm reduction pada pengguna jarum suntik dan pada upaya preventif HIV melalui transmisi seksual. Kebijakan dan program harm reduction ini didasarkan pada Permenkokesra nomor 2 tahun 2007 tentang Kebijakan Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS melalui Pengurangan Dampak Buruk Penggunaan Napza Suntik.

Kementerian Hukum dan HAM mengeluarkan kebijakan untuk merespon kasus HIV dan AIDS di penjara pada tahun 2008, meski dalam pelaksanaannya program HIV DAN AIDS di penjara sudah terimplementasi sejak 2007. Pada akhir tahun 2008 sebanyak 49.000 penasun telah memanfaatkan layanan NSP setara 67% dari target cakupan 2008. Adapun kebijakan mendukung program ini meliputi: (1) Pedoman tentang penganggaran tingkat lokal untuk penanggulangan HIV dan AIDS oleh Departemen Dalam Negeri; (2) Strategi Nasional untuk merespon HIV DAN AIDS dan penyalahgunaan narkoba di penjara dan rumah tahanan (Rutan); (3) penguatan sistem dan penyediaan layanan klinis HIV DAN AIDS di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dan Rutan; (4) Pedoman Teknis Perawatan, Dukungan dan Pengobatan HIV DAN AIDS berbasis penjara; (5) Standard Operational Procedure (SOP) Layanan Metadon di Lapas dan Rutan; dan (5) Surat Edaran Direktorat Jenderal Pemasyarakatan tentang monitoring dan evaluasi HIV dan AIDS di Lapas dan Rutan.

Adanya Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah mau tidak mau beimplikasi terhadap penanggulangan AIDS di Indonesia. Seperti yang dijelaskan dalam Pasal 2 ayat 2 dan UU No 32 tahun 2004 bahwa : Pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Sehubungan dengan itu, pada tahun 2006, Peraturan Presiden No. 75 tahun 2006 disahkan untuk meningkatkan upaya pencegahan dan penanggulangan AIDS yang lebih intensif, menyeluruh, terpadu, dan terkoordinasi, KPA berada di bawah dan bertanggung jawab kepada presiden.

KPA mempunya 6 tugas yang disebutkan dalam Perpres ini, mulai dari tugas menetapkan kebijakan dan rencana strategis nasional, pedoman umum pencegahan, meneptapkan langkah-langkah strategis, mengkoordinasikan, melakukan penyebarluasan informasi, melakukan kerjasama regional dan internsional, mengkoordinasikan pengolahan datadan informasi, mengendalikan, memantaau dan mengevaluasi, serta memberikan pengarahan pada KPAP dan KPAKab/kota . Hal yang menarik dari peraturan ini adalah penjelasan tugas KPA dan tidak ada penjelasan Tanggung Jawab KPA. Dari sesi pembiayaan kegiatan KPA, KPAP, KPAKab/Kota dibebankan pada APBN, APBD Provinsi, APBD Kabupaten/kota.

Permenkokesra No. 5/Kep/Menko/Kesra/III/ 2007 tentang organisasi dan tatakerja sekretariat KPAN yang menetapkan masa jabatan sekretaris KPAN selama 5 tahun dan selanjutnya dapat diangkat kembali untuk satukali masa jabatan. Berbeda dengan kepengurusan KPA sebelumnya, pada priode ini KPA N banyak melakukan kegiatan dan pendanaan dari luar negeri dikoordinir oleh KPA, sehingga posisi KPA sangat “kuat”, bahkan fungsinya sebagai lembaga koordinator seolah berubah menjadi lembaga teknis. Dr Nafsiah Ben Mboi,SpA,MPH kembali lagi diangkat (untuk kedua kalinya) menjadi Sekretariat Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) periode 13 Juli 2011 sampai 12 Juli 2016.

Untuk taingkat Daerah, ada Peraturan yang dikeluarkan, Perda HIV/AIDS yang pertama disahkan oleh DPRD Jawa Timur pada tanggal 23 Agustus 2004. Perda ini mencantumkan tentang penggunaan kondom 100% dan alat suntik steril dilingkungan kelompok prilaku yang berisiko. Dalam prosesnya pembuatan perda ini disiapkan oleh Masyarakat Peduli AIDS (MPA), empat tahun sebelum perda disahkan .

Beberapa studi mengkaji perda di tingkat Provinsi menyimpulkan; Untuk tingkat Provinsi misalnya, Kebijakan Program HIV/AIDS di Jogja (Latief MS, 2005). Kepedulian/keterlibatan DPRD lebih bersifat individuil, belum kelembagaan, HIV/AIDS belum menjadi prioritas DPRD (TBC dan DBD), Belum ada kebijakan tegas (perda), Renstrada DIY 2004-2008 tidak menyentuh HIV/AIDS, Dorongan lebih banyak dari pemerintah pusat. Pada level Kabupaten dapat dilihat laporan Isna (2005) yang menyatakan bahwa kebijakan Program HIV/AIDS di Banyumas yang menunjukkan inkonsistensi Propeda, renstra dinkes, rencana penanggulangan HIV/AIDS. Renstra dinkes lebih merupakan dokumen administratif, penyusunan elitis dan kurang matang Beberapa kegiatan dalam rencana penanggulangan tidak dilaksanakan Dinkes lebih mementingkan menjaga citra daerah. Hal yang menarik perlu dicatat bahwa Panduan Penyusunan Peraturan Daerah Penanggulangan HIV/AIDS diterbitkan oleh KPAN tahun 2009. Sementara untuk modul Kebijakan Penanggulangan IMS, HIV/AIDS dikeluarkan Kementerian Kesehatan tahun 2009.

[i]    Lihat Kent Buse, Nicholas Mays and Gill Walt.2005. Making Health Poliy. Open University Press

[ii]   Lihat Dokumen WHO dan Stranas 1994

[iii]  Kementerian Kesehatan RI, 2004. Laporan Situasi Perkembangan HIV dan AIDS di Indonesia, 30 Desember 2004. Jakarta

[iv]   Dalam paparan sejarah AIDS ini, catatan epidemiologi dikutip dari laporan Komisi Penanggulangan AIDS Nasional 2011 yang berjudul Rangkuman Eksekutif Upaya Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia 2006-2011: Laporan 5 tahun Pelaksanaan Peraturan Presiden No. 75/2006 tentang Komisi Penanggulangan AIDS Nasional. Data dalam laporan KPAN ini –infeksi baru, infeksi kumulatif, persentase infeksi, cara penularan, dll- kecuali ada penjelasan lain, bersumber dari Laporan Situasi Perkembangan HIV dan AIDS di Indonesia oleh Kemkes.

[v]    Kementerian Kesehatan RI, 2006. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia tentang Standar Pelayanan Laboratorium Kesehatan Pemeriksa HIV dan Infeksi Oportunistik. Jakarta

[vi]    Komisi Penanggulangan AIDS Nasional, 2011. Rangkuman Eksekutif Upaya Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia 2006-2011: Laporan 5 tahun Pelaksanaan Peraturan Presiden No. 75/2006 tentang Komisi Penanggulangan AIDS Nasional. Jakarta.

[vii]   Komisi Penanggulangan AIDS Nasional. Strategi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS 2007-2010.

[viii]  Lihat Peraturan Presiden no 75 tahun 2006

[ix]    Slamaer Riyadi Sabrawi, 2005. Perda Penanggunlangan HIV/AIDS di Era Otonomi Daerah. Dalam; Health Decentralization Bulletin. Vo. II/04/2005. Pp 2-6