Oleh: M. Suharni
Isu tentang Hak Azazi Manusia dalam penanggulangan HIV dan AIDS adalah isu penting yang sudah lama menjadi perhatian global[1], agar ODHA terpenuhi hak dan tidak didiskriminasi dan terstigma. Berbagai kebijakan global sampai dengan dikeluarkannya pedoman, seperti UN Guide Line HIV and AIDS and Human Rights (United Nations, 2002). Di tingkat Nasional pun isu tentang HAM di cantumkan dalam UUD 45 dalam Bab XA dan untuk merealisasikannya pemerintah membuat Rencana Aksi HAM (RAN HAM) ditetapkan dengan Peraturan Presiden No 75 tahun 2015 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Azazi Manusia 2015-2015. Rencana Aksi Nasional HAM 2015 -2019 mengintegrasikan nilai-nilai keadilan, kemanusiaan, dan inklusivitas kelompok rentan ke dalam satu rencana aksi nasional yang inklusif. Permasalahan yang dihadapi oleh kelompok rentan ini adalah hak hidup terkait dengan rendahnya kualitas kesehatan dan terbatasnya akses terhadap pemanfaatan layanan dan lingkungan. Inklusivitas kelompok rentan ini terkait langsung dengan upaya penanggulangan HIV dan AIDS dan HAM dan isu ini telah dicantumkan draft Strategi Rencana Aksi AIDS Nasional (SRAN) Penanggulangan HIV dan AIDS tahun 2015-2019.
Dua dokumen kebijakan ini menunjukan komitmen pemerintah pusat terhadap permasalahan HAM dan HIV dan AIDS. Pertanyaan yang timbul adalah bagaimana implementasinya? Belajar dari pelaksanaan RAN HAM 2011-2015, dimana kendala terjadi dalam pelaksanaannya adalah pada kurang optimalnya koordinasi antar lembaga pelaksana dan kurang efektifnya mekanisme pemantauan, evaluasi, dan pelaporan[2]. Sehingga untuk menjawab pertanyaan ini kita mulai dengan memetakan peran dan fungsi stakeholder yang terkait untuk melaksanakan dokumen kebijakan tersebut. Di tingkat daerah stakeholder penentu pelaksanaannya terdiri dari Pemerintah daerah dalam hal ini bupati/walikota, Bappeda dan Dinas Kesehatan serta DPRD yang mempunyai power dan otoritas tinggi untuk melakukan fungsi koordinasi, perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan pengevaluasi kebijakan tersebut, termasuk menyediakan pembiayaaan program. Sedangkan Komisi Penanggulangan AIDS Daerah (KPAD) dengan peran dan fungsi koordinatornya dapat mendorong multi sektor anggotanya untuk menciptakan lingkungan kondusif dalam pelaksanaan program, misalnya dengan memfasilitasi pertemuan koordinasi antara LSM, Populasi Kunci dengan Pemda dan DPRD. Selain itu bupati/walikota sebagai ketua Komisi Penanggulangan AIDS Daerah (KPAD) berperan penting dalam koordinasi dan singkronisasi upaya penanggulangan HIV dan AIDS di wilayahnya. Stakeholder lainnya, yakni masyarakat sipil dan populasi kunci menjadi pemain kunci untuk melakukan sensitisasi isu ini pada stakeholder yang power tinggi agar mereka peduli dan memberikan dukungan riil dalam upaya pewujudan HAM di kalangan ODHA. Kegiatan advokasi, lobi-lobi, pertemuan khusus dengan menyapaikan fakta dan data yang akurat perlu dilakukan secara terjadwal dan terus menerus.