Oleh: Chrysant L. Kusumowardoyo
Di Indonesia, infeksi HIV di kalangan Lelaki berhubungan seks dengan Lelaki (LSL)terus menunjukkan peningkatan. Sayangnya, banyak kaum LSL yang belum memanfaatkan layanan HIV dan AIDS serta layanan kesehatan lainnya secara umum. Hal ini sebagian besar disebabkan karena masih banyaknya tenaga layanan kesehatan yang bersikap diskriminatif, sehingga menimbulkan keengganan bagi LSL dalam mengakses layanan kesehatan. Akibatnya, upaya untuk menekan angka penularan HIV dan AIDS di kalangan LSL menjadi sangat menantang. Oleh karena itu, diperlukan strategi khusus dalam mendekati dan memberikan pelayanan kesehatan termasuk pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS untuk LSL. Pelayanan yang diberikan pun perlu melibatkan kemitraan antara sektor publik dan privat. Artikel ini akan membahas tentang pendekatan yang dilakukan oleh Angsamerah dalam memberikan pelayanan kepada LSL, sebagai contoh praktek baik dari kemitraan antara sektor publik dan privat.
Klinik Yayasan Angsamerah: Kemitraan untuk Layanan yang Berkualitas dan Terjangkau
Angsamerah memiliki dua klinik, yaitu Klinik Angsamerah yang berlokasi di Menteng dan Klinik Yayasan Angsamerah (KYA) yang berada di Jakarta Selatan. Klinik Angsamerah adalah klinik yang lebih dahulu didirikan, yaitu pada tahun 2010. Klinik ini bersifat for profit yang menarget kalangan menengah ke atas. Seiring perjalanan waktu, jumlah pasien yang melakukan tes HIV di klinik ini terus mengalami peningkatan secara signifikan. Di saat yang sama, Angsamerah sadar bahwa sebagian besar populasi masih kesulitan mendapatkan layanan kesehatan yang berkualitas, non-diskriminatif, dan dengan harga yang terjangkau. Untuk menyikapi hal ini, maka di akhir 2013 didirikanlah Klinik Yayasan Angsamerah (KYA)[1].
Walaupun orientasinya not for profit, KYA tetap merupakan sebuah klinik swasta yang dituntut untuk membiayai operasionalnya secara mandiri. Oleh sebab itu untuk memastikan layanannya tetap terjangkau, KYA menggalang pendanaan dari berbagai sumber. Beberapa lembaga yang turut mendanai KYA yaitu SUM II-USAID dan COFRA Foundation, sementara Kementrian Kesehatan RI juga turut memberikan dukungan lewat penyediaan reagen untuk tes dan beberapa program pengobatan secara gratis. Selain itu, 10% dari profit yang didapatkan Klinik Angsamerah juga disalurkan ke KYA. Dan di dalam KYA sendiri, ada subsidi silang antara pasien umum dengan pasien yang merupakan rujukan dari LSM. Dengan mekanisme seperti ini, rentang harga yang diterapkan oleh KYA bisa jauh lebih murah daripada Klinik yang berlokasi di Menteng – walaupun kualitas layananannya tetap sama.
Strategi Angsamerah dalam Layanan LSL: Apa yang Berbeda?
Pendiri Angsamerah, dr. Nurlan Silitonga, mengungkapkan bahwa filosofi Angsamerah adalah memberikan pelayanan kesehatan yang ramah, berkualitas serta bersifat inklusif dan setara terhadap semua orang, terlepas dari jenis kelamin, orientasi seksual, status pernikahan, maupun identitas lainnya. Jadi walaupun Angsamerah sebenarnya memberikan layanan kesehatan secara umum, keterbukaan inilah yang kemudian membuat banyak kelompok populasi kunci termasuk LSL merasa nyaman untuk menggunakan layanan kesehatan Angsamerah. Ini bisa dilihat dari profil pasien KYA, dimana 75% pasien adalah laki-laki dan 50% di antaranya adalah LSL.
Filosofi keterbukaan ini jugalah yang kemudian mewarnai strategi yang dipakai oleh Angsamerah dalam melayani LSL. Angsamerah paham bahwa karena tingginya budaya heteronormativitas dalam masyarakat kita, faktor kerahasiaan menjadi sangat penting bagi sebagian besar LSL. Oleh karena itu, Angsamerah memberikan layanan berdasarkan sistem appointment yang memungkinkan pasien mendapatkan pelayanan tanpa waktu tunggu yang lama. Dengan demikian, kemungkinan bertemu pasien lain pun menjadi kecil sehingga privasi lebih terjaga. Selain itu, pasien juga bebas menggunakan nama samaran, asal nama tersebut konsisten sehingga bisa dilacak rekam medisnya.
Strategi lain yang dipakai adalah Angsamerah memberikan layanan di satu atap, dan bahkan di satu ruangan yaitu di ruang periksa. Ini berarti pasien tidak perlu mengantri hasil lab, mengantri obat, mengantri pembayaran di ruangan yang berbeda-beda seperti praktek di layanan kesehatan pada umumnya. Contohnya, pasien yang datang untuk tes HIV bisa langsung mendapatkan hasil tesnya yang diproses di lab Angsamerah. Apabila terdeteksi positif, pasien bisa mendapatkan konseling dari dokter yang terlatih yang akan menjelaskan pilihan-pilihan yang dimiliki oleh pasien tersebut. Apabila pasien memilih untuk melanjutkan dengan pemeriksaan selanjutnya, ia bisa melakukan pemeriksaan level CD4 yang mesinnya tersedia di Angsamerah. Saat ini untuk tes viral load Angsamerah masih memprosesnya di lab rujukan, tetapi pasien tidak perlu melakukannya sendiri sebab proses ini akan dilakukan oleh Angsamerah. Di situasi dimana pasien sudah memerlukan ARV, ia berhak mendapatkan ARV gratis dari pemerintah dan bisa mengaksesnya lewat Angsamerah. Keseluruhan proses ini sangat memudahkan pasien, dan sangat menjamin privasi mereka.
Untuk bisa secara aktif memperkenalkan klinik kepada LSL, KYA bekerjasama dengan 7 LSM yang sehari-hari bekerja dengan LSL dan populasi kunci lainnya seperti pekerja seks perempuan atau pun laki-laki, dan orang yang menggunakan narkoba suntik. LSM-LSM ini kemudian memberikan rujukan ke KYA untuk mendapatkan pemeriksaan HIV dan layanan lainnya. Menurut Felix Neuenschwander, project manager Angsamerah, sejak pendiriannya pada akhir tahun 2013 KYA telah memberikan tes kepada sekitar 300 orang LSL.Dari jumlah orang tersebut, ada sekitar 20% diantaranya yang positif HIV dan sebagian besar dari mereka melanjutkan dengan perawatan HIV dari KYA.
Dengan strategi yang sudah diterapkan oleh KYA ini, keberhasilan yang bisa dilihat adalah tingginya feedback positif dari pasien, termasuk pasien LSL. Jumlah pasien LSL pun terus bertambah, sehingga bisa dikatakan lewat model kemitraan publik dan privat, KYA telah turut meningkatkan ketersediaan layanan HIV dan AIDS yang ramah terhadap LSL dengan kualitas yang baik dan harga terjangkau.
Untuk menjamin bahwa semakin banyak populasi yang bisa menikmati layanan serupa, Angsamerah terus berusaha untuk mereplikasi keberhasilan ini. Saat ini, Angsamerah sedang memberikan konsultansi dan dampingan bagi 6 klinik yang tersebar di Purwokerto, Semarang, Jakarta, Batam dan Papua. Harapannya, lewat kemitraan antara publik dan privat, akan ada semakin banyak layanan kesehatan yang berkualitas, ramah, non-diskriminatif dan terjangkau untuk LSL dan populasi kunci lainnya.
[1] Artikel ini akan lebih fokus kepada Klinik Yayasan Angsamerah sebagai penyedia layanan kesehatan yang menggunakan model kemitraan publik dan swasta. Saat istilah ‘Angsamerah’ digunakan, berarti penulis sedang mengacu pada Klinik Angsamerah maupun Klinik Yayasan Angsamerah secara bersamaan.