Pengantar Minggu ke-3 Tahun 2014
Pada saat ini, Kemenkes RI sedang melakukan perluasan penggunaan ARV bagi Odha di 13 kabupaten/kota. Program ini diberi nama SUFA (Strategic Use of ARV) dengan tujuan mengurangi kesakitan dan kematian terkait HIV serta memaksimalkan manfaat perluasan akses ARV untuk mencegah HIV. Dasar Kemenkes RI dalam mengambil kebijakan ini adalah Treatment is prevention: HPTN 052 study shows 96% reduction in transmission when HIV-positive partner starts treatment early dan WHO issues new HIV recommendations calling for earlier ARV initiation.
Kemenkes berdasarkan bukti ilmiah menyatakan bahwa Odha yang menerima pengobatan ARV jauh lebih kecil kemungkinannya untuk menularkan HIV kepada pasangan seksual dibandingkan tidak menerima pengobatan ARV. Oleh karena itu, terdapat kebutuhan untuk menawarkan pengobatan lebih awal tanpa tergantung pada tingkat CD4, khusunya pada populasi kunci dengan tingkat beban infeksi tinggi. Jadi SUFA adalah pemakaian ARV secara langsung begitu diketahui HIV+ tanpa memandang nilai CD4, dikenal dengan Test and Treat. Selain itu tujuan lainnya adalah untuk mencegah penularan (dengan menurunkan viral load) yang dikenal dengan Treatment as Prevention (TasP).
Mailing list aids-ina telah memunculkan beberapa diskusi menarik terkait dengan hal tersebut. Prof. dr. Dewa Nyoman Wirawan, MPH (Yayasan Kerti Praja) secara mandiri telah melakukan langkah nyata dengan mempraktekan SUFA di komunitas WPS Denpasar. Beberapa catatan diberikan di mailing list aids-ina sebagai berikut:
- Sebelum adanya SUFA:
- Ketika masih menunggu CD4 <350, sekitar 75% dari sekitar 800 WPS yang HIV+ (hasil VCT) di Denpasar tidak memakai ARV. Dari 800 hanya 200 yang pernah memakai ARV. Yang 600 tidak memakai ARV dengan alasan: CD4 masih tinggi, belum siap memakai ARV, takut efek samping dan alasan-alasan lain.
- Odha WPS yang belum memakai ARV (600 orang), ternyata kebanyakan hilang kontak dengan petugas lapangan dan sekitar setengah dari Odha tersebut terdengar berita bahwa telah meninggal di kampungnya.
- Sehingga penyedia layanan ARV kehilangan kesempatan (lost of opportunity).
- Setelah adanya SUFA:
- WPS yang menjalani test HIV (melalui VCT) dan hasilnya HIV+ langsung ditawarkan ARV jauh lebih banyak yang langsung mau menggunakan ARV.
- Karena mereka langsung memakai ARV maka kontak antara WPS dengan pemberi layanan ARV (CST) dan juga dengan pendamping (bila ada pendampingnya) menjadi lebih intensif karena mereka memang harus datang ke klinik untuk follow-up dan mengambil ARV.
- Memang terdapat cukup banyak efek samping FDC Tenofovir, Lamivudine, Efavirenz pada WPS terutama pada 1 bulan pertama pemakaian. Bila pendampingan pada WPS tidak bagus dilakukan, maka akan banyak yang berhenti.
- Selain pendampingan yang harus baik, juga harus ditumbuhkan rasa percaya dari WPS kepada pemberi pelayanan ARV (dokter, perawat, dll).
- Dalam beberapa kasus, karena efek samping yang agak berat, maka WPS harus tidak bekerja dalam 1 minggu atau lebih sehingga perlu diperhitungkan biaya makan dan kehidupan sehari-hari WPS tersebut.
- Bila WPS telah melewati masa efek samping, maka tidak lagi diperlukan pendampingan yang ketat namun faktor kepercayaan pada pemberi pelayanan ARV harus tetap dijaga. Hal ini untuk menjamin WPS mau untuk datang kembali.
Prof. dr. Dewa Nyoman Wirawan, MPH menyimpulkan bahwa untuk meningkatkan keberhasilan program SUFA pada Odha WPS, maka tetap diperlukan pendampingan dan rasa percaya WPS kepada penyedia layanan ARV. Sedangkan untuk pembuktian secara ilmiah maka diperlukan pemeriksaan Viral Load dalam 6 bulan setelah pemberian ARV.
Pada diskusi di mailing list aids-ina berikutnya dr. Adi Sasongko, MA (Yayasan Kusuma Buana) mengingatkan bahwa pendekatan SUFA akan mempunyai konsekuensi penyediaan ARV yang jauh lebih banyak dari apa yang sudah kita laksanakan selama ini. Cakupan yang semakin luas memerlukan pemantauan dan pendampingan untuk memastikan kepatuhan minum obat (adherence) yang baik. Pendekatan yang mirip dengan SUFA sudah pernah dilakukan untuk menangani IMS dengan melaksanakan PMTS. Pelaksanaan di lapangan ternyata mengalami banyak masalah dan akhirnya upaya ini tidak berlanjut.
Upaya yang hilang timbul seperti ini berisiko memicu terjadinya resistensi obat. Dan kalau ini terjadi dalam skala luas maka ini sebuah bencana yang sangat mengkhawatirkan. Upaya yang hilang timbul seperti ini juga menggambarkan kurangnya pemikiran jangka panjang dalam merancang sebuah program. Dr. Adi Sasongko, MA memahami kemanfaatan test and treat dan treatmen as prevention (SUFA). Oleh karena itu pada para penentu kebijakan yang menangani SUFA perlu juga memberikan penjelasan mengenai antisipasi hal-hal tersebut diatas.
Berikut beberapa dokumen terkait dengan SUFA: