Oleh: Chrysant L. Kusumowardoyo dan M. Suharni

Diskusi Kultural Kampung Ledok TukanganKampung Ledok Tukangan adalah perkampungan yang terletak di bantaran Kali Code, di pusat kota Yogyakarta. Kampung ini berdekatan dengan Malioboro dan Pasar Bringharjo, sehingga tidak heran banyak warganya yang menggantungkan kehidupannya di pusat industri pariwisata ini. Seperti kebanyakan kampung-kampung urban di Indonesia, pemukiman di daerah ini sangat padat, dengan akses berupa jalan setapak  yang hanya bisa dilalui oleh pejalan kaki atau pun sepeda motor secara bergantian.

Di kampung inilah Sanggar Anak Kampung Indonesia (SAKI) mengadakan diskusi kultural di penghujung bulan Oktober 2014. Diskusi ini dimulai dengan urun rembuk antara pengurus SAKI dan  Tim Peneliti AIDS PKMK- UGM tentang perlunya mengetahui bagaimana masyarakat menyuarakan kepeduliannya terhadap kondisi mereka sendiri. Selanjutnya SAKI memformat kegiatan ini dalam bentuk sarasehan dengan warga Kampung Ledok Tukangan di serambi Mesjid Istiqomah sejak pukul 19.20 sampai pukul 21. 15 WIB.

Fokus diskusi kultural ini adalah penggalian bentuk-bentuk kepedulian sosial warga setempat terhadap kaum yang terpinggirkan. SAKI mengundang para warga Kampung Ledok Tukangan untuk memperoleh gambaran langsung bagaimana mereka medefinisikan apa itu masyarakat terpinggirkan, bagaimana mereka peduli dengan keadaan ini, strategi bertahan mereka dan sikap mereka terhadap bantuan yang diberikan oleh pemerintah.

 

Mendefinisikan ‘Kaum Marjinal’ dan ‘Kepedulian Sosial’

Diskusi ini diawali dengan tukar pikiran tentang bagaimana warga mendefinisikan tentang siapa yang mereka maksud dengan ‘kaum marjinal,’ serta seperti apa pandangan mereka tentang ‘kemiskinan’. Peneliti dari PKMK UGM meringkaskan berbagai gambaran kemiskinan dan data tentang kemiskinan serta permasalahannya. Sejalan dengan proses diskusi, terungkap bahwa warga kampung Ledok Tukangan memiliki definisi sendiri tentang kaum marjinal dan permasalahannya.

Tidak seperti definisi pada umumnya yang banyak mengaitkan marjinalisasi dan kemiskinan dengan tingkat pendapatan dan aspek-aspek sosial ekonomi, warga menunjukkan bahwa mereka cenderung melihatnya dari aspek moral. Hal ini bisa dilihat dari ungkapan bapak ketua RW yang menyatakan bahwa marjinalisasi adalah akibat dari ketidakpedulian seseorang terhadap dirinya sendiri. Menurutnya, orang-orang seperti ini tidak berusaha untuk meningkatkan penghidupannya secara mandiri, tetapi hanya mengharapkan pemberian bantuan. Ketiadaan usaha sendiri inilah yang mengakibatkan mereka makin lama makin terpinggirkan. 

Lebih jauh, warga yang hadir dalam diskusi ini tidak mengasosiasikan diri mereka dengan kaum marjinal sebab tidak seperti kaum marjinal yang tidak berusaha, warga memiliki berbagai usaha untuk merubah keadaan mereka. Bahwa mereka adalah warga yang hidup pas-pasan dengan berbagai keterbatasan, itu tidak mereka ingkari. Tetapi warga mencontohkan berbagai upaya kepedulian yang sudah mereka lakukan lewat organisasi sosial ataupun layanan yang telah berjalan seperti PAUD, PKK, Lansia dan SAKI – yang digerakkan secara aktif oleh warga sendiri. Ini menunjukkan bahwa warga kampung memiliki modal kedekatan sosial (social cohesion)yang tinggi.

Aspek Kapabilitas dan Keterbatasan Warga

Gambaran di atas menunjukkan apa yang disebut oleh Amartya Sen sebagai kapabilitas. Orang miskin (ataupun yang hidup pas-pasan seperti banyak warga Kampung Tukangan) memiliki kemampuan untuk mengatasi kemiskinan mereka sendiri. Tetapi di saat yang sama, mereka memiliki berbagai keterbatasan atau capability deprivation(Sen: 1999)[1]. Akibatnya, ada hal-hal dasar atau prasyarat minimum yang diperlukan untuk bisa membantu orang miskin keluar dari kemiskinan - termasuk dukungan dalam hal perawatan kesehatan yang lebih baik serta pendidikan dasar.

Permasalahannya adalah, sering kali dukungan ini diberikan oleh pemerintah dalam wujud pemberian bantuan yang bersifat amaldan kurang memperhatikan aspek kapabilitas orang miskin. Orang miskin dipandang pasif, sama sekali tidak mampu mengubah keadaannya dan hanya menunggu bantuan. Program pemberian bantuan dalam skema ini termasuk pembagian beras untuk masyarakat miskin (raskin), yang dalam diskusi disebut oleh warga sendiri sebagai bantuan yang tidak tepat sasaran dan bermasalah dalam penyalurannya.

Selain itu agar bentuk dukungan yang diberikan bisa mengena, dukungan tersebut juga harus sesuai dengan apa yang saat ini menjadi keterbatasan dari warga. Dari diskusi terungkap bahwa saat ini Puskesmas terdekat berada di Kelurahan Tegalpanggung, dan hanya ada klinik berjalan (mobile clinic) yang diadakan setiap hari Sabtu untuk warga Kampung Ledok Tukangan. Menurut perwakilan dari Puskesmas yang hadir dalam diskusi ini, klinik berjalan sekali seminggu ini tidak bisa mencukupi kebutuhan kesehatan warga. Akan tetapi keterbatasan tenaga di Puskesmas membuat kegiatan klinik berjalan tidak bisa dilaksanakan lebih sering, sehingga kegiatan perawatan kesehatan dan pencegahan penyakit di Kampung Ledok Tukangan menjadi kurang efektif. Salah satu contoh dari diskusi yang menunjukkan kurangnya cakupan program kesehatan adalah adanya beberapa kasus anak yang berat badannya berada di bawah garis merah, sehingga rentan mengalami malnutrisi.

Peran Peneliti dan Aspek-Aspek yang Perlu Diperhatikan dalam Penggalian Suara Warga

Kondisi yang dijelaskan di atas menunjukkan peluang bagi peneliti untuk menggali lebih lanjut tenang bentuk-bentuk dukungan yang diperlukan warga. Hal ini bisa membantu pemerintah merumuskan bentuk-bentuk dukungan tepat sasaran, yang menjadikan aspek kekuatan maupun keterbatasan warga setempat sebagai fondasinya. Sebab, bentuk dukungan yang mengakomodasi suara dan kapabilitas yang dimiliki oleh warga akan memberikan rasa kepemilikan mereka terhadap program dan bantuan yang diberikan.  

Dalam menggali suara warga secara partisipatif, ada aspek-aspek yang perlu diperhatikan oleh para peneliti. Lewat pengalamannya berinteraksi dengan peneliti-peneliti universitas, warga Kampung Ledok Tukangan memberikan kritik tentang bagaimana para peneliti universitas lalai memberikan umpan balik kepada mereka tentang hasil dari penelitian yang melibatkan mereka. Seperti yang diungkapkan seorang warga: “Baru-baru ini ada peneliti yang mewawancarai kami, setelah itu tidak kembali lagi dan tidak memberi tahu kami apa hasilnya.” Hal ini seharusnya menjadi perhatian dan aksi nyata bagi setiap peneliti yang melakukan penelitian dengan melibatkan warga masyarakat agar merancang dan melaksanakan mekanisme pemberian informasi balik pada kelompok yang ditelitinya. Selain agar masyarakat mengetahui untuk apa mereka diteliti, pemberian informasi balik juga menjadi penting sebagai bentuk pencerahan  dari para peneliti kepada masyarakat.

Selain itu, diperlukan kejelian dan sensitifitas dari para peneliti saat melakukan penggalian suara warga. Seperti yang terjadi dalam pertemuan diskusi kultural ini, terlihat antusiasme yang tinggi dari para peserta diskusi untuk menyuarakan pendapat mereka.  Hanya saja kalau kita lihat lebih cermat,  terdapat beberapa bias dalam proses ini.  Bias ini berupa suara komunitas banyak didominasi oleh kaum lelaki dan elit kampung. Contohnya, dalam diskusi kebanyakan yang bersuara adalah bapak RW, bapak Lurah, tokoh agama, dan tokoh masyarakat. Suara perempuan hanya disampaikan oleh elit kampung seperti pengurus LSM, PKK dan staf Puskesmas. 

Keadaan seperti ini tidak hanya terjadi di Ledok Tukangan, tapi sering juga terjadi di tempat lain ketika penggalian suara komunitas dilakukan. Oleh karena itu, para peneliti harus sadar bahwa penggalian suara komunitas tidak bisa hanya mengandalkan sekali pertemuan dan menggunakan satu metode penggalian informasinya saja.  Disinilah letak langkah-langkah ilmiah menjadi penting, yakni pentingnya menentukan sumber informasi, validasi data, triangulasi data dan penelusuran kajian sebelumnya.


[1] Sen, Amartya (1999). Development as freedom (1st ed.). New York: Oxford University Press.