Narasumber:   Deni Herbianto, SE (PKMK FK UGM) dan  Muhammad Hudallah (NU)

Pengantar

Webiner ke- 7  ini akan diantar oleh Deni Herbianto (PKMK FK UGM) dan  Huda  (NU) yang akan mendiskusikan pembiayaan  HIV dan AIDS di Indonesia. Deni Harbianto bersama PKMK aktif mengembangkan studi kebijakan dan Manajemen Kesehatan. Mas Huda merupakan praktisi yang terlibat sebagai partner GF.

Huda:

Informasi pembiayaan global fund di Indonesia khususnya terkait dengan rencana pengembangan new funding model.  Kebetulan baru tiga bulan mendapatkan dana dari GF. NU menjadi salah satu partner GF bersama 3 Organisasi lain yang bekerja di 33 propinsi  di Indonesia. Dari ke-4 PR itu masing-masing bekerja di beberapa pronpinsi. Perjanjian dengan global fund masing-masing mendapatkan partner-partner lokal berjenjang masing-masing PR memiliki SR dan SR memiliki SSR.

Pola pendanaan yang didukung GF akan berakhir. Di Indonesia saat ini dikembangkan skema new funding model. Ada beberapa kategori negara yang masuk dalam skema  GF sebagai berikut:

  1. Kelompok negara berpendapatan rendah dengan dengan problem rendah 
  2. Kelompok negara berpendapatan rendah dengan problem Tinggi
  3. Kelompok negara berpendapatan tinggi problem tinggi

Indonesia masuk dalam pendapatan tinggi problem tinggi.  Indonesia akan mendapatkan pendanaan lagi dengan skema ATM. Dalam skema HIV dan TB, tumpang tindih sifatnya. Program penanganan TB dan HIV disatukan dalam program bersama. Persoalan dalam level kebijakan di kementrian kesehatan dalam sub dit dipisahkan ada subdit HIV dan subdit TB sendiri. Selain ATM, global fund juga memberikan pendanaan HSS.  

Prosentasi pembiayaan HIV AIDS selalu lebih tinggi  dibanding yang lain. Dari anggaran itu kita didorong ke depan untuk  pendanaan HIV dan malaria.

Indonesia harus menyediakan 15 persen dana penyertaan yang disebut willingness to pay commitmen untuk melihat beberapa kemungkinan yang bisa diberikan oleh Indonesia. Dalam hal ini CCF sedang approach ke prof Laksono UGM sebagai konsultan.

Seharusnya Indonesia sudah memiliki SRAN terkait dengan penanggulangan HIV dan AIDS. Yang menarik karena SRAN sudah selesai, kita mempercepat proses penyelesaian.  Jadi terbalik-balik, seolah kita menyesuaikan dengan rencana pendanaan GF, NFM ini dijadwalkan mulai juni – agustus 2014.

Di kerangka  continuum of care : Kemenkes pada aspek pengobatan,  NU dan PKBI pada prevensinya, Peran KPA sebagai pemandu atas proses ini.  Sebagai pelaksana teknis pada media, pendukung, dan KIE.  Dalam konteks ini, KPA berada pada poisis sebagai  pelaku juga.

Deni Herbianto:

Diskusi kali ini membahas masalah  terkait dengan pendanaan dari  GF.  Ada perubahan menarik dalam skema pendanaan HIV dan aids yang dikategorikan oleh GF.  Di tahun 2014 GF mempunyai model NFM yang jika dicermati posisi Indonesia pada posisi ke tiga.

Posisi Indonesia berada lower middle income countries,  Indonesia berada di pendapatan Gross nasional  Product berada di tingkat menengah bawah.

Pontensi GF ke depan untuk menggali sumber-sumber lokal (pemerintah, swanta, cso, dst).   Ini harus diimbangi  dengan  dana penyertaan. Pemerintah minimal menyiadakan 15 persen dari total komitmen.

Posisi pemerintah Indonesia yang berada di lower middle countries. Pemerintah harus menyediakan dana penyertaan untuk dapat mengakses NFM. Basic-nya kita punya NSP,  istilah ini bisa dikurangi, bagian mana strateginya untuk meningkatkan penadanan lokal.   Pertanyaannya apakah Indonesia siap?

  1. Pemerintah harus tetap mensubsidi
  2. Potensi-potensi apa saja, yang akan digunakan
  3. Data proyeksi saat ini untuk ATM  memang sudah diatas rata-rata kebutuhan yang disyaratkan global fund, tidak boleh melebihi 40 orang.
  4. Bill gate datang ke UGM, dan bertemu rekan bisnisnya : mereka menyepakati penggalangan dana (Datuk Taher foundation),  mengumpulkan sekitar 80 juta dolar untuk diinjeksikan ke GF hanya untuk Indonesia.  Ini kedepannya menjadi potensi-potensi seperti itu.  Di Indonesia Timur banyak tambang emas, ini bisa ditagih komitmennya.
  5. Kerjasama ini bisa memperkecil kesenjangan kebutuhan pendanaan.

Ada komitmen dari pemerintah untuk membantu program ini. Sejak tahun 2007, ada pemantauan dari  UGM dalam menjalankan.

Potensi  pembiayaan yang lain dari sektor swasta, seperti;

Intinya: bagaimana komitmen tertulis ini menjadi kenyataan. Yang baru dari New funding Model ini tergantung komitmen dari pemerintah.

Diskusi:

  1. Kementrian kesehatan mengalami pemotongan dana sekitar 5,1 Trilyun pada periode tahun politik (kampanye pileg dan pilpress). Apakah ini berdampak terhadap kemampuan fiscal untuk pembiayaan HIV dan AIDS?
  2. Hasil data penelitian sementara menunjukan  70 berbanding 30 pembiayaan oleh pemerintah pusat dan pembiayaan daerah. Bagaimana pendapat bapak?
  3. Dalam pembiayaan sebaiknya dipisahkan dan disatukan dari dinas kesehatan /kemsos?

Kapasitas fiscal:

Indonesia terdiri dari 34 provinsi dan 500 lebih kabupaten.  Masing-masing kemampuan PADnya berbeda-beda.  Ada dua kelompok provinsi yang ketika dianalisis menjadi dua bagian, pemda yang mempunyai fiscal tinggi, dan pemda dengan kapasitas fiscal rendah.

Lita (USU):

  1. Hasil data penelitian sementara menunjukan  70 berbanding 30 pembiayaan oleh pemerintah pusat dan pembiayaan daerah. Bagaimana pendapat bapak?
  2. Dalam pembiayaan sebaiknya dipisahkan dan disatukan dari dinas kesehatan /kemsos?

Deni:

  1. Kita melihat kira-kira jika dicrosscheckan dengan endemisitas penyakit bagaimana?  

Kasus di beberapa daerah ini kasus baru cukup tinggi, seperti Jakarta, danpekan baru. Pada propinsi kapasitas tinggi harusnya bisa membiayai sendiri, sedangkan pada kapasitas yang rendah ditanggung pemerintah.

Terkait dengan pembiayaan program ada kegiatan yang masuk subdit P2PL seperti HIV dan AIDS. Sedangkan Dinkes menangani klinis medis. Promosi kesehatan lewat pendidikan dilakukan oleh Dinas Pendidikan nasional. 

Huda:

  1. Pengalaman saat bertemu dinas kesehatan Medan, berapa banyak dana yang disediakan dari APBD sangat tergantung dengan dana pusat.  Karena sudah didanai dari Jakarta, maka dana dari APBD  tidak boleh dianggarkan.
  2. Kemudian di level kebijakan , ketika mencoba membagi agar lebih runtut, dengan skema continuum of care,  pencegahan ,cst dan mitigasi dampak.
  3. Kalau menurut kepmen ==yang semua ditanggung oleh nasional  --yang  belum dicabut.  Sehingga   menimbulkan masalah, karena semua harus dikoordinasikan ke pusat.
  4. Apakah ini harus disatukan dalam satu wadah. Di Jakarta, dana yang berhubungan dengan HIV ditarik ke KPA. Ini sesungguhnya tidak efektif karena  dana yang seharusnya ada di dinkes,  harus merujuk ke KPA.
  5. Pembagian-pembagian itu tidak perlu disatukan, apalagi pola pendanaannya bersifat hibah.

Pertanyaan:

Apakah terdapat landasan hukum dalam pembiayaan program dan dana sering overlapping antara dinas, bagaimana?

Huda:

Landasan hukumnya , UU desentralisasi, UU perimbangan , PP 38 yang direvisi ini harapan nya bisa lebih kuat lagi, apa  peran pemerintah apa peran dari lokal. WTP kemudian diturunkan di level ke daerah, ini akan menarik, seperti gaya PNPM.  Berdasarkan pengalaman di lapangan, terkait dengan penanggulangan Aids reponsnya respon project bukan dari situasi.  Seperti  program ASA, misalkan.  LSM yang bekerja untuk penanggulangan HIV berhenti, ketika bicara advokasi anggaran, selalu terjebak advokasi anggaran hanya kepada KPA. Kita sering terjebak bekerja dengan KPA, daripada dengan Bappeda.   Salah satu contoh medan, karena selama ini kita tergantung pada donor, dan sehingga skema pembiayaan lokal belum terakomodasi.

Deni:

Bagaimana ke depan dalam semangat desentralisasi peran bappeda yang perlu digandeng.  Perlu pendampingan untuk sampai ke pengambilan kebijakan.

Catatan:

  1. Webinar minggu ke-8 akan diisi oleh Pak Mubasysir  yang akan membahas penulisan Artikel. Mohon tugas-tugas yang pernah diberikan oleh pak Mubasysir dikirimkan ke narasumber. Hasil dari artikel atau tulisan peserta nanti akan menjadi bahan yang disampaikan dalam berbagai pertemuan dan event terkait HIV dan AIS.