Oleh: Hersumpana

Pada 2013, terpapar hampir 60 % dari semua infeksi baru diantara orang muda usia 15-24 tahun muncul diantara gadis remaja dan perempuan muda. Fakta yang diungkap UNAIDS ini merupakan suatu tantangan baru dan pola perubahan epidemi global selain penularan pada kelompok paling rentan yakni kelompok gay yang 19 kali kemungkinannya lebih besar tertular dibanding populasi umum dan kelompok transgender perempuan yang 49 kali lebih besar tertular HIV dari semua kelompok usia reproduktif[1]. Data status AIDS di Tingkat Asia Pasifik selama sepuluh tahun dari 1990 – 2011, orang yang hidup dengan HIV (OHIDHA) (15+) estimasinya 370.000, sementara perempuan dengan HIV (15 +) estimasinya 110.000[2]. Data laporan Triwulan II Kemenkes RI 2013, menunjukkan bahwa persentase AIDS tertinggi pada kelompok Usia 30 -39 tahun (33,8 %) kemudian diikuti oleh kelompok umur 20 -29 tahun (28,8 %), sementara data dari KPA Nasional hingga Juni 2013 menunjukkan ada 1.996 kasus infeksi HIV baru pada usia 15-24 tahun[3].  Meski data penularan terbesar masih terjadi pada kelompok populasi kunci terutama  kelompok MSM dan PWID akan tetapi kecenderungan pergeseran penularan pada kelompok risti terutama pelanggan seks, ibu rumah tangga dan anak semakin mengkhawatirkan.

Kelompok muda usia, khususnya gadis remaja dan perempuan dewasa yang aktif secara seksual sebagai kelompok paling rentan secara global ini menandakan ada kesenjangan dalam promosi kesehatan. Aspek promosi kesehatan ini meliputi pendidikan seks, kesehatan reproduksi, dan pendidikan kesehatan terabaikan.  Di Indonesia, faktor ini dipengaruhi oleh pemahaman soal moralitas dan faktor budaya. Kesenjangan pengetahuan seks di kalangan muda usia khususnya pelajar yang secara biologis mengalami perubahan-perubahan hormonal yang mendorong rasa ingin tahu dan pencarian identitas tanpa pengetahuan yang cukup terkait kesehatan reproduksi dan perencanaan keluarga secara alami menjadikan kerentan semakin tinggi.  Pendidikan yang benar tentang kesehatan reproduksi merupakan alternatif solusi untuk pencegahan perilaku seks yang tidak sehat.

Pengetahuan dan  Kompetensi Budaya

Pentingya kebudayaan dalam perawatan kesehatan sudah ditekankan oleh para ahli kesehatan sejak beberapa waktu. Kebudayaan, yang didefinisikan sebagai tatanan atau pola perilaku terpadu meliputi pemikiran, kepercayaan, komunikasi, aksi, norma, nilai-nilai lembaga agama, etnis, dan status sosial (Cross dkk., 1989) adalah relevan dengan Perawatan Kesehatan setiap orang. Pemahaman budaya ini penting untuk memastikan tidak terjadi dampak negatif dalam pelayanan terhadap komunitas minoritas sebagai akibat dari pengabaian kebudayaan. Kuatnya budaya patriarkis dan moralitas yang berkembang turut menyumbang faktor lemahnya tingkat pengetahuan kesehatan reproduksi dan pendidikan kesehatan di Indonesia. Pengetahuan seks dipandang tabu dan sering dicurigai sebagai promosi seks bebas dan pemicu tindakan asusila. Mispersepsi dan bias moralitas ini tidak banyak menyelesaikan masalah, justru menjadi faktor rendahnya pengetahuan seks yang benar dan sehat.

Pengetahuan budaya mengalami perkembangan dan variasi pemaknaan sesuai dengan ‘kapasitas’ masyarakat dalam menerjemahkan dalam hidup keseharian. Acapkali dalam pandangan umum, keragaman budaya lebih diartikan sebagai kekayaan yang dimiliki masyarakat yang menjadikannya memiliki ‘kepekaan, daya tanggap, dan kesadaran’ dalam merespon masalah atau kasus kesehatan publik dalam hal ini HIV dan AIDS.  Pemahaman  Budaya  dapat menjadi ‘keuntungan’ (advantage) tetapi butuh operasionalisasi yang terukur terkait faktor budaya dalam penanggulangan HIV dan AIDS.  Sensitifitas kebudayaan perlu diwujudkan dengan konsep yang disebut sebagai “kompetensi budaya”. Kompentensi budaya ini didefinisikan sebagai seperangkat perilaku, sikap dan kebijakan yang muncul bersama dalam sebuah sistem, agency,  dan di antara para profesional yang memungkinkan sistem, agency dan para profesional tersebut bekerja secara efektif dalam lingkungan lintas budaya. Pemahaman keragaman dan kompetensi budaya dapat meningkatkan pengetahuan kelompok masyarakat yang beragam secara sosial dan kepercayaan untuk mengurangi stigma terhadap orang  yang hidup dengan HIV dan AIDS di masyarakat. Terlebih faktor pendidikan dapat menjadi solusi melakukan promosi kesehatan yang benar secara dini sehingga kerentanan pada kelompok perempuan muda dapat diretas.

Promosi kesehatan dan Kesehatan reproduksi Tanggungjawab siapa?

Promosi kesehatan dan pendidikan kesehatan reproduksi merupakan bentuk pencegahan upaya penanggulangan HIV dan AIDS.  Permenkes no 21 tahun 2013 tentang penanggulangan AIDS menegaskan pada pasal 10 tentang promosi kesehatan. Tujuan dari Promosi kesehatan adalah untuk meningkatkan pengetahuan yang benar dan komprehensif mengenai pencegahan penularan HIV dan menghilangkan stigma serta diskriminasi. Kegiatan promosi kesehatan dapat berbentuk advokasi, bina suasana, pemberdayaan, kemitraan dan peran serta masyarakat sesuai dengan kondisi budaya serta didukung oleh kebijakan publik.  Promosi kesehatan ini dilakukan baik oleh tenaga kesehatan dan non kesehatan yang terlatih. Yang menjadi sasaran promosi kesehatan meliputi pembuat kebijakan, sektor swasta, organisasi kemasyarakatan dan masyarakat sarasan. Yang dimaksud masyarakat sasaran dalam hal ini adalah populasi kunci dan masyarakat luas lainnya.

Permasalahannya sejauhmana promosi kesehatan ini berjalan? Promosi kesehatan dan pendidikan kesehatan reproduksi dapat dilakukan oleh masyarakat secara luas baik oleh tenaga kesehatan atau non kesehatan yang terlatih.  Promosi kesehatan untuk nakes untuk masyarakat luas adalah jelas berpusat  di Puskesmas sebagaimana Permekes baru no 75 tahun 2014 tentang puskesmas dengan jelas diamanatkan Puskesmas bertanggungjawab untuk mengembangkan paradigma sehat, dan mendorong masyarakat untuk mengembangkan kemandirian dalam kesehatan lingkungan, sanitasi keluarga, dan peningkatan ketahanan dari penyakit.  Puskesmas secara teoritis dan praktis menjadi leading sector dalam melakukan promosi kesehatan dan melakukan pendidikan kesehatan reproduksi. Partisipasi masyarakat dalam pendidkan kesehatan ke depan dapat melalui berbagai bentuk, seperti kader kesehatan, dan PKK dalam mendorong paradigma sehat.  Pendidikan reproduksi yang paling efektif berdasarkan pengalaman adalah melalui keluarga dan lembaga pendidikan formal. Pendidikan kesehatan reproduksi sejak dini yang berkelanjutan dan sistemik dapat menjadi peretas bagi penularan HIV dan AIDS pada kelompok rentan yang terabaikan, yakni gadis remaja dan perempuan muda. Hasil survey pada remaja di Jakarta menunjukkan bahwa pengetahuan HIV remaja sangat minim. 84 % remaja di Jakarta memerlukan informasi HIV dan AIDS untuk memenuhi keingintahuannya. “Anggapan seks atau kondom adalah sesuatu yang tabu masih berlaku di masyarakat. Padahal keduanya harus diajarkan sejak dini sehingga remaja bisa tahu dan membentengi diri dari pengaruh buruk berhubungan seks dini” pendapat pengurus KPAN yang dimuat Kompas[4]

Program inisiatif untuk Pencegahan  untuk Remaja sudah dikembangkan oleh Kementrian Pendidikan (MoNE) yang menyelenggarakan pendidikan pencegahan HIV dan AIDS berbasis sekolah dengan pelatihan ketrampilan dan pendidikan sebaya untuk anak usia SMA. Assesmen HIV dan AIDS di sektor pendidikan dengan dukungan dari UNESCO untuk mengidentifikasi kendala pendidikan HIV dan AIDS dan program pencegahan untuk anak sekolah atau luar sekolah di seluruh Indonesia. Hasilnya pada 2006 -2007,  sebuah program training untuk guru SMA dan pelaksanaan pendidikan ketrampilan pada lebih dari 500 sekolah menengah di 20 provinsi. Program lain yang dirancang untuk memerangi HIV pada kelompok Usia Muda adalah program FRESH (Focusing Resource for Effective School  Health) dengan melakukan penguatan kebijakan sekolah terkait kesehatan khususnya HIV dan AIDS.  Program pencegahan HIV/AIDS yang dilakukan oleh  Pendidikan adalah Life Skill Education (LSE) yang didukung oleh UNICEF untuk anak-anak usia SMP di Papua yang dikembangkan sejak tahun 2002. Program ini dikembangkan berbasis survey yang dilakukan oleh KPAD mengenai aktifitas seks sudah mulai pada usia 12-15 tahun. Program ini banyak mendapatkan dukungan dari komite sekolah dan orang tua[5].

Kombinasi pendidikan informal dan formal dapat meretas gap ‘kekosongan pengetahuan’ yang selama ini dialami oleh kelompok usia rentan tersebut yang banyak mengalami bias  moralitas yang mentabukan dan menginterpretasi pendidikan seks secara  kurang tepat dan proporsional. Aksi konkrit untuk meretas siklus infeksi pada kelompok usia remaja dan perempuan muda ini akan sangat penting untuk mencegah degenerasi manusia Indonesia sedini mungkin.


[1] Fact Sheet World AIDS day 2014, www.unaids.org

[2] HIV and AIDS data hub for Asia Pasific, www.aidsdatahub.org

[3] Kompas, 25 November 2013

[4] Kompas, Ibid.

[5] Country Report: INDONESIA , East Asia Pacific Regional Consultation on Children and HIV/AIDS, Hanoi – Viet Nam, 22- 24 March 2006.