Oleh: Eviana Hapsari Dewi

Beberapa fakta global mengenai anak[1] dan HIV yang diungkapkan oleh UNAIDS, terdapat kurang lebih 3,2 juta anak hidup dengan HIV; 240 ribu anak terinfeksi baru; 190 ribu anak meninggal karena AIDS; 660 anak terinfeksi HIV setiap harinya; 530 anak meninggal karena AIDS setiap harinya dan baru 24% anak dengan HIV yang mendapatkan terapi ARV.[2] Di Indonesia, data dari Kemenkes RI Triwulan I Tahun 2015, anak yang terinfeksi HIV yang dilaporkan menurut kelompok umur dari tahun 2010 hingga 2014 cenderung mengalami kenaikan. Jumlah anak yang terinfeksi pada tahun 2010 sebanyak 795 anak, kemudian pada tahun 2013 mencapai 1075 anak dan pada tahun 2014 mencapai hingga 1388 anak.[3] Sebenarnya upaya penghentian infeksi baru pada anak telah menjadi prioritas bagi UNAIDS dan mitra-mitranya. Pada tahun 2011 diluncurkan Global Plan towards the elimination of new HIVinfections among children by 2015 and keepingtheir mothers alive. Salah satu strategi dalam mewujudkan rencana global ini adalah melalui penguatan pada sektor pendidikan.

Oleh : Ign.Praptoraharjo

Satu isu sangat strategis dalam Sustainable Development Goals (SDGs) yang secara langsung mencerminkan upaya untuk mewujudkan keadilan dan pemerataan kesejahteraan secara nasional adalah perlindungan sosial (Social Protection) yang tampak pada tujuan 1.3: Implement nationally appropriate social protection systems and measures for all, including floors, and by 2030 achieve substantial coverage of the poor and the vulnerable.Perlindungan sosial pada dasarnya adalah semua upaya yang diarahkan untuk menyediakan pendapatan atau konsumsi kepada kelompok miskin, melindungi kerentanan terhadap berbagai risiko yang berpengaruh terhadap kesejahteraannya, dan memperkuat status dan hak sosial dari kelompok yang termarginalisasi. Tujuan dari perlindungan sosial pada dasarnya adalah mengurangi kerentanan sosial dan ekonomi kelompok miskin dan termarginalisasi[1]. Di Indonesia, upaya untuk mewujudkan perlindungan sosial ini bisa dilihat dengan diberlakukannya UU no 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional yang bertujuan untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak bagi masyarakat Indonesia melalui jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun dan jaminan kematian.

Oleh: Swasti Sempulur

Kelompok dukungan sebaya atau peer support group merupakan sebuah kelompok yang bertujuan mensupport setiap anggota kelompok dalam kehidupan keseharian mereka. Dukungan sebaya meliputi orang yang menghadapi tantangan yang sama misalnyapasien dengan infeksi tertentu, komunitas tertentu.[1] Kelompok dukungan sebaya (KDS) sangat dikenal dalam konteks penanggulangan HIV/AIDS untuk memberikan support bagi orang yang terinfeksi HIV (ODHA) maupun keluarganya. Pertama kali seseorang mendapati dirinya terinfeksi HIV, memiliki beberapa persoalan, terkait dengan psikologis, kekhawatiran terhadap kesehatan, relasi dengan pasangan, ekonomi dan prasangka akan didapati perlakuan stigma dan diskriminasi, dll.  Dukungan moral yang dibutuhkan oleh orang yang terinfeksi HIV sangat diperlukan untuk mengatasi berbagai persoalan tersebut, sehingga mereka tetap dapat hidup sehat, dan produktif.  Dukungan tersebut salah satunya diperoleh melalui kelompok dukungan sebaya (KDS).

Oleh : Ita Perwira

"Kita tidak selalu bisa membangun masa depan untuk para pemuda, tetapi kita bisa membangun pemuda untuk masa depan" - Franklin D. Roosevelt

Kita semua sadar bahwa masa depan kita berada di tangan para pemuda. Oleh karena itu sangat penting untuk melindungi mereka dari berbagai tantangan yang mengancam termasuk salah satunya permasalahan kesehatan. Terutama saat ini kelompok remaja mengalami peningkatan risiko terhadap HIV dan AIDS karena kondisi psikologis, lingkungan sosial dan struktural serta proses transisi yang mereka alami sebagai bagian dari perkembangan fase kehidupan mereka. Risiko ini semakin tinggi pada kelompok kunci remaja yaitu remaja yang juga LSL, transgender, penasun, dan pekerja seks. Hal ini ditunjukkan dengan semakin meningkatnya angka penularan HIV (saat ini 35% penularan HIV pada kelompok usia 15-24 tahun) dan juga kematian secara global pada kelompok remaja di tahun 2005-2012, padahal pada kelompok usia lain menunjukkan penurunan[1]. Gambaran penyebab kematian pada remaja secara global ditunjukkan secara jelas pada grafik dibawah. Di Indonesia sendiri, persentase infeksi HIV pada kelompok umur 15-24 tahun 2015 adalah sekitar 19.3%, sementara untuk persentase kumulatif kasus AIDS sampai dengan tahun 2015 kelompok usia muda usia 20-29 tahun adalah kelompok yang tertinggi yaitu 31.8%. Hal ini bila tidak segera menjadi perhatian kita maka angka ini akan terus meningkat. Oleh karena itu, menjadi tanggung jawab kita bersama untuk menghentikan penyebaran HIV sesuai dengan target 90-90-90 yang telah dicanangkan dengan salah satu fokus pada kelompok remaja mengembangkan upaya penanggulangan yang lebih baik.

Oleh: M. Suharni

Ilustrasi | flaticon.comPengelolaan sediaan farmasi dan alat kesehatan   salah satu subsistem dalam sistem kesehatan nasional. Kegiatan ini sangat penting untuk  menunjang kinerja penyediaan layanan kesehatan di fasilitas kesehatan, seperti di rumah sakit, puskesmas dan klinik agar mampu memberikan layanan yang optimal  sesuai kebutuhan pasien. Kegiatan pengelolaan ini bertujuan antara lain agar ketersediaan barang, obat-obatan dan alat kesehatan yang diperlukan tersedia dalam jumlah dan waktu  yang tepat dengan kualitas yang memadai. 

Pengelolaan  perbekalan farmasi dan alat kesehatan juga bertujuan untuk pengamanan dalam artian agar persediaan tidak terganggu oleh kerusakan, pemborosan, penggunaan tanpa hak, pencurian dan penyusutan yang tidak wajar lainnya. Selain itu dari sisi pembiayaan pengelolaan perbekalan farmasi dan alat kesehatan bertujuan agar dalam operasionalisasinya ada efesiensi pembiayaaan.  Oleh karena itu, pengelolaan sediaan farmasi dan alat kesehatan dalam sistem kesehatan nasional mesti didukung oleh regulasi yang akuntabel dan operasional serta  sumber daya yang memadai.

Supported by

AusAID