Oleh: Ni Komang Yuni Rahyani
Secara umum pengebangan SDM AIDS tergantung dari kebijakan yang mengatur pengelolaan manajemen sumber daya, keterseidaan finansial maupun kompentensi dari SDM. Tulisan ini mencoba membangun sebuah alur konsep kebutuhan tenaga seperti apa dan bagaimana membangun motivasi kerja dalam menangani HIV dan AIDS di Indonesia dari satu sudut pandang lokal, Bali.
Siapa saja SDM yang terlibat dalam program penanganan HIV/AIDS?
Berbicara mengenai SDM dalam penanganan HIV/AIDS di Indonesia, khususnya di Bali, tidak terlepas dari kebijakan program dari tingkat makro sampai tingkat mikro. Aktor yang terlibat dalam program penanggulangan HIV/AIDS dari pembuat kebijakan sampai pelaksana kebijakan. Pada gambar di bawah dijabarkan SDM medis dan nonmedis yang diberi tanggung jawab dan kewenangan untuk mengerjakan program tersebut.
Health Resources Medic | Health Resources NonMedic | |
Technical | Dokter umum dan spesialis |
|
Administration |
Direktur RS Kepala Dinas Kesehatan Kepala Puskesmas |
Asuransi kesehatan Medical record Ahli IT Sopir |
SDM teknis medis biasanya bertugas di Rumah Sakit pemerintah maupun swasta serta pusat kesehatan masyarakat, dokter/perawat/bidan praktik yang berwenang memberikan penanganan bagi penderita HIV dan AIDS yaitu dokter umum dan spesialis. Ada sistem konsultasi dan kolaborasi di fasilitas pelayanan serta rujukan dari berbagai profesi kesehatan yang terlibat. Misalnya: program antenatal care (ANC) di Puskesmas harus sesuai dengan standar 10 T, salah satunya mengenai test untuk HIV/AIDS ibu hamil dan wawancara konseling (VCT). Bidan mengambil sampel darah untuk pemeriksaan IMS dan HIV/AIDS, selanjutnya sampel darah dikirimkan ke RS yang memiliki fasilitas pemeriksaan tersebut oleh sopir puskesmas. Bidan mengerjakan VCT karena ada kebijakan program dari Dinas Kesehatan Provinsi dan kewenangan bidan. Apabila hasil test diketahui ibu hamil positif HIV, maka penatalaksanaannya dikonsultasikan atau dirujuk ke jenjang yang lebih tinggi. termasuk kepada dokter puskesmas dan rumah sakit. Maka, terlihat adanya peran dan tanggung jawab dari tiap-tiap petugas kesehatan atau SDM kesehatan, tiap SDM kesehatan tidak bisa bekerja sendiri-sendiri dan harus bekerja sama intertim maupun antar tim (pembiayaan, SDM kesehatan, masyarakat). Seperti dijabarkan dalam gambar di bawah tentang peran dari berbagai aktor di dalam sistem kesehatan, termasuk dari tingkat individu, keluarga, dan masyarakat luas.
Di manakah mereka bekerja?
Tempat tugas dari SDM tersebut dari tingkat pelayanan dasar sampai rujukan. Petugas gizi atau nutrisi sudah ada di puskesmas sampai rumah sakit. Psikolog atau psikiater dibutuhkan untuk membantu penderita yang baru didiagnosis atau diketahui menderita HIV/AIDS, atau saat konseling sebelum dilakukan test, penderita disiapkan secara mental untuk bisa bertahan dari kondisi yang dialami. Nutrisionis bertugas mempertahankan kesehatan penderita HIV/AIDS melalui pemenuhan nutrisi yang sesuai kebutuhan pendertita. Apoteker memberi terapi sesuai terapi dari dokter yang berwenang. Petugas medical record di puskesmas serta rumah sakit memiliki peran penting untuk menyimpan dan menjaga kerahasiaan dari data penderita. Dengan demikian, SDM kesehatan tersebut bisa bertugas di klinik (Rumah Sakit pemerintah dan swasta), di fasilitas kesehatan dasar, dan praktik mandiri.
Adakah regulasi yang mengatur/memayungi profesi-profesi atau pekerja-pekerja tersebut?
Regulasi atau peraturan yang mendasari keterlibatan dari tiap profesi atau SDM tersebut, di antaranya:
- Undang Undang RI nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan
- Kewenangan Bidan dalam Permenkes nomor 1464 tahun 2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan
- Surat earan no. 129 tahun 2013 tentang Pelaksanaan Pengendakian HIV/AIDS dan Infeksi Mennular Seksual (IMS)
- Surat edaran nomor HK02 03/D/III.2/823/2013 tentang alokasi Pembiayaan Logistik Program Pengendalian HIV/AIDS dan IMS
- Surat edaran nomor GK/Menkes/001/1/2013 tentang Pencegahan Penularan HIV dari ibu ke anak (PPIA)
- Peraturan Menteri Kesehatan nomor 21 tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV dan ADIS
- Surat Keputusan Menteri Kesehatan 760/Menkes/SK/VI/2007 tentang Penetapan Lanjutan Rumah Sakit Rujukan bagi Orang dengan HIV dan AIDS (ODHA)
- Surat Keputusan Menteri Kesehatan 812/Menkes/SK/VII/2007 tentang Kebijakan Perawatan Paliatif
- Keputusan Menteri Kesehatan RI nomor 1508/Menkes/SK/X/2005 tentang Rencana Kerja Jangka Menengah Perawatan Dukungan dan Pengobatan untuk ODHA serta Pencegahan HIV dan AIDS tahun 2005-2009
- Keputusan Menteri Kesehatan nomor 144/tahun 2005 tentang Pokja Pengendalian HIV/AIDS Departemen Kesehatan Menteri Kesehatan RI
- Kepmenkes RI nomor 1285/Menkes/SK/X/2002 tentang Pedoman Penanggulangan HIV/AIDS dan Penyakit Menular Seksual
Apakah yang dapat memotivasi SDM tersebut?
Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja SDM kesehatan dalam rangka pengendalian dan penanganan HIV/AIDS melalui manajemen SDM yang tepat. Manajemen SDM berkaitan erat dengan kebijakan distribusi dari SDM atau penempatan, penggunaan SDM yang efisien, serta kinerja dari tenaga kesehatan (SDM). Perlu diupayakan langkah perekrutan staf baru yang kompeten atau ahli di bidangnya (the right man on the right place), pelatihan dan pengembangan SDM yang berkelanjutan, komunikasi yang baik serta saling berbagi informasi antar tim, serta pengambilan keputusan yang desentralisitik (Marchal et al., 2010).
Motivasi SDM yang tinggi untuk berproduksi dapat diatur melalui manajemen yang tepat, yaitu adanya keseimbangan antara produksi, motivasi, dan kepuasan kerja. Atau ada hubungan antara motivasi yang tinggi untuk bekerja dengan produktivitas yang dicapai. Manajemen SDM meliputi: relax management, team management, bankrupt management, yielding management.
Situasi atau tekanan di tempat kerja, dapat mempengaruhi produktivitas, kepuasan kerja, kapabilitas dan kesejahteraan SDM, begitu juga sebaliknya. Jika terlalu banyak tekanan di tempat kerja, dapat menurunkan motivasi untuk bekerja, bahkan menurunkan kepuasan kerja dan kesejahteraan pekerja. Pemberian insentif berupa tambahan gaji atau pemberian penghargaan diketahui dapat meningkatkan kinerja. Namun, bisa juga terjadi insentif sudah banyak diberikan, namun SDM tetap tidak merasa nyaman bekerja, sehingga produktivitas menurun dan program tidak berhasil. Pertanyaannya apakah sesungguhnya yang dibutuhkan untuk meningkatkan kompetensi sekaligus membangun komitmen bagi SDM AIDS untuk semakin professional dan memiliki dedikasi yang tinggi dalam memberikan layanan kepada pasien? Selain kebijakan yang jelas terkait dengan jenjang karier, jaminan kualitas layanan dan komitmen personal dapat dikembangkan sesuai dengan konteks perkembangan epidemi dan kebutuhan respon yang diberikan oleh pemangku kepentingan dan daya tanggapnya.
Pustaka:
Marchal, B., Dedzoz, McD., kegels, G. (2010). A realist evaluation of the management of a wellperformingregional hospital in Ghana. BMC Health Services Research. 10: 24. http://www.biomedcentral.com/1472-6963/10/24
World Health Organization. (2009). Systems thinking for health systems strengthening. Geneva: Switzerland.
USAID. (2012). The Health System Assessment Approach: A How-To Manual. Version 2.0. www.healthsystemassessment.org