Dua hal yang secara substantif memengaruhi perkembangan kebijakan penanggulangan HIV & AIDS di Indonesia ialah berubahnya relasi pemerintah pusat dan daerah (desentralisasi) dan perkembangan epidemi itu sendiri. Ketika sistem pemerintahan masih sentralistik, pendekatan vertikal masih dominan, dengan aktor utama pemerintah pusat beserta mitra pembangunan internasional penyokong dana penanggulangan HIV & AIDS di Indonesia. Kemudian ketika desentralisasi bergulir, urusan kesehatan, termasuk penanggulangan HIV & AIDS, berubah karenanya. Perkembangan epidemi yang diikuti pula dengan perkembangan respons terhadapnya menciptakan perubahan-perubahan tertentu dalam penyelenggaraan program. Keberhasilan program penyadaran telah menciptakan permintaan (demand) atas layanan. Semakin banyaknya cakupan ODHA yang memperoleh layanan Antiretroviral Treatment medorong pergeseran program penanggulangan dari kampanye penyadaran ke penyediaan layanan kesehatan. Ini membutuhkan penyesuaian yang lebih memadai oleh penyedia layanan kesehatan, dalam aspek standar, pemetaan prioritas, kebijakan, dan kebutuhan sumber daya guna memastiakn efektivitas dari proses manajemen; juga penyesuaian sistem operasional untuk menjamin tersedianya layanan berkualitas tinggi sejalan dengan pengembangan program.
Integrasi penanggulangan HIV & AIDS sebagai sebuah upaya inovatif ke dalam sistem kesehatan, diyakini merupakan strategi yang tepat untuk meningkatkan efektivitas, efisiensi dan keberlanjutan inovasi tersebut di masa depan. Meskipun demikian, strategi untuk mendorong integrasi ini tidak selalu mudah untuk dicapai karena adanya berbagai kepentingan strategis maupun praktis di tingkat kebijakan maupun di tingkat pelaksanaan. Upaya untuk mencapai tingkat integrasi yang diharapkan ternyata sangat tergantung oleh berbagai konteks dimana sistem kesehatan dan upaya penanggulangan HIV & AIDS ini bekerja. Komitmen politik dari pimpinan daerah, situasi ekonomi, keberadaan hukum dan regulasi yang tidak selalu mendukung penanggulangan HIV & AIDS ternyata menentukan seberapa jauh suatu program bisa diintegrasikan. Integrasi juga hanya bisa diwujudkan jika secara bersamaan ada upaya untuk memperkuat sistem kesehatan itu sendiri, serta ada interaksi yang saling mendukung antar pemangku kepentingan dalam sistem kesehatan dan penanggulangan HIV & AIDS.
Dengan memberikan fokus pada tiga intervensi pencegahan (PMTS-WPS, PMTS-LSL dan LASS) serta dua intervensi perawatan dan pengobatan HIV (link to care dan ART), kajian kasus yang disajikan dalam buku ini bertujuan untuk menggali secara analitis pengaruh tingkat integrasi antara upaya penanggulangan HIV dan AIDS dan sistem kesehatan terhadap efektivitas program. Selain itu, bertujuan pula untuk mengidentifikasi mekanisme di mana integrasi berkontribusi pada efektivitas program. Secara umum kelima kajian kasus tersebut telah menunjukkan bahwa integrasi kebijakan dan program penanggulangan HIV dan AIDS belum sepenuhnya terwujud dalam fungsi-fungsi utama sistem kesehatan. Interaksi antar aktor dalam penanggulangan HIV dan AIDS di tingkat nasional maupun daerah belum menunjukkan dukungannya terhadap integrasi, misalnya tampak dalam komitmen politik yang berubah-ubah, hukum dan regulasi yang seringkali berbenturan dengan kepentingan penanggulangan HIV dan AIDS serta karakteristik dari permasalahan HIV dan AIDS sendiri yang multi sektoral. Konsep integrasi yang sudah dicita-citakan dalam berbagai dokumen penanggulangan HIV dan AIDS selama ini ternyata masih bersifat normatif dan jauh dari implementasinya karena adanya faktor-faktor eksternal tersebut. Konsekuensi atas dinamika interaksi antar kepentingan dan kekuasaan yang bervariasi tersebut, efektivitas program menjadi bervariasi pula, baik dari sisi jenis intervensinya maupun lokasi di mana intervensi tersebut dilaksanakan.
Penelitian hasil kerjasama PKMK FK UGM dengan Department of Foreign Affairs (DFAT) ini merupakan usulan model layanan yang terintegrasi pencegahan HIV melalui transmisi seksual yang dimaksudkan untuk menjamin keberlangsungan di tingkat puskesmas beserta model kebijakan operasional yang dibutuhkannya. Terdapat 10 kegiatan pelayanan yang dapat diselenggarakan oleh puskesmas dan jejaringnya terkait program PMTS (Pencegahan Melalui Transmisi Seksual). Berbagai kegiatan pelayanan tersebut diusulkan untuk memiliki variasi tingkat integrasi ke layanan umum puskesmas mulai pada level terintegrasi sebagian dengan kolaborasi yang mendasar di tempat pelayanan hingga level terintegrasi penuh.
Pada umumnya, membaca laporan pelaksanaan program akan sangat menjenuhkan. Terlebih manakala penulisannya terjebak pada pengungkapan keberhasilan-keberhasilan belaka. Penaka tukang sulap, yang hampir tak pernah menemui kegagalan. Lantas, tak mengherankan saat kecenderungannya: narsis. Dari Penelitian ke Gerakan Perubahan, juga sebuah laporan program dalam rentang waktu 3 (tiga) tahun. Tetapi kejenuhan tak akan ditemukan saat membacanya. Laporan dengan pendekatan The Most Significant Change (MSC), ditulis menggunakan gaya jurnalisme dengan bahasa sederhana dan mengalir. Sungguh mengasyikkan, tak ubahnya membaca sebuah majalah saja rasanya.
© 2024 Kebijakan AIDS Indonesia