Oleh: Kurniawan Rachmadi, Laksono Trisnantoro, Samsuridjal Djauzi, Mubasysyir Hasanbasri
Penggunaan ARV di Indonesia sebenarnya sudah cukup lama, yaitu sejak 1990. Hanya saja waktu itu penggunaanya masih mono terapi atau duo terapi. Penggunaan terapi tiga kombinasi obat ARV baru dapat dilaksanakan pada November 1999, ketika Pokdisus AIDS FKUI mulai melaksanakan Program Akses Diagnosis dan Terapi. Melalui program ini Pokdisus melakukan negosiasi kepada perusahaan farmasi paten (obat & reagen laboratorium). Upaya tersebut berhasil menurunkan harga obat sebayak 30% dari harga obat pada umumnya. Meskipun harganya telah berhasil diturunkan 30%, namun penggunaan ARV angkanya tidak banyak berubah. Hal ini dikarenakan untuk harganya untuk kebanyakan masyarakat Indonesia dirasakan masih sangat mahal .
Tahun 2000, India berhasil memproduksi obat ARV generic, segera setelah itu pemerintah Afrika Selatan dan Thailand membeli untuk masyarakat mereka. Juni 2001, perwakilan dari Pokdisus mengunjungi India berupaya untuk mengakses obat ARV generik. Kunjungan tersebut berhasil mendapatkan komitmen dari salah satu perusahan produsen obat ARV generik di India. September 2001, paket obat ARV generik pertama dari India sampai di Indonesia. Upaya yang dilakukan Pokdisus mendapat respons positif dari masyarakat, setelah itu penggunaan obat ARV jumlahnya terus bertambah besar.
Walaupun sudah bisa mendatangkan obat ARV generik, namun kadang supply obat tidak selalu lancar. Apalagi bila dibandingkan dengan Afrika Selatan dan Thailand jumlah pemesanan Pokdisus sangat kecil. Oleh karena Pokdisus AIDS hanyalah sebuah lembaga pendidikan, maka jumlah pengguna ARV generik yang semakin besar pada akhirnya menjadi beban secara finansial. Menghadapi permasalahan itu Pokdisus lalu mengajak Indofarma untuk ikut terlibat, menggantikan peran pokdisus untuk pengadaan obat ARV. Indofarma setuju untuk ikut terlibat, sehingga secara kuantitas jumlah obat yang didatangkan menjadi lebih besar.
Berdasarkan pengalaman sebelumnya, oleh karena ARV harus terus dikonsumsi secara berkelanjutan maka penting untuk menjamin kepastian supply obat ARV. Lalu Pokdisus melakukan advokasi ke pemerintah dan perusahaan farmasi nasional agar dapat memproduksi obat ARV generik sendiri. Rencana ini tidaklah mendapatkan dukungan dari semua pihak, terutama sekali kekhawatiran tentang kualitas obat yang akan dihasilkan. Selain itu rencana tersebut juga mendapatkan perhatian dari perusahaan obat ARV paten. Upaya advokasi yang dilakukan secara terus menerus pada akhirnya mendapatkan dukungan dari Kementerian Kesehatan. Kementerian Kesehatan menyetujui untuk menyediakan ARV secara gratis pada pelaksanaan program akses untuk semua.
Pelaksanaan paten oleh pemerintah
World Trade Organisation (WTO) didirikan pada 1 January 1995 beranggotakan 154 negara. Salah satu kebijakan yang telah ditetapkan oleh WTO adalah mengenai undang-undang hak cipta (TRIP's, Trade Related Aspects of Intellectual Property Right's Agreement) yang diberlakukan sejak Januari 1995, khususnya dalam produk kesehatan terutama kefarmasian atau obat-obatan. Sebagai anggota WTO, Indonesia wajib memenuhi setiap kebijakan yang telah ditetapkan. Bila tidak maka Indonesia akan mendapatkan sanksi dari WTO.
Dengan diberlakukannya undang-undang tersebut maka obat yang telah dipatenkan baru dapat diproduksi generiknya bila telah melewati 15-20 tahun masa paten. Berarti selama itu pula pasien di negara miskin yang memerlukan obat tersebut harus membeli obat paten yang harganya 10 kali lipat lebih mahal. Bisa dibayangkan negara-negara miskin yang masih memiliki berbagai beban persoalan (politik, ekonomi, kemiskinan, dll) harus ditambah lagi dengan persoalan HIV/AIDS. Padahal dalam masalah kesehatan tidak boleh ada diskriminasi. Hak setiap orang untuk mendapatkan akses dalam pengobatan AIDS sama. Itu artinya semua Odha (orang dengan HV/AIDS), baik di negara maju maupun di negara berkembang, mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan pengobatan AIDS.
Deklarasi Alma Ata (1946) pada ayat ke-2 secara jelas menyatakan,"The existing gross inequality in the health status of the people particularly between developed and developing countries as well as within countries is politically, socially and economically unacceptable and is, therefore, of common concern to all countries". Itu artinya setiap orang, sebagai warga dunia di negara manapun memiliki hak yang sama. Baik yang menjadi warga negara-negara kaya maupun mereka yang menjadi warga negara- negara sedang berkembang bahkan juga warga Negara dari negara miskin sekalipun. Masalah ini sebenarnya telah dibahas pada pertemuan WTO tingkat menteri di Doha, Qatar pada November 2001. Pada pertemuan ini telah dideklarasikan bahwa untuk kepentingan kesehatan masyarakat maka UU hak cipta boleh diabaikan. Mekanisme untuk mengakses untuk ARV yang terjangkaupun telah diatur dalam ayat 33 undang- undang TRIP's. Sekalipun deklarasi Doha telah dilakukan namun ternyata tidaklah menyelesaikan semua masalah.
Apa yang dialami oleh Indonesia juga dialami oleh negara-negara lain seperti: Afrika Selatan, Nigeria, Malawi, Burundi, Brazil, India dan juga Thailand. Afrika Selatan dan Thailand bahkan sempat di tuntut oleh perusahaan obat paten karena dianggap telah melanggar paten. Peristiwa itu memperlihatkan bahwa perusahaan farmasi multinasional tidak akan membiarkan begitu saja sebuah negara berkembang memproduksi obat untuk kepentingan masyarakat mereka sendiri.
Pada ayat 33 UU TRIP's sebenarnya telah mengatur tiga pilihan yang bisa dilakukan oleh pemerintah untuk mendapatkan obat AIDS murah yaitu: kerjasama penelitian obat, import pararel, dan pelaksanaan patent oleh pemerintah. Pemerintah Indonesia pada akhirnya berupaya menunjukkan kepeduliannya kepada masyarakat yang memerlukan obat AIDS yang terjangkau. Dari ketiga pilihan tersebut pada akhirnya Pemerintah Indonesia memilih pilihan ketiga pelaksanaan paten (CL) oleh pemerintah. Tanpa prosedur CL, paten suatu produk obat baru dapat diakses bila sudah 15-20 tahun.
Terkait kebijakan pelaksanaan paten oleh pemerintah untuk produksi obat ARV, Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan 3 kali Peraturan Presiden. Pertama Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 83 Tahun 2004 Tentang Pelaksanaan Paten Oleh Pemerintah Terhadap Obat-Obat Anti Retroviral, Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2007, dan Tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor 83 Tahun 2004 Tentang Pelaksanaan Paten Oleh Pemerintah Terhadap Obat-Obat Anti Retroviral, dan yang terbaru pada tanggal 3 September 2012 telah mengeluarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 76 Tahun 2012 Tentang Pelaksanaan Paten Oleh Pemerintah Terhadap Obat Antiviral dan Antiretroviral.
Pada tahun 2004, Menteri Kesehatan juga mengeluarkan Surat Keputusan, Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1190/MENKES/SK/X/2004 Tentang Pemberian Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dan Obat Anti Retroviral (ARV) untuk HIV/AIDS. Selain itu Menteri Kesehatan juga memberikan Surat Keputusan kepada Kimia Farma dengan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1237/Menkes/SK/VI/2004 Tentang Penunjukan PT. Kimia Farma (PERSERO) TBK untuk melaksanakan paten obat antiretroviral atas nama Pemerintah. Sejak dikeluarkan SK tersebut PT. Kimia Farma mulai memproduksi obat ARV lokal yaitu AZT, 3TC dan nevirapine. Ketiga produk tersebut telah diuji bioavability dan bioequivalent di Fakutas Farmasi ITB. Dengan hasil BA & BE baik produk tersebut telah teregister di Badan POM. Pemerintah akhirnya mengeluarkan keputusan presiden (Keppres) yang mengatakan bahwa masyarakat Indonesia memerlukan obat ARV yang lebih terjangkau. Maka dengan demikian pemerintah Indonesia secara resmi telah melaksanakan compulsory licensing (CL). Dalam Keppres tahun 2004 juga disebutkan pemerintah Indonesia akan membayar 0,5% royalty kepada pemilik paten.
Pelaksanaan CL sebenarnya bukan hanya pada masalah obat saja, tapi juga pada masalah lain. CL dapat diterapkan juga pada masalah pupuk, computer, bahkan mesin mobil. Untuk melaksanakan CL suatu negara tidaklah perlu meminta persetujuan dari perusahaan pemegang paten. Negara yang paling banyak menerapkan mekanisme CL ini adalah Amerika. Contohnya adalah saat ini teknologi hybrid yang patennya dimiliki oleh perusahaan mobil Toyota, telah digunakan oleh NASA didalam pesawat ruang angkasa yang mereka miliki.
Mengapa Amerika melakukan kebijakan seperti itu, sebab undang-undang mereka menyatakan "Whenever an invention described in and covered by a patent of the United States is used or manufactured by or for the United States without license of the owner thereof or lawful right to use or manufacture the same, the owner's remedy shall be by action against the United States in the United States Court of Federal Claims for the recovery of his reasonable and entire compensation for such use and manufacture." (28
USC 1498 (a)).
Dalam prakteknya pemerintah Amerika atau kontraktornya dapat menggunakan paten, tanpa negosiasi sebelumnya dengan pemegang paten dan ini lakukan secara rutin. Meliputi semua penemuan yang dipatenkan di Amerika. Dalam pelaksanaan paten oleh pemerintah Amerika, tidak pernah ada negosiasi sebelumnya, dilakukan secara otomatis untuk menggunakan lisensi, dan tidak ada hal khusus atau spesifik otorisasi diperlukan. Pemerintah dapat mengizinkan kontraktor untuk menggunakan paten, Bisa dilakukan secara prospektif, melalui kontrak, tanpa merujuk pada penemuan tertentu, dan yang lebih hebat lagi otorisasi dapat tersirat.
Tantangan
Obat ARV telah menunjukkan manfaatnya secara nyata, ARV dapat menurunkan angka kesakitan, angka kematian, dan penurunan jumlah kasus infeksi baru. Beberapa penelitian memperlihatkan hasil yang menggembirakan. Penelitian HPTN 052 memperlihatkan antara pasangan serodiskordan menunjukkan penurunan 96% dalam transmisi antara pasangan yang memulai ART lebih dini dibandingkan dengan mereka yang pasangan HIV-positif menunggu sampai hitungan CD4 menurun.
Sebuah analisis kohort prospektif di antara pasangan Afrika mendokumentasikan penurunan transmisi HIV 92%, pada antara pasangan yang memulai ART pada jumlah CD4> 250 sel/mm3 dibandingkan dengan mereka yang tidak memulai ART dengan jumlah CD4 di wilayah 250 sel/mm3. Data dari kohort di Cina hampir 39.000 pasangan serodiskordan menunjukkan bahwa kejadian infeksi HIV adalah 1,3 per 100 orang pertahun di antara pasangan individu yang positif HIV telah memulai ART lebih dini (untuk alasan kesehatan mereka sendiri). Dan sebaliknya di antara kelompok pasangan individu-individu yang lainnya, telah melakukan pengobatan namun sudah sangat terlambat (dengan median CD4 <200 sel/mm3) didapati positif terinfeksi HIV 2,6 per 100 orang pertahun.
Data Kementerian Kesehatan memperlihatkan sejak tahun 2000 sampai tahun 2013 memperlihatkan bahwa angka kematian yang disebabkan oleh HIV dan AIDS telah menrun secara bermakna.
Pada era 'treatment as prevention' sudah seharusnya semua yang terlibat dalam penanggulangan HIV/AIDS merubah mindset. Tidak lagi mendikotomikan pencegahan dan pengobatan. Oleh karena secara klinis dan kesehatan masyarakat obat ARV telah terbukti manfaatnya, maka keberlangsungan ketersediaan obat ARV menjadi sangat penting. Tantangan kebijakan kedepan adalah memastikan kebijakan pelaksanaan paten oleh pemerintah tidak berubah. Selain itu diperlukan juga turunan kebijakan operasional yang menunjang dan dapat meningkatkan jumlah cakupan serta mengurangi hambatan teknis dilapangan. Sehingga akan semakin banyak masyarakat merasakan manfaat dari kebijakan tersebut.
Meskipun Layanan terapi ARV di Indonesia sampai Desember 2013, telah terdapat 418 layanan ARV (284 RS Pengampu dan 134 layanan satelit). Namun jumlah Odha yang mendapatkan obat ARV belum mencapai 10% dari total angka estimasi Odha di Indonesia. Estimasi jumlah Odha saat ini diperkirakan di Indonesia ada 591.823 Odha. Sedangkan mereka yang telah dan sedang mendapatkan pengobatan ARV ada 39.418
Odha. Sementara ini untuk perencanaan, pengadaan dan distribusi ARV masih dilakukan oleh Pusat. Dalam waktu dekat direncanakan desentralisasi distribusi ARV, di delapan provinsi yaitu: Jawa Timur, Bali, Papua, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Sumatera Utara, NTT, Papua Barat, Kepulauan Riau, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat.
Komitmen pemerintah sendiri bila dilihat dari penyediaan anggaran untuk obat ARV cukup baik dan terus menuningkat. Tahun 2008, pemerintah menyediakan Rp. 40,8 Miliar, dari APBN sebesar Rp. 37,9M sedangkan sisanya dipenuhi dari dana tambahan/bantuan Rp. 5,8M. Lalu pada tahun 2009 pemerintah melalui APBN menyediakan Rp. 42,5M. Sedangkan pada tahun 2010, seluruhnya dibiayai melalui APBN Rp. 84,7M . Pada tahun berikutnya 2011, terjadi sedikit kenaikan menjadi Rp. 85,6M semuanya disediakan menalui APBN. Pada tahun 2012 anggaran sebelumnya direncanakan akan dibiayai oleh APBN sebesar Rp. 119M. Pada tahun 2013 meningkat tajam menjadi Rp. 260M. Kenaikan signifikan ini terjadi karena pada 2013 regiman stavudine digantikan dengan tenofovir. Stock staviral KF ada 11.000 botol (sisa batch tahun lalu yang tidak terserap di program).
Ada hal yang menarik dari data anggaran pemerintah untuk obat ARV, peningkatan anggaran terjadi karena perubahan guideline pengobatan pada orang dewasa. Perubahan ini dilakukan dikarenakan mengikuti perubahan guideline WHO untuk pengobatan ARV pada orang dewasa, tidak menggunakan kombinasi regimen dengan Stavudine. Itu artinya obat yang digunakan pada guideline baru harganya lebih mahal. Akibatnya jumlah paket obat yang tersedia juga menjadi terbatas. Akibatnya jumlah Odha yang dapat ditolong jumlahnya akan lebih terbatas. Oleh kerena itu perlu dibuatkan guideline yang mampu laksana disesuaikan dengan kemampuan pemerintah.
Stavudine sendiri masih dipergunakan dibanyak negara di dunia, termasuk di Amerika dan Inggris. Negara lain yang masih menggunakan adalah Thailand, pemerintah Thailand hingga saat ini masih menggunakan stavudine. Salah satu strategi yang digunakan oleh Thailand adalah memperkecil dosis obatnya. Mereka sebelumnya menggunakan Stavudine 30mg, sekarang ini Thailand menyediakan Stavudine 15mg. Perubahan pada Stavudine ini sebelumnya pernah juga dilakukan pada Stavudine
40mg, lalu dirubah menjadi Stavudine 30mg.
Untuk itu perlu disusun pedoman pengobatan nasional yang baru, yang dapat membuat keberlangsungan program, meningkatkan cakupan dan penurunan angka infeksi baru. Penyusunan dan perubahan suatu kebijakan termasuk dalam mengubah pedoman untuk pengobatan memang harus melibatkan banyak pihak. Harus memperhatikan aktor, kotent dan konteks (teori segitiga kebijakan). Aktor terkait dalam hal ini adalah bisa individu atau lembaga. Mengingat dampaknya yang cukup besar, maka perlu dilakukan kajian dan analisa stakeholder pada kebijakan pelaksanaan paten obat ARV oleh pemerintah. Dengan melakukan analisa stakeholder ini kita akan dapat melihat interaksi yang terjadi antara aktor. Adapun lembaga yang sebaiknya ikut terlibat dalam menyusun kebijakan pedoman pengobatan yang baru adalah Kementerian kesehatan (P2M dan Binfar), KPAN, Badan POM, Kimia Farma, DPR (Komisi Kesehatan (IX) dan Komisi Anggaran (III), Lembaga Profesi (PDPAI & IDI), Perguruan tinggi, dan LSM (Lembaga Komunitas/ Populasi Kunci).
Selain itu perlu juga melakukan analisa stakeholder terhadap intitusi internasional, terutama yang memiliki keterkaitan dengan kebijakan peaksanaan obat ARV oleh pemerintah Indonesia. Baik itu WHO, UNAIDS, Global Fund, Multi National Company (MNC) Pharmacy, dan juga lembaga donor. Sehingga dengan demikian interaksi para aktor dapat di lihat dan di analisa secara utuh.
Melakukan analisa stakeholder saat ini menjadi amat penting, apalagi di era pelaksanaan BPJS kesehatan dan New Funding Model (NFM) untuk pelaksanaan program Global Fund periode selanjutnya. Pada NFM, Global Fund mewajibkan Pemerintah Indonesia untuk berbagi dalam pembiayaan program HIV dan AIDS. Dengan melakukan analisa ini dapat diperhitungkan betul baik buruknya dampak sebuah kebijakan. Hal terpenting adalah keberlangsungan kebijakan pelaksanaan paten obat ARV oleh pemerintah. Sebagai jaminan agar hak semua teman Odha Indonesia untuk terus mendapatkan pengobatan terjaga.
Daftar Pustaka:
- _____, Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 83 Tahun 2004 Tentang Pelaksanaan Paten Oleh Pemerintah Terhadap Obat-Obat Anti Retroviral,
- _____, Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2007, dan Tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor 83 Tahun 2004 Tentang Pelaksanaan Paten Oleh Pemerintah Terhadap Obat-Obat Anti Retroviral, dan yang terbaru pada tanggal 3 September 2012 telah mengeluarkan
- _____, Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 76 Tahun 2012 Tentang Pelaksanaan Paten Oleh Pemerintah Terhadap Obat Antiviral dan Antiretroviral.
- _____, Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1190/MENKES/SK/X/2004 Tentang Pemberian Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dan Obat Anti Retroviral (ARV) untuk HIV/AIDS
- Achara Eksaengsri, Antiretroviral Availability, Distribution, Use and Monitoring in Thailand, The Government Pharmaceutical Organization (GPO) Thailand, Jakarta 24th March 2014
- Karin Timmermans & Togi Hutajulu, The TRIPS Agreement and its Impact on Pharmaceuticals, Jakarta, May, 2000
- Kementerian Kesehatan, Laporan Perkembangan HIV-AIDS Triwulan IV tahun 2013, 14 Februari 2014
- Treatment 2013: Results, Impact And Opportunities, June 2013
- Laksono Trisnantoro, Pelaksanaan Desentralisasi Kesehatan di Indonesia 2000-2007 Mengkaji Pengalaman dan Skenario Masa Depan. BPFE Yogyakarta, 2009.
- Mubasysyir Hasanbasri, Analisis Stakeholder: Kebijakan Antinarkoba, Working draft, 2014.
- Marc J. Roberts et. All, Getting Health Reform Right A Guide To Improving Performance And Equity, Oxford University Press, 2004.
- Rochelle P. Walensky et.all, Economic Savings Versus Health Losses: The Cost- Effectiveness of Generic Antiretroviral Therapy in the United States, Annals of Internal Medicine Volume 158, Number 2, 15 January 2013.
- Robert Weissman, The United States and Compulsory Licensing U.S. Practice and Trade Policy, Essential Action, International Conference on Compulsory Licensing Bangkok, Thailand, November 2007
- Samsuridjal Djauzi, Produksi ARV Dalam Negeri, Jakarta 10 Februari 2010.
- Samsuridjal Djauzi et.all, Compulsory Licensing in Indonesia "Achievements and Challenges", National Movement on Improved Access to HIV/AIDS Treatment, International Conference on Compulsory Licensing Bangkok, Thailand, November 2007
- The MSF Access Campaign, Untangling The Web Of Antiretroviral Price Reductions, 16th Edition – July 2013, www.msfaccess.org
- UNAIDS, Getting To Zero 2011–2015 Strategy, Joint United Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS), 2010.
- WHO report in partnership with UNICEF and UNAIDS, Global Update On HIV