Oleh: dr. Anshari Saifuddin Hasibuan
Pasien HIV mengalami perubahan imunologi tubuh yang kompleks. Obat yang diberikan untuk pasien HIV biasanya bermacam-macam sehingga kemungkinan untuk menimbulkan efek samping semakin besar. Efek samping yang terjadi dapat berupa reaksi hipersensitivitas obat, seperti alergi kulit (mis: urikaria) tanpa reaksi sistemik sampai reaksi alergi berat seperti Sindrom Steven Johnson (SSJ). Pasien HIV bahkan lebih besar 100 kali untuk mengalami hipersensitivitas obat daripada orang normal. Pada era awal terapi ARV insidensi timbulnya ruam kulit mencapai 50% dari pasien HIV yang mengkonsumsi obat ARV. Semua obat antiretroviral (ARV) dan obat untuk mengobati infeksi oportunistik dilaporkan dapat menyebabkan efek samping. Oleh sebab itu menentukan jenis obat yang menyebabkan reaksi hipersensitivitas adalah sebuah tantangan.
Reaksi hipersensitivitas bervariasi dalam manifestasi klinis dan derajat beratnya. Manifestasi klinis yang terjadi bervariasi mulai reaksi efek samping obat per kutan/cutaneous adverse drug reaction (CADR), reaksi anafilaktik, demam, kerusakan hati akibat obat, anemia akibat obat, neutropenia dan trombositopenia. CADR merupakan manifestasi paling umum dari hipersensitivitas obat. Pasien dapat mengalami eksantema tanpa gejala sistemik atau sindrom hipersensitivitas obat yang ditandai dengan ruam eritema makulopapular dengan gejala tambahan seperti demam, pegal-pegal, nyeri sendi. Gejala tersebut dapat ditambah dengan keterlibatan organ dalam (hepatitis,nefritis, myokarditis, dsb). Sindrom Steven Johnson terjadi pada kurang dari 0,5% pasien. Studi dari Coopman, et al yang melibatkan 684 pasien HIV memperlihatkan CADR berperan dalam 8,2% diagnosis dermatologi pasien HIV. CADR yang paling umum adalah ruam kemerahan seperti campak. Kebanyakan CADR disebabkan oleh antibiotik kotrimoksazol. ARV juga berperan dalam CADR walaupun tidak sesering antibiotik.
Untuk ARV sendiri, terdapat 6 kelas yang telah disetujui pemakaiannya oleh US Food and Drug Administration (FDA) berdasarkan cara kerja mereka, yaitu nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NRTI), non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NNRTI), protease inhibitor (PI), fusion inhibitor, cystein-cystein chemokine receptor 5 (CCR5) dan integrase strand transfer inhibitor (INSTI). Regimen ARV harus terdiri dari sedikit 3 obat dengan cara kerja yang berbeda, biasanya kombinasi 2NRTI dengan 1NNRTI atau 2NRTI dengan 1PI. Semua jenis ARV dapat menyebabkan reaksi efek samping, terutama hipersensitivitas obat. WHO merekomendasikan satu kali dosis tetap kombinasi tenofovir dengan lamivudin/emtricitabin dan efavirenz untuk menyederhanakan terapi dan meningkatkan adherens. Regimen ini lebih sedikit dihubungkan dengan kejadian efek samping dan memiliki respons terapi yang lebih baik dibandingkan dengan regimen lainnya.
Tabel 1. ARV yang telah disetujui untuk mengobati HIV dan waktu paruhnya (dalam jam)
Tabel 2. Antiretroviral kombinasi tetap yang tersedia
*direkomendasikan sebagai regimen lini pertama oleh WHO
Antiretroviral sendiri memiliki efek samping yang cukup bervariasi. Tabel di bawah ini merangkum efek samping yang dimiliki oleh tiap golongan obat ARV
Tabel 3. Efek samping obat antiretroviral
Golongan |
Nama obat |
Efek samping |
Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NRTI) |
Abacavir |
- 2,3-9% pasien mengalami hipersensitivitasà paling banyak di kelasnya - Reaksi dimanifestasikan dengan sedikitnya dua gejala dari: demam,ruam, malaise, mual, sakit kepala, pegal, diare, menggigil, dsb |
Zidovudin |
- Reaksi hipersensitivitas jarang ditemukan - Reaksi termasuk ruam makulopapular, lesi eritema, demam, vaskulitis |
|
Tenofovir |
- Ruam makulopapular, dermatitis fotoalergenik |
|
Non- Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NNRTI) |
Nevirapin |
- Ruam: timbul pada 15-32% pasien - Demam dan hepatitis: 5% pasien - Sindrom Steven Johnson (SSJ) dan Toxic Epidermal Necrolysis (TEN): 0,3 – 0,7% |
Efavirenz |
- Ruam: timbul pada 4,6-20% pasien - SJS, TEN: 0,1% pasien - Ruam biasanya timbul setelah 2 minggu pemakaian obat |
|
Etravirin |
- NNRTI generasi kedua - Ruam menjadi efek samping yang sering terjadi - Biasanya terjadi minggu kedua setelah pemberian obat - Ruam akan hilang seiring dengan dikonsumsinya obat |
|
Protease Inhibitor (PI) |
Amprenavir |
- Obat golongan PI yang paling sering menyebabkan hipersensitivitas obat (28%) |
Foramprenavir |
- Ruam ditemukan pada 19% pasien |
|
Lopinavir/ritonavir |
- Memiliki cakupan luas dari reaksi efek samping kulit - Ruam makulopapular diperkirakan mencapai 2-4% |
|
Atazanavir |
- Tidak umum dihubungkan dengan ruam - Pada beberapa hal, ruam dihubungkan dengan enzim hati yang meningkat, hiperbilirubinemia |
|
Darunavir |
- Golongan obat baru di PI, ruam makulopapular ringan-sedang 1-7% pasien |
|
Fusion inhibitor |
Enfuvirtide |
- Satu-satunya obat di golongan fusion inhibitor - Diberikan dengan injeksi subkutan - Hipersensitivitas jarang ditimbulkan, kurang dari 1 % |
CCR5 Inhibitor |
Maraviroc |
- Hipersensitivitas jarang ditimbulkan |
Integrase strand transfer inhibitor |
Raltegravir |
- Obat pertama dalam golongan ini jarang dilaporkan menyebabkan reaksi hipersensitivitas |
Dolutegravir |
- Obat lebih baru dalam golongan ini - Reaksi hipersensitivitas yang ditimbulkan berupa ruam dan yang lebih berat disfungsi organ |
Diagnosis dan tatalaksana hipersensitivitas obat adalah satu hal yang cukup menantang sebab pasien mengkonsumsi obat yang bermacam-macam dan mengalami infeksi oportunistik. Obat terakhir yang diberikan tidak selalu menjadi penyebab reaksi karena timbulnya reaksi alergi biasanya bertahap/tidak langsung, antara 1-6 minggu sampai 3 bulan setelah konsumsi obat. Menghentikan obat, terutama untuk infeksi oportunistik dapat membahayakan pasien.
Tes desensitisasi obat bertahap dapat menjadi tindakan yang dipilih ketika memiliki keperluan klinis. Menghentikan (stopping) obat dan memberikan kembali (rechallenging) harus dalam pemantauan yang ketat. Harus diketahui juga bahwa beberapa pasien yang mengalami ruam ringan-sedang dapat diobati selama tidak melibatkan gejala sistemik atau disfungsi organ (obat ARV/untuk infeksi oportunistik dapat diteruskan). Diagnosis hipersensitivitas obat harus didasarkan pada evaluasi waktu yang baik antara pemberian obat dengan timbulnya gejala, efek penghentian dan pemberian kembali obat, dan eksklusi kemungkinan penyebab lainnya. Dokter harus tahu secara pasti kapan obat harus diteruskan atau dihentikan dan kapan harus diulang pemberiannya dengan obat yang sama atau diganti dengan obat lain. Diagnosis dan tatalaksana hipersensitivitas obat pada pasien HIV merupakan tantangan untuk tenaga medis terutama para dokter, sehingga butuh pendalaman teori dan pengalaman yang baik.
Daftar Pustaka
- Yunihastuti E, Widhani A, Karjadi TH. Drug hypersensitivity in human immunodeficiency virus infected patient: challenging diagnosis dan management. Asia Pacific Allergy jour 2014; 4 (1)
- Vanker A, Rhode D. Human immunodeficiency virus and allergic disease. Curr Allergy ClinImmunol 2009;22:168-72
- Todd G. Adverse cutaneous drug eruptions and HIV: a clinician’s global perspective. Dermatol Clin 2006; 24: 459-72
- Chaponda M, Pirmohamed M. Hypersensitivity reactions to HIV therapy. Br J Clin Pharmacol 2011; 71: 659-71
- Bayard PJ, Berger TG, Jacobson MA. Drug hypersensitivity reactions and human immunodeficiency virus disease. J Acquir Immune Defic Syndr 1992; 5: 1237-57
- Temesgen Z, Beri G. HIV and drug allergy. Immunol Allergy Clin North Am 2004; 24: 521-31
- Guidelines for the use of antiretroviral agents in HIV-1 infected adults and adolescents: developed by the HHS panel on antiretroviral guidelines for adults and adolescents-A Working Group of the Office of AIDS Research Advisory Council (OARAC)
- Warren KJ, Boxwell DE, Kim NY, Drolet BA. Nevirapine-associated Steven Johnson Syndrome. Lancet 1998; 351: 567.
- Shear NH, Milpied B, Bruynzeel DP, Phillips EJ. A review of drug patch testing and implications for HIV clinicians. AIDS 2008;22: 999-1007