Oleh: Siradj Okta, SH., LL.M (Unika Atma Jaya)
Konferensi AIDS Internasional yang ke-20 (www.aids2014.org) telah berlangsung pada tanggal 20-25 Juli 2014 yang lalu di Melbourne, Australia. Konferensi tersebut merupakan wadah pertukaran pengalaman dari seluruh dunia dalam menyikapi epidemi AIDS. Topik-topik ilmiah dalam konferensi tersebut dikelompokkan dalam lima kategori (track), yaitu: Track A: Basic and Translational Research; Track B: Clinical Research; Track C: Epidemiology and Prevention Research; Track D: Social and Political Research, Law, Policy and Human Rights; Track E: Implementation Research, Economics, Systems and Synergies with other Health and Development Sectors.
Kriminalisasi perilaku yang berhubungan dengan penularan HIV merupakan topik yang mulai muncul seiring perkembangan epidemi. Jumlah kasus yang meningkat, alokasi pendanaan yang lebih besar, serta masuknya HIV-AIDS secara lebih ekstensif dalam ranah kebijakan, pada gilirannya telah memicu aktifnya respon hukum pidana yang lebih nyata. Pada konferensi ini, topik kriminalisasi perilaku berisiko secara cukup signifikan masuk dalam Track D bersama topik hak asasi manusia, kebijakan, serta kaitannya dengan populasi kunci. Di luar sesi-sesi Track D, mengenai kriminalisasi perilaku berisiko juga muncul dalam pidato Direktur Eksekutif UNAIDS, Michel Sidibé, yang mengedepankan peranan Global Commission on HIV and the Law dalam upaya menghilangkan kriminalisasi perilaku berisiko.
Disinsentif Pendekatan Punitif
Kriminalisasi perilaku berisiko memiliki makna bahwa beberapa variasi perilaku, baik yang berakibat menularkan maupun sebatas formalitas eksistensi risiko, telah memasuki ranah hukum positif yang dalam proses politik ideal dianggap mewakili moralitas masyarakat. Sementara, pengalaman dari konferensi ini menunjukkan bahwa hukum punitif yang lahir dalam menyikapi epidemi HIV-AIDS secara signifikan telah (dan akan selalu) merugikan upaya penanggulangan AIDS, disamping membatasi pemenuhan hak asasi manusia. Sebagai contoh, pengalaman di Uganda menunjukkan bahwa hukum punitif terhadap pekerja seks justru mendorong perilaku seks berisiko menjadi underground sehingga menyulitkan akses pada layanan kesehatan, termasuk kepatuhan terapi anitertroviral (ART) yang hal ini justru mengancam nyawa.
Pengalaman konferensi ini menunjukkan bahwa hukum tidak selalu bertentangan dengan upaya kesehatan masyarakat, namun substansi hukum perlu lebih komprehensif dengan perspektif yang holistik. Salah satu pengalaman di Afrika Selatan yang juga dipresentasikan dalam konferensi ini menunjukkan bahwa beberapa instrumen hukum yang tampak seolah dirancang untuk melindungi perempuan justru menjadi kontraproduktif. Paradoks muncul ketika kriminalisasi terhadap penularan HIV bersinggungan dengan pemerkosaan. Jika seorang perempuan HIV positif melaporkan pemerkosaan atas dirinya dan ia membuka status HIV-nya, maka ia justru dapat dipertanyakan kembali apakah telah memberitahukan status HIV-nya kepada pelaku pemerkosaan. Pada situasi ini, korban pemerkosaan justru dapat menjadi pelaku kejahatan, yaitu melakukan penularan (atau tidak melaksanakan kewajiban memberitahu status HIV saat terjadi hubungan seksual) sebagaimana diatur dalam hukum. Di Namibia, masih terjadi sterilisasi yang dipaksakan terhadap perempuan dengan HIV. Hal ini merupakan isu hak asasi manusia yang juga telah diajukan ke African Commission on Human and People’s Rights. Konferensi juga mempertegas bahwa kriminalisasi perilaku berisiko akan menghambat upaya penanggulangan AIDS dengan adanya sesi HIV Testing: A Critical Entry Point for Both Treatment and Prevention (tes HIV sebagai titik masuk penting untuk pencegahan dan pengobatan). Sesi tersebut memperluas standar bahwa tes HIV yang berkualitas bukan hanya ‘consent, confidentiality, and counselling’ (persetujuan, konfidensialitas, dan konseling), tetapi juga meliputi ‘correct test result and connection to prevention, care, and treatment services’ (hasil tes yang tepat dan terhubung dengan layanan pencegahan, perawatan, dan pengobatan). Dengan demikian, substansi hukum yang menghalangi akses pada tes HIV perlu diubah/dihapus karena berarti menghalangi upaya pencegahan penularan sehingga secara hakikat menutup pemerolehan hak asasi manusia.
Hukum Semata Tidak Dapat Mengatasi Epidemi HIV
Konferensi ini menjadi forum yang penting mengingat banyaknya peserta dengan berbagai latar belakang. Permasalahan hukum dan HIV tidak hanya dibicarakan oleh legislator, akademisi, ataupun praktisi hukum, tetapi juga terdapat anggota populasi terdampak langsung, LSM, serta ahli-ahli dari berbagai disiplin ilmu lain. Dengan demikian, respon terhadap pendekatan hukum pidana mendapatkan persepktif yang lebih komprehensif. Pada sesi Behind the Scene: Socio-economic Drivers, pengalaman-pengalaman dari Malawi, Haiti, Eropa, dan Australia menunjukkan bahwa faktor sosial ekonomi juga memberikan pengaruh terhadap upaya penanggulangan AIDS. Bahwa program-program pencegahan HIV akan mendapat insentif jika diterapkan dalam lingkungan kebijakan yang mendorong kesetaraan penghasilan. Tentunya, aspek-aspek lain juga menjadi faktor yang mempengaruhi, seperti adanya rasisme, seksisme, nilai moral, anak-anak yatim piatu, serta jenjang-jenjang sosial. Aspek hukum yang lebih luas juga merupakan faktor, misalnya kapasitas kontekstual penegak hukum terkait AIDS, atau hubungan hak atas kekayaan intelektual terkait obat ARV dengan prospek kebijakan pemerintah dalam perdagangan internasional. Aspek klinis dan perilaku juga menjadi diskursus yang mempengaruhi.
Perkembangan tema-tema lain seperti wacana pencegahan berbasis ARV, harm reduction, serta kesehatan jiwa tidak lagi dapat dipisahkan dari penelitian-penelitian sosial. Realitas respon HIV di masyarakat tidak selalu sama seperti proses dan hasil penelitian eksperimental. Secara umum, dapat diterima bahwa konferensi menghendaki bahwa upaya hukum dalam penanggulangan AIDS harus selalu terintegrasi dengan sektor lain. Paling tidak, harus selalu ada intersection dengan disiplin ilmu lain sehingga kehadiran hukum dengan sifat memaksanya dapat memberi insentif pada respon AIDS global.
Keberlanjutan Pemantauan dan Hashtag Activism
Konferensi ini telah memberikan rekognisi bahwa hukum pidana untuk sementara dipandang disinsentif pada penanggulangan AIDS, sehingga tantangan masih terbentang. Global Commission on HIV and the Law yang di-endorse UNAIDS telah mengeluarkan berbagai rekomendasi dan laporan, namun di saat yang sama produk hukum yang disinsentif terhadap penanggulangan AIDS juga masih tetap bermunculan. Untuk itu pemantauan dan advokasi untuk hukum dan kebijakan perlu terus dilakukan untuk menunjang penanggulangan AIDS yang efektif. Dokumentasi dan database pelanggaran hak asasi manusia perlu diperkuat sebagai alat advokasi.
Konferensi AIDS Internasional merupakan kesempatan yang baik untuk mendorong perhatian publik pada epidemi HIV. Vega Dabbah et. al. mengemukakan dalam paparannya bahwa kini sosial media memiliki peranan yang potensial dalam diseminasi informasi serta membangun kesadaran publik. Analisis dilakukan terhadap stream Twitter seputar pelaksanaan Konferensi AIDS Internasional 2012 yang kemudian dikolompokkan dalam 7 variabel stigma. Hasilnya adalah bahwa hashtag activism (penggunaan sosial media) merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk menangkap realita seputar AIDS serta mempengaruhi kebijakan.
Sumber:
Rapporteur Summaries, AIDS 2014, http://www.aids2014.org/Default.aspx?pageId=731:
- Track D Session SUSA31, Launch of the WHO consolidated Guidance on HIV prevention, diagnosis, treatment and care for Key Populations
- Track D Session MOWS11, Using the Law to Defend Human Rights in the HIV Epidemic: Courts in Action
- Track D Session MOSY04, Criminalization of Key Populations: How to Respond to HIV?
- Track D Session y MOSS02, No One Left Behind: Stepping up the Pace on the Removal of Punitive Laws to Advance Human Rights and Gender Equality
- Track D Session MOAD01, Behind the Scenes: Socio-economic Drivers
- Track D Session TUAD02, Critical Justice: Human Rights, Legal Issues and HIV
- Track D Session TUAD03, Stigma: Contexts, Intersections and Responses
- Track D Session TUAD01, Sexier than You Think: HIV Policy, Regulation and Legislation
- Track D Session WESY04, ARV-based HIV Prevention in Practice: Social and Behavioural Aspects
- Track D Session WESY06, Global Injustices: The Control, Containment and Punishment of People Living with HIV
- Track D Session THSY01, HIV Testing: A Critical Entry Point for Both Treatment and Prevention
- Track D Session FRAD01, Drug Policy, Harm Reduction and Human Rights