Oleh: Mira Renata

LSL dan AIDS | rappler.comIbarat memasuki belantara, stigma adalah belukar yang menghambat program penanggulangan HIV and AIDS. Stigma moral, agama, maupun ‘label’ negatif dalam masyarakat menyoroti perilaku kelompok beresiko sebagai ‘penyimpangan’, ‘penyakit’, atau bahkan ‘kutukan’.

Di sisi lain, pemahaman mendalam terhadap karakter dan pola interaksi kelompok beresiko masih belum maksimal. Situasi ini mempengaruhi pengemasan dan format pesan penanggulangan HIV dan AIDS menjadi kurang pas. Ketimbang meralat stigma dan menjawab pertanyaan atau rasa khawatir kelompok berisiko, banyak informasi pencegahan penularan bernada normatif atau tanpa sengaja malah memojokkan. Cara penyampaian pesan terkadang kurang menarik serta disampaikan melalui format media yang tidak sesuai dengan khalayak sasaran.

Salah satu populasi kunci yang seringkali terpinggirkan dalam belantara ini adalah kelompok Lelaki berhubungan seks dengan Lelaki (LSL). Di tengah himpitan stigma dan pemahaman minim terhadap dunia mereka, sebagian besar LSL memilih menghindar atau diam daripada berada di bawah tekanan sosial maupun keterasingan.

Padahal, data Kementerian Kesehatan tahun 2012 menyebutkan bahwa hampir 1,300,000 LSL di Indonesia berisiko tinggi tertular HIV. Jumlah signifikan ini merupakan bagian dari estimasi 8,700,000 orang berisiko tertular termasuk pengguna jarum suntik (penasun), wanita pekerja seks (WPS), dan waria[1]

Siapa sebetulnya yang termasuk kelompok LSL? Ada beberapa pandangan tentang siapa mereka.  Tulisan ini melihat LSL dari perspektif ‘pelangi’ identitas seksual. Termasuk laki-laki “gay” (juga mereka yang memilih menikah dengan perempuan), waria, serta lelaki heteroseks yang memilih seks dengan lelaki demi kepuasan, materi, maupun pengalaman.  Estimasi global[2] menyebutkan sekitar 3% populasi laki-laki di dunia adalah LSL – atau sekitar 1,8 juta di Indonesia. Karena sifat yang cenderung tertutup, kepastian jumlah LSL sulit diperoleh. 

Bagi Steve Wignall, M.D., pemerhati HIV dan AIDS, khususnya pada kelompok LSL dan juga merupakan Senior Advisor di Clinton Health Access Initiative, penyampaian pesan kunci tentang pencegahan HIV dan AIDS bagi LSL menjadi teramat penting. “Pendidikan mengenai orientasi seks dan risiko penularan HIV lewat  hubungan seks tanpa proteksi perlu disebarkan sedini mungkin.  Kebanyakan anak-anak muda, demi memuaskan keingintahuan, mencari informasi melalui internet atau teman.”  Namun sayangnya, menurut dr. Wignall,  tidak semua pencarian informasi menjadi terarah dan akurat. Ada yang pergi ke situs-situs porno, atau terbawa pada pergaulan bebas dan pesta seks. “Sebagian berakhir dengan melakukan hubungan seks tanpa pemahaman, tanpa kondom, dan dengan pasangan yang berusia lebih tua, sehingga potensi terkena infeksi HIV melesat menjadi 1:5,” ujar dr. Wignall.

Stigma kondom sebagai alat ‘rekreasi seks’ masih terus mendominasi di Indonesia. Kondom terus diasosiasikan dengan hubungan seks di luar pernikahan dan belum pada fungsinya  sebagai  alat KB atau proteksi virus HIV dan penyakit kelamin. Akibatnya, masih banyak laki-laki canggung membeli kondom. Di sisi lain kondom sering dianggap tidak nyaman dalam berhubungan seks. Bahkan bagi sebagian besar pasangan, baik LSL maupun heteroseks, seks tanpa kondom membuktikan ‘kepercayaan’. Negosiasi pemakaian kondom juga terus terjadi dalam seks komersil. Yang kerap terjadi, klien memilih untuk tidak memakai kondom sehingga resiko penularan HIV bagi klien dan pekerja seks komersil LSL semakin besar.  

Kampanye pemakaian kondom sebagai pencegah penularan HIV, menurut dr Wignall, memang belum efektif.  Bahkan di antara LSL yang terbiasa menggunakan kondom, masih ada ketidakpahaman tentang penggunaan pelumas (lubricant) untuk mencegah lecet dan trauma pada jaringan rektum di anal. “Ludah, losion, atau pelumas berbahan dasar petroleum seringkali dipakai sebagai alternatif; padahal ketiganya berpotensi meningkatkan resiko kebocoran kondom yang menyebabkan paparan virus HIV dan penyakit kelamin,” jelasnya.

Ketidakpahaman ini menjadi lebih riskan karena hampir sebagian besar LSL memiliki fleksibilitas berganti peran dalam hubungan seks; suatu saat sebagai pasangan yang melakukan penetrasi (top) dan di lain kesempatan menerima penetrasi (bottom). Sebagai bottom, ia memiliki risiko tertular yang tinggi. Dan ketika ia berganti peran sebagai top, ia juga berpotensi menyebarkan virus HIV kepada pasangannya.  Hal ini akan terus berlanjut mengingat pola hubungan LSL yang biasa berganti atau memiliki banyak pasangan. Kontribusi gaya hidup juga semakin mempengaruhi cepatnya penyebaran HIV dan AIDS. Pesta seks yang melibatkan 5-15 laki-laki disertai konsumsi narkoba, khususnya club drugs (e.g.  ecstasy, shabu-shabu) dan obat kuat memiliki kemungkinan penyebaran yang cepat. Bukti-bukti ilmiah[3], memang menunjukan keterkaitan antara perilaku seksual yang bersiko dan penggunaan narkoba ini.  Semua faktor-faktor ini meningkatkan potensi penyebaran HIV dan AIDS di komunitas LSL.  

Merangkai Pesan Untuk LSL

Mengenali karakter kelompok LSL adalah faktor penting dalam merancang kampanye pencegahan penularan HIV dan AIDS secara efektif. “Lupakan metode penyampaian informasi yang konvensional seperti situs web. Jarang yang melihat ke sana,” tegas dr. Wignall.

Pertama, pesan pencegahan penularan HIV untuk populasi LSL yang terbuka bernegosiasi untuk berhubungan seks, bisa disampaikan secara langsung. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau lembaga advokasi bisa menjalankan program penyebarluasan informasi tentang kondom dan pencegahan penularan HIV dan AIDS di lokasi-lokasi pertemuan LSL seperti bar/karaoke/diskotik, panti pijat, sauna, dan taman atau jalanan.

Kedua, pendekatan dengan media sosial sebaiknya diintegrasikan untuk melengkapi pendekatan di tempat. Kebanyakan LSL memilih untuk bertemu secara online. Format penyampaian pesan pencegahan penularan HIV pun bisa dibuat lebih menarik, terutama untuk kelompok LSL yang berusia remaja. “Anekdot, cerita tentang kehidupan dan cinta, trend gaya hidup, adalah beberapa alternatif mengemas pesan pencegahan penularan HIV agar lebih memikat. Juga keterbukaan untuk mendiskusikan keberagaman seksual, pilihan orientasi seks, dan hak asasi manusia. Perjalanan kita masih panjang,” jelas dr. Wignall.  

Berikutnya, bagaimana pesan-pesan itu kemudian disertai dengan fasilitas tes dan medis yang dapat menjangkau LSL. Ketersediaan akses medis dengan yang terjangkau, ramah, efisien, serta tidak mendiskriminasi pasien menjadi bagian yang tak terpisahkan dari program penyebaran pesan pencegahan. Dr Wignall memiliki pandangan tersendiri tentang hal ini. “Sudah ada berbagai bukti yang menunjukan bahwa ketika seseorang mengetahui statusnya yang positif HIV, dia akan melakukan berbagai cara untuk menyembuhkan sekaligus mencegah penyebaran; memakai kondom, mengurangi jumlah pasangan, dan minum obat anti-retroviral secara rutin.”

Dua yayasan yang ia kelola, Yayasan Kasih Suwitno dan Yayasan Bali Peduli, menjalankan beberapa klinik yang mengedepankan kenyamanan dan privasi pasien.  Dengan prinsip tes, obati, dan jalani hidupmu, klinik-klinik ini mengusahakan agar tahapan konseling, tes, dan pengambilan hasil bisa dilakukan dalam tempo satu jam. Dengan pendekatan sekali jalan ini, pasien tidak merasa cemas menunggu status sekaligus tidak membuang waktu dan biaya pulang pergi ke klinik. Tantangan psikologis dan hambatan biaya setidaknya bisa dikurangi.

Bersama beberapa fasilitas kesehatan, dokter Wignall juga tengah berupaya untuk menjalankan pendekatan klinik secara mobile, di mana tim medis beserta perangkat tes mendatangi lokasi-lokasi pertemuan LSL seperti bar, sauna, dan panti pijat. Pendekatan ini biasanya menyesuaikan dengan waktu komunitas LSL berinteraksi. Tujuannya agar LSL yang ragu-ragu berkunjung ke klinik bisa tetap mendapat kesempatan tes. LSL yang skeptis atau belum mengerti resiko penularan HIV juga mendapat kesempatan memperoleh informasi yang akurat dari baik dari tim dokter/perawat maupun konselor.

Kesadaran Bersama Mengenai LSL

Lewat rentang karirnya sebagai peneliti dan pengelola program selama lebih dari dua dekade, dr. Wignall meyakini bahwa kesempatan menjalani test untuk mengetahui status HIV menjadi titik penting terjadinya perubahan perilaku.

“Selama seorang LSL tidak mendapat kesempatan test dan tidak mengetahui statusnya, dia akan terus menghindar atau mengenyampingkan resiko terkait perilakunya,” jelas dr Wignall.

Dalam jangka panjang, dr Wignall menggarisbawahi pentingnya membangun kesadaran bersama bahwa orientasi seksual merupakan sebuah pilihan, disertai rasa saling menghargai, serta jaminan perlindungan hukum bagi LSL. Selama stigmatisasi terus berlangsung, rasa percaya diri LSL akan terus tergerus dan menjadi semakin sulit dijangkau dalam program pencegahan HIV dan AIDS. “Jika anak-anak muda ini terus merasa terpinggirkan, tidak layak, dan ‘salah’, bagaimana kita berharap bisa terjadi perubahan perilaku yang positif?”

Penguatan peran LSM dan lembaga advokasi beserta dukungan dana yang berkelanjutan, harus terus diupayakan. Terutama dengan melibatkan  peran  aktif praktisi media (termasuk media sosial) dan expert monitoring evaluasi sangat diperlukan  untuk mengukur efektivitas penggunaan media alternatif dalam penyampaian pesan. “Pendekatan yang sudah berhasil diterapkan semoga bisa diadaptasi luas dan didampingi dengan akses dan ketersediaan klinik yang menjangkau LSL dari berbagai kalangan,” ucap dr Wignall.


[1] Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Laporan estimasi nasional infeksi HIV, Indonesia. Jakarta, Indonesia: Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan; 2012

[2]UNAIDS. Report on the global AIDS epidemic. Geneva: UNAIDS; 2013

[3]Fisher, D.G., Reynolds, G.L., Ware, M.R., Napper, L.E. (2011). Methamphetamine and Viagra Use: Relationship to Sexual Risk Behaviors. Arch Sex Behav, 40, 273–279

Penelitian

Knowledge Hub

knowledgehub

knowledgehub

knowledgehub

Informasi

sejarahaids sistemkesehatan kebijakankesehatan kebijakanaids

Didukung oleh

AusAID