Oleh: Mira Renata
Memasuki pintu utama Ruang Carlo, deretan kursi berwarna hijau, merah, dan kuning oranye di atas lantai kayu menyambut kedatangan para tamu. Semilir sejuk pendingin ruangan dan beberapa lukisan di dinding menenteramkan ruangan.
Pagi hari di akhir pekan itu, ruang masih sepi. Salah satu saluran TV kabel menyala di area tunggu. Tayangan tengah menampilkan artis Demi Moore dan Miley Cyrus yang bertengkar layaknya ibu dan anak. Menjelang pukul Sembilan, beberapa tamu masuk sambil bercakap riang. Mereka bertegur sapa dengan resepsionis. Seperti kantor agensi perjalanan, para staf terlihat sigap dan ramah menyambut tamu yang datang. Tak ada tamu yang berdiri kikuk atau kebingungan.
Kecuali, ruang tunggu agensi perjalanan hampir tak pernah menaruh timbangan berat badan di salah satu sudut. Jika beberapa petugas berpakaian dokter tidak bersliweran, tidak ada tanda keberadaan sebuah tempat pelayanan kesehatan. Sebuah loket kecil di sudut belakang ruangan merangkap tempat penyimpanan obat. Beberapa boks bertebaran di lantai. Seorang petugas tengah mencatat stok obat.
Di ruang yang serupa kantor agensi perjalanan ini, para tamu datang dengan tujuan berbeda.
Beberapa di antaranya merupakan orang yang baru kali pertama datang ke Ruang Carlo, nama tempat layanan kesehatan untuk menjalani tes HIV dan infeksi menular seksual (IMS) di Rumah Sakit St. Carolus, Jakarta Pusat. Sebagian lain adalah anggota keluarga atau kerabat dekat pasien yang rutin datang mengambil obat antiretroviral untuk mengobati infeksi HIV.
Sebagian lagi adalah bagian yang tak terpisahkan dari Ruang Carlo. Mereka adalah Orang dengan HIV dan AIDS (ODHA). Putri (bukan nama sebenarnya) misalnya. Di akhir pekan, Putri berkunjung ke Ruang Carlo untuk bersua dengan dokter dan perawat yang sudah seperti keluarga baginya. Siang itu dia mampir sebelum kuliah. Sehari-harinya, Putri juga bekerja di sebuah kantor swasta.
“Sekarang tujuan hidup saya adalah menjadi mandiri. Suatu saat saya ingin punya usaha sendiri dan bisa membantu orang lain. Kalau untuk yang lainnya saya belum siap.”
“Lainnya” yang dimaksud Putri adalah menghadapi orang-orang di sekelilingnya jika mereka tahu dia positif HIV dengan segala problematikanya. Sampai sekarang, tak ada yang tahu kondisi Putri. Kedua orang tuanya sudah tidak ada. Saudara-saudaranya terpencar di berbagai kota. Dengan teman kuliah dan rekan kerja, Putri juga tidak berkeinginan memberitahu. Meski terkadang, muncul momen yang membuatnya tergelitik untuk berdebat.
“Saat makan siang bersama, seorang teman mengeluh bahwa toilet umum banyak yang tidak bersih. Seorang teman lain menimpali. Dengan berapi-api, dia mengingatkan kami untuk selalu membersihkan dan mengalasi tempat duduk toilet dengan tisu supaya tidak tertular AIDS.”
Putri memilih diam di tengah hiruk pikuk pembicaraan. Tidak mengiyakan, tidak membantah. Dia merasa tidak ada gunanya menjelaskan. Putri juga tidak ingin memancing kecurigaan. “Jika saya jelaskan, mereka hanya akan semakin bertanya - kok kamu tahu banyak sekali tentang AIDS?”
Ruang Carlo adalah tempat bagi banyak ODHA seperti Putri.
Berawal dari gerakan kesadaran para dokter, perawat dan pengurus di Rumah Sakit St Carolus akan pentingnya pengobatan HIV yang terintegrasi dalam sistem dan kontrol pelayanan kesehatan. Termasuk memberikan langkah pencegahan penularan kepada kelompok berisiko dan keluarga.
“Saya menginginkan suatu tempat di mana siapa saja bisa diterima, didengarkan, hingga tak lagi merasa sendirian. Mereka tidak perlu khawatir untuk datang, tidak perlu takut ikut tes, dan tidak perlu merasa kehilangan harapan atau sendirian ketika hasil tes HIV positif,” ujar dokter Emon Winardi, dokter spesialis penyakit dalam yang membantu Ruang Carlo.
Pagi itu dokter Emon tengah bersiap menjelang jadwal tugas. Kopi hitam dan sepotong biskuit menjadi bekal sarapan.Waktu kerja normalnya dari jam delapan pagi hingga jam delapan malam. Untuk keperluan di Ruang Carlo, dokter Emon bisa dipanggil on-call.
Seiring waktu, Ruang Carlo sekaligus menjadi bukti peningkatan pemahaman serta perubahan sikap pelayanan kesehatan terhadap pasien HIV dan AIDS. Kali pertama dokter Emon menangani pasien HIV dan AIDS sekitar 1995, keadaannya jauh berbeda.
“Beberapa tindakan kesehatan pada masa lalu mungkin sekarang dianggap berlebihan. Hal ini karena kekurangpahaman medis dalam hal penularan HIV dan AIDS. Misalnya dulu pasien harus ditempatkan di kamar isolasi; petugas harus berpakaian steril lengkap; bahkan tak jarang kasur bekas pasien AIDS dibakar.”
Dalam kondisi demikian, dokter Emon bisa merasakan kesendirian pasien HIV dan AIDS. “Jika petugas kesehatan saja kikuk memberikan perawatan, bagaimana dengan keluarga mereka? Siapa lagi yang bisa menerima mereka?”
Keprihatinan dokter Emon juga menjadi keprihatinan banyak dokter dan perawat. Bersama-sama, mereka memulai kegiatan konseling dan pendampingan pasien HIV dan AIDS pada 1998. Karena keterbatasan tempat, kegiatan dilakukan di ruang pastoral rumah sakit.
Hingga 2009, sebuah ruang bekas gudang di Carolus tersedia untuk menjadi ruang rawat jalan bagi pasien HIV dan AIDS. Nama Ruang Carlo dipilih, selain singkatan nama Santo Carolus, ia juga menumbuhkan kesan bersahabat bagi pasien maupun keluarga. Ketika Rumah Sakit St. Carolus ditunjuk sebagai salah satu rumah sakit rujukan bagi ODHA, maka dukungan dari berbagai donatur dan lembaga peduli HIV dan AIDS berdatangan untuk Ruang Carlo. Pelayanan kesehatan di sana juga mulai dilengkapi dengan tenaga kesehatan dan tim operasional. Ruang Carlo menyediakan program bantuan tes HIV dengan metode RAPID (tes darah dengan tusukan jari) serta tes infeksi menular seksual (IMS) secara gratis.
Karena HIV memiliki window period (hasil tes negatif meski yang bersangkutan sudah terinfeksi virus HIV), maka tes biasanya kembali diulangi dalam jangka tiga hingga enam bulan kemudian. Tes IMS juga penting dilakukan. Seorang yang terkena penyakit kencing nanah atau sifilis harus segera mendapat pengobatan untuk mengurangi resiko terjadi bersamaan dengan infeksi HIV.
Selain tes HIV, Ruang Carlo menyediakan terapi antiretroviral (ARV) bagi ODHA. Terapi ARV bertujuan mengobati infeksi HIV dan menurunkan jumlah HIV dalam tubuh seseorang hingga level terendah (viral suppression). Selain HIV, terapi ARV yang diberikan lebih dini membantu menurunkan kemungkinan ODHA menularkan ke orang lain atau mengalami infeksi oportunistik seperti TBC.
Efisiensi merupakan salah satu faktor penting untuk memastikan setiap pasien memperoleh manfaat dalam tiap tahapan perawatan HIV dan AIDS. “Rangkaian penanganan pasien di Ruang Carlo, mulai dari pendaftaran, konseling, tes, penjelasan hasil tes, dan saran pengobatan diharapkan bisa diberikan dalam putaran waktu satu jam. Sebagian besar pasien tidak selalu punya waktu dan dana untuk kembali ke sini karena pekerjaan atau tempat tinggal yang jauh. Jika kondisi mereka kronis, perawatan tidak bisa ditunda. Jangan sampai mereka kecewa dan tidak datang lagi,” jelas salah satu petugas di Ruang Carlo.
Satu jam adalah waktu ideal. Salah satu kendala mempersingkat waktu memproses tes adalah kesibukan laboratorium melayani kebutuhan rumah sakit. Meski demikian, keberadaan Ruang Carlo sudah membantu mempersingkat waktu tunggu pasien. Sebelumnya, hasil tes HIV baru bisa diambil dalam jangka waktu dua atau tiga hari. Kini, dalam waktu dua hingga tiga jam, pasien di Ruang Carlo bisa langsung menerima hasil tes. Semakin cepat hasil tes bisa didapatkan, semakin cepat pula langkah pengobatan serta pencegahan penularan bisa diinformasikan kepada pasien.
Meski tes tersedia gratis, tidak semua pasien yang datang memanfaatkan fasilitas gratis. Ada juga yang memilih membayar – agar dana yang tersedia bisa dipakai oleh mereka yang kurang mampu. Sebagian lain menawarkan waktu dan tenaga membantu Ruang Carlo dengan cara mereka masing-masing.
******************************************************************************
Ruang Carlo berupaya memberi kesempatan bagi ODHA dan keluarganya mendapatkan kembali kualitas dan makna hidup. Bahwa menjadi sakit bukan berarti selesai.
“Mereka sering merasa terpinggirkan karena kondisi sebagai kelompok beresiko. Ditambah menderita HIV dan AIDS. Mengalami sakit menambah beban mereka. Untuk orang-orang seperti ini, mencari tempat untuk datang berobat yang nyaman, menyatakan kondisinya, dan mendapatkan pelayanan kesehatan berkelanjutan, tidaklah mudah,” jelas dokter Emon.
Ada dua langkah keberanian ODHA. Pertama, mengalahkan keraguan dalam dirinya sendiri untuk datang ke tempat layanan kesehatan dan menyatakan dirinya beresiko. Kemudian, bertekad menjalani tahapan pengobatan dan pencegahan penularan secara terus menerus.“Pengobatan dan pencegahan penularan adalah satu kesatuan agar ODHA kembali percaya diri, memiliki harapan baru untuk masa depannya,” tambah dokter Emon.
HIV dan AIDS juga mendorong seseorang memaknai keterbatasan. Ketika keterbatasan diterima sebagai sebuah proses, maka penghargaan terhadap kehidupan dan relasi dengan sesama menjadi lebih nyata dan berarti. Rasa cinta terhadap pasangan yang positif HIV dan AIDS, dalam pandangan dokter Emon, terbangun lebih nyata karena saling menerima. “Mereka sadar bahwa relasi yang mereka miliki adalah sesuatu yang istimewa, yang tidak akan berlangsung selamanya karena waktu terbatas. Ikatan di antara mereka bukan lagi karena kehebatan pasangannya melainkan karena penerimaan terhadap kelemahan masing-masing.”
Dia berharap Ruang Carlo terus menjadi sumber inspirasi bagi banyak orang.
“Bermula dari yang kecil, mungkin akhirnya bergulir menjadi sesuatu yang besar. Seperti bola salju. Bukan karena kekuatan kami melainkan karena banyak orang terutama pasien dan keluarga, mitra donor, petugas kesehatan, serta komunitas pelayanan yang turut ambil bagian dalam berbagai aspek penanggulangan problematika HIV dan AIDS.”