Yanuar Farida Wismayanti
Latar Belakang
Perempuan muda, dengan tubuh ditutup selimut berwarna biru muda, terbaring di salah satu ruang rawat inap khusus penderita penyakit Infeksi menular termasuk pasien HIV/AIDS di RS. Dr. Soetomo Surabaya,. Perempuan bernama Mia[1], berumur kurang lebih 38 tahun, dengan perawakan kurus, rambut dipotong pendek, dan kondisi kulit di tubuhnya yang kering, dengan bercak-bercak kehitam-hitaman, sebagian terlihat mengelupas. Hampir seminggu dia terbaring di ruang UPP (khusus pasien HIV/AIDS), akibat virus yang HIV yang mematikan. Mia, sudah hampir 10 tahun bekerja sebagai pekerja seks, dan beberapa kali pindah lokalisasi di Kota Surabaya. Sebelumnya dia pernah menikah dan mempunyai seorang anak laki-laki, kemudian bercerai. Selang 3 tahun kemudian, dia hamil dengan salah satu kiwirnya, namun anaknya meninggal dunia karena dirinya dinyatakan positif HIV sejak tahun 2008 yang lalu. Kini, tidak ada seorang keluargapun yang peduli lagi dengan dirinya. Hampir sepuluh hari di rawat di rumah sakit, Mia dipulangkan dari Rumah Sakit, dan tepat seminggu hidup di kontrakannya di daerah Tambakasri, Mia meninggal dunia pada tanggal 7 Mei 2010.[2]
Kisah di atas menunjukkan betapa HIV/IADS telah menjadi momok bagi kita semua. Belum lagi penyebarannya yang mengalami peningkatan cukup luar biasa, baik secara jumlah maupun tingkat penyebarannnya yang tidak hanya pada kalangan pelaku seksual yang berganti pasangan, tetapi juga sebagian perempuan rumah tangga yang tertular dari pasangannya, bahkan menularkan kepada anak-anaknya. Persoalan HIV/AIDS bukanlah hal yang baru di negeri ini, apalagi bagi kalangan pekerja seks. Peningkatan jumlah penderita HIV merupakan masalah tersendiri, khususnya dalam mewaspadai penyebarannnya. Berdasarkan catatan Kementerian Kesehatan, kasus AIDS meningkat pada lima tahun terakhir. Jumlah kasus menjadi delapan kali lipat—2.684 kasus pada 2004 menjadi 17.699 kasus pada pertengahan 2009. Sampai Juni 2010, tercatat 21.770 kasus AIDS. Sekitar 49,3 persen penularan HIV melalui hubungan seksual heteroseksual. Setelah itu, penularan lewat jarum suntik di kalangan pengguna narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lain (napza) sebesar 40,4 persen. Pengguna narkoba dengan jarum suntik umumnya berusia muda dan juga beraktivitas seksual.
Hasil surveilans HIV tahun 2005 yang dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan Provinsi Bali bekerja sama dengan Yayasan Kerti Praja menemukan prevalensi HIV pada pekerja seks langsung (”low price dan mid price”) sebesar 8%. Pada pekerja seks tidak langsung (mereka yang bekerja di cafe dan panti pijat) sebesar 3%. Jumlah pelanggan pekerja seks tidak langsung umumnya lebih rendah dibanding pekerja seks langsung. Hasil yang cukup mengejutkan dijumpai dalam surveilans HIV yang dilaksanakan pada bulan Desember 2006. Pada pekerja seks tidak langsung masih tetap dijumpai sebesar 3% dan pada pekerja seks langsung “mid price” sebesar 9% tetapi dijumpai lonjakan hampir 100% pada pekerja seks langsung “low price” yaitu antara 12,5% sampai 17.5%. Di beberapa lokasi dijumpai sebesar 12,5% dan di beberapa lokasi lainnya 17,5%.
Hasil VCT pada pekerja seks juga menunjukkan kecendrungan yang serupa. Dari sekitar 600 pekerja seks yang dirujuk untuk VCT di Yayasan Kerti praja sejak tahun 2000 sampai 2005, hanya 10 pekerja seks yang dijumpai HIV+. Tetapi dari sekitar 200 pekerja seks yang VCT sejak bulan Januari 2007, sebanyak 50 orang dijumpai HIV+. Dari 50 orang tersebut sekitar setengah dari mereka baru bekerja di Bali sejak 6 bulan terakhir. Dengan demikian ada kemungkinan sebagian dari mereka tertular HIV di luar Bali.
Kondisi ini sama dengan penyebaran HIV/IADS di kalangan pekerja seksa Surabaya. Dalam Jurnal Nasional, 30 Maret 2010, menyebutkan bahwa tingginya tingkat penyebaran virus HIV/AIDS yang diidap para pekerja seks komersial (PSK) di lokalisasi Dolly di Surabaya, Jawa Timur, menyebabkan wacana menutup kompleks pelacuran terbesar di Asia Tenggara itu mencuat lagi. Pasalnya, dari 1.287 PSK yang beroperasi di Dolly dalam catatan Puskesmas Putat Jaya, 35 persennya terjangkit HIV/AIDS. Pemerintah Provinsi Jatim mendesak Pemerintah Kota Surabaya untuk segera menutup Dolly. Apalagi, tahun 2010 ini, Jatim menduduki urutan kedua provinsi dengan tingkat penyebaran HIV/AIDS tertinggi di Indonesia setelah Jawa Barat. Padahal, tahun lalu Jatim ada di peringkat ketiga, sebuah kondisi yang cukup memperihatinkan.
HIV/AIDS, Penyebaran dan Resiko ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS)
Irma memang sengaja datang ke kota Surabaya untuk mencari pekerjaan. Namun ia tidak pernah bermimpi harus bekerja sebagai pekerja seks di Kota Surabaya ini. Irma lahir di Jombang pada tahun 1992, jadi pada tahun 2010 sekarang ini berusia 18 tahun. Irma mempunyai satu orang kakak kandung laki-laki, dan sudah menikah di Surabaya. Selepas lulus SD, yaitu pada umur 12 tahun, dia mencoba merantau ke kota Surabaya. Jarak Jombang Surabaya memang tidak terlalu jauh, hanya sekitar 2 jam dengan mengendarai bus umum atau dengan Kereta Api. Irma berharap, dengan bekerja di kota, dia punya uang sendiri sehingga tidak merepotkan kakek dan neneknya. Orang tua irma bercerai sehingga kakek dan neneknya yang mengurus dia. Di Surabaya, Irma bekerja di pabrik yang ada di daerah Rungkut selama dua tahun. Setelah bekerja di pabrik tersebut dia berkenalan dengan seorang laki-laki yang kemudian menjadi pacarnya. Dia berhubungan seks dengan pacarnya pada saat berumur 14 tahun, dan pacarnya berumur 20 tahun. Pada saat pacaran dia tidak mengetahui bahwa pacarnya telah beristri, dan setelah ketahuan dia memutuskan pacarnya. Perasaan bahwa tidak perawan dan sakit hati, serta masalah keluarga di desa yang menumpuk, akhirnya dia dibawa oleh seorang teman perempuannya yang juga pernah bekerja di pabrik yang sama untuk menjadi pekerja seks di Tambakasri. Pada saat itu dia berumur 15 tahun dan kemudian terjebak dalam kehidupan pekerja seks di lokalisasi.
Dalam perspektif psikologi sosial kondisi remaja pada umur tersebut sering dianggap sebagai situasi yang tidak stabil sehingga ajakan teman untuk masuk ke wisma guna bekerja sebagai Pekerja Seks dia tidak mampu menolak. Kini, dia masih bekerja sebagai pekerja seks anak di lokalisasi Tambakasri. Usianya yang masih muda, didukung wajah cantiknya, menjadikan Irma sebagai salah satu idola di wismanya. Tamunya pun cukup banyak, sehari dia bisa melayani 6-8 orang. Sampai akhirnya, pada bulan Mei 2009, Yayasan Hotline bekerjasama dengan pihak Puskesmas setempat melakukan pemeriksaan VCT[3] (Voluntary Counselling and Testing) terhadap pekerja seks komersial di wilayah Tambakasri dan Bangunsari. Dan ternyata hasil pemeriksaan VCT menunjukkan dia + HIV (positif HIV)[4].
Irma, memperoleh informasi tentang status HIV-nya, dari manajer kasus yang bertugas di Yayasan Hotline, awalnya Irma tidak percaya, sedih dan kecewa. Tapi dirinya mengaku bahwa kini dia pasrah. ”Orang naik motor trus ketabrak aja bisa mati kan mbak?? Apalagi yang punya sakit kayak saya ini. Mungkin ini semua karena Tuhan sayang sama saya, sehingga saya dikasih cobaan penyakit ini.”
Sebelumnya Irma mengaku pernah kena IMS (Infeksi Menular Seksual) jengger ayam, namun sempat mendapat perawatan di Klinik Perempuan. Mengetahui bahwa dirinya positif HIV, ada keinginan untuk berhenti, karena khawatir akan menular kepada orang lain. Sehingga ketika menerima tamu, dia selalu berusaha untuk membujuk tamunya agar menggunakan kondom. Namun demikian, terkadang beberapa tamunya menolak menggunakan kondom. Dengan kondisi ini, menurut Irma dia tidak merasa bersalah jika tamunya tertular karena sudah berusaha menawarkan untuk menggunakan kondom. Namun, untuk pelanggan yang dia sebut papi ini, seringkali tidak menggunakan kondom, dengan alasan dia telah menafkahinya selama ini. Irma hanya berharap semoga Papi tidak tertular oleh virus yang mematikan ini. Padahal laki-laki tersebut sudah berumah tangga, mempunyai anak dan bekerja di kawasan perak. Untuk menjaga daya tahan atau kekebalan tubuhnya dari virus HIV, Irma rajin berobat ke klinik perempuan, setiap bulannya. Selain itu dia juga rajin mengkonsumsi vitamin, serta mengikuti beberapa program pengobatan, melalui senam pernafasan yang dilakukan oleh sebuah Pihak Yayasan Hotline bekerjasama dengan Lembaga Pernafasan Satria Nusantara.[5]
Penuh resiko!! Itu merupakan ungkapan yang paling tepat, ketika anak-anak berada dalam lingkaran dunia pelacuran. Anak-anak dengan tubuh kecilnya, juga dengan pemahamannya yang sepintas lalu, dan membawanya ke dalam dunia pelacuran, sebuah kehidupan yang keras. Hoigard, Cecilie (2008:224), prosititusi merobek-robek perasaan tubuh perempuan. Ketenangan emosi yang dibutuhkan dari masyarakat yang “melacurkan” diri menyebar dan mengambil porsi yang besar dari “diri” pribadi. Prostitusi merupakan satu permainan yang dimainkan dengan perasaanperasaan. Perasaan dendam, menggairahkan, perasaan punya harga, perasaan marah, benci ataupun penyesalan. Perasaaan merupakan sebuah illusi.
Membicarakan resiko, memang tidak terlepas dari jenis pekerjaannya atau profesinya. Awal masuk dalam dunia pelacuran, mereka secara otomotais menyandang pekerjaan beresiko, apalagi terhadap anak-anak perempuan. Secara fisik, tubuh mereka masih belum siap untuk melakukan hubungan seksual secara aktif, dan tingkat keseringan yang tinggi. Tubuh mereka sangat rentan terhadap berbagai penyakit menular seksual. Belum lagi pengetahuan mereka tentang kesehatan reproduksi juga masih sangat minim.
”Setelah berhubungan, biasanya saya langsung ke kamar mandi mbak, terus saya keluarkan semua spermanya. Kadang saya bersihkan pakai pasta gigi pepsodent itu mbak, kata mbak-mbaknya githu supaya kita ndak kena penyakit. Selain itu, kita juga rutin minum ampicilin atau super tetra, supaya ndak ketularan penyakit. ”[6]
Pengakuan Anita mengenai kesehatan reproduksi sebatas informasi dari teman sesama pekerja seksnya. Tubuh menjadi bagian yang sangat rentan terhadap berbagai jenis penyakit, apalagi dengan melakukan hubungan seksual dengan berganti-ganti pasangan. Beberapa pekerja seks termasuk pekerja seks anak, mulai terkena berbagai jenis penyakit IMS (Infeksi Menular Seksual), bahkan beberapa di antaranya sudah terinfeksi HIV/AIDS. Beberapa anak juga mengalami kehamilan di usia mudanya, sebut saja Ami. Dalam kondisi hamil yang tidak diharapkannya, Ami masih melayani pelanggan atau mencari tamu. Selain itu, dia juga seringkali mengkonsumsi obat-obatan jenis Nipam dan lainnya, atau yang biasa disebut pil koplo. Sehingga ketika usia kehamilannya mencapai sekitar 3 bulanan, dia mengalami keguguran. Setelah mengalami keguguranpun, dia juga masih bekerja mencari tamu, dengan tubuh yang sudah terjangkit HIV/AIDS.
Kegelisahan betapa resiko penularan HIV/AIDS di kalangan pekerja seks memang menjadi kendala yang cukup sulit, termasuk bagi para relawan yang bekerja pada lembaga-lembaga peduli HIV/AIDS. Seperti yang diungkapkan salah seorang relawannya bernama Anis, ”Memang sulit mbak ngurusin mereka (pekerja seks, pen), sudah tahu positif HIV, eeh...masih aja nyari tamu, udah githu suruh pake kondom susah.”
Betapa resiko atas tubuh mereka sendiri, tidak pernah mereka pikirkan. Ketika sudah terjebak dalam dunia pelacuran ini, mereka mengalami kesulitan untuk bisa keluar. Himpitan hutang, tuntutan kebutuhan konsumtif, termasuk ketergantungan terhadap minuman keras serta kebiasaan menelan pil koplo setiap harinya, menambah deretan alasan yang mempersulit dirinya untuk keluar dari dunia pelacuran yang penuh resiko. Belum lagi stigma sosial yang melekat pada dirinya, merupakan tantangan tersendiri bagi mantan pekerja seks untuk masuk dalam kehidupan bermasyarakat. Keinginan serta harapan untuk kembali ke keluarga, seringkali sudah dibayangi oleh ketakutan mereka sendiri. Bagaimana jika keluarga mereka tidak mau menerima, atau bagaimana jika teman-temannya dan tetangganya mencibir karena pekerjaan masa lalunya. Itu semua masih merupakan bayangan, namun secara psikologis mereka mengalami kesulitan untuk bisa melakukannya. Pandangan masyarakat atas dunia pelacuran yang negatif, sebagai penyakit sosial dan sampah masyarakat, melekat pada diri anak-anak perempuan yang terjebak dalam dunia pelacuran. Tindakan mereka yang dianggap menyimpang, membuat mereka salah tingkah ketika harus berada di tengah-tengah masyarakat. Betapa resiko yang cukup berat yang dialami mereka, tubuh yang digerogoti penyakit sekaligus penolakan masyarakat bagi mereka, juga merupakan tantangan yang berat.
Strategi untuk Menekan Penyebaran HIV/AIDS
Strategi untuk menekan penyebaran HIV/AIDS, menjadi penting dengan membangun sistem yang mampu memutus rantai reproduksi sosial bagi kalangan pekerja seks, mulai dari hulu sampai ke hilirnya. Sehingga sangat penting untuk membangun berbagai upaya untuk menekan penyebaran HIV/AIDS melalui beberapa langkah strategis meliputi :
- Kampanye anti HIV/AIDS menjadi bagian program preventif, untuk memberikan informasi mengenai penularan, penyebaran, maupun upaya untuk tidak melakukan perilaku seks yang tidak sehat. Salah satunya dengan kampanye untuk perilaku seks aman dengan tidak berganti-ganti pasangan, pemggunaan kondom bagi kelompok resiko tinggi termasuk penggunaan kondom wanita, juga bagi kalangan pengguna jarum suntik untuk tidak menggunakan suntik secara bergantian. Media KIE (Komunikasi, Informasi dan Edukasi) berkaiatan dengan kampanye HIV/AIDS ini bisa melalui poster, sticker, termasuk kampanye malalui radio dan televisi termasuk media massa.
- Pentingnya membangun komunitas peduli HIV/AIDS, merupakan salah satu upaya untuk mendorong kepedulian masyarakat untuk turut serta menekan penyebaran HIV/AIDS, melalui agen-agen perubahan sosial untuk membangun awareness (penyadaran) bagi masyarakat untuk turut serta menekan penyebaran HIV/AIDS.
- Pemantauan HIV pada pekerja seks di semua kota di Indonesia harus dilaksanakan dengan lebih cermat terutama menekan penyebaran virus HIV mematikan ini. Salah satu upaya yang sudah dilakukan dengan adanya Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur yang mewajibkan pemakaain kondon 100% bagi pekerja seks atau kelompok resiko tinggi, harus terus dievaluasi dan dikawal pelaksanannya. Intervensi perubahan perilaku pada pekerja seks dan pelanggannya amat perlu diintensifkan baik dengan edukasi maupun melalui kebijakan atau regulasi pemakaian kondom dengan mekanisme pelaksanaan yang jelas dan terukur seperti dianjurkan oleh WHO. Tantangan utama pelaksanaan regulasi ini adalah dalam hal perubahan paradigma pemegang otoritas (bupati, walikota, DPRD) dari memusuhi menjadi mengakui keberadaan pekerja seks. Syarat mutlak pelaksanaan Program Pemakaian Kondom 100% adalah dengan mengikut sertakan pekerja seks dan mucikari mereka dalam perubahan perilaku. Dalam situasi epidemi semacam ini aspek kesehatan masyarakat harus dikedepankan dibanding aspek-aspek lainnya seperti moral.
- Intervensi penularan melalui seksual pada pekerja seks dan kelompok resiko tinggi amat perlu untuk diintensifkan dan hasilnya dievaluasi secara berkala dengan melakukan survei perilaku pada pekerja sesks, termasuk melalui pemeriksaan IMS (Infeksi Menular Seksual) termasuk VCT secara rutin minimal 3 bulan sekali bekerjasama dengan pihak Puskesmas setempat, Rumah Sakit dan Lembaga Swadaya Masyarakat yang peduli HIV/AIDS.
[1] Mia, adalah nama samaran, dan selanjutnya dalam tulisan ini semua informan/ nama pekerja seks perempuan merupakan nama samaran
[2] Hasil partisipasi observasi serta wawancara, dengan ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) bernama Mia, 38 tahun, Maret-April 2010 di lokalisasi Tambakasri, Kotamadya Surabaya.
[3] VCT merupakan tes secara sukarela, untuk mengetahui status HIV seseorang. VCT ini dilakukan oleh Pihak Puskesmas setempat bekerjasama dengan Yayasan Hotline Surabaya. Setelah mereka dinyatakan positif HIV atau dikenal dengan ODHA (orang dengan HIV Aids), mereka dilakukan konseling awal,dan selanjutnya dilakukan terapi khusus serta pemeriksaan rutin di klinik perempuan.
[4] HIV (Human Immunodeficiency Virus) yang melemahkan sistem kekebalan tubuh (sel darah putih), merupakan virus penyebab AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome), sebagai kumpulan beberapa gejala akibat menurunya sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh HIV. HIV ini bisa menular melalui pengunaan jarum suntik secara bergantian dan tidak steril, huMian seks berganti-ganti pasangan, serta bisa ditularkan oleh ibu kepada bayinya melalui proses hamil, melahirkan maupun menyusui. Perjalanan Infeksi HIV ini memang cukup panjang. Dimana pada fase pertama terdapat periode jendela, antara 2 minggu-6 bulan. Pada fase ini merupakan masa antara masuknya HIV ke dalam tubuh sampai terbentuknya antibody (penangkal penyakit) terhadp HIV atau disebut juga HIV positif. Fase ini sudah bisa menularkan HIV kepada orang lain walaupun hasil tes masih negatif. Selanjutnya periode HIV positif, dengan rentang waktu antara 3-10 tahun, pada masa ini penderita tampak sehat, tanpa gejala bahkan dapat beraktifitas biasa. Dan fase terakhir adalah periode AIDS, antara 1-2 tahun. Pada fase ini m timbal penyakit oportunistik, yaitu penyakit lain yang muncul karena sistem kekebalan tubuh menurun. Pada periode ini, biasanya pasien disarankan untuk minum obat ARV (Anti Retro Viral) yang dapat menekan pertumbuhan HIV, tetapi tidak dapat menghilangkan HIV dari dalam tubuh.
[5] Diceritakan 4 februari 2010, serta beberapa pertemuan berikutnya ketika Irma sedang mengikuti senam Pernafasan Satria Nusantara di Kantor Yayasan Hotline Surabaya.
[6] Diskusi dengan Anita, 14 April 2010, di dalam kamar wismanya. Kita mendiskusikan mengenai kesehatan reproduksi. Peneliti juga membawa beberapa media kampanye kesehatan, seperti informasi mengenai HIV/AIDS, juga mengenai beberapa jenis penyakit menular seksual lainnya. Dari ceritanya, ternyata Anita tidak menggunakan KB (Keluarga Berencana) seperti pekerja seks lainnya. Dia hanya menggunakan Kondom, atau dengan cara coitus intereptus (dikeluarkan di luar). Sehingga seringkali terjadi pertengkaran antara Anita dengan pelanggannya yang tidak mau menggunakan kondom. Dari diskusi, Anita terlihat antusias, dan dia menyatakan bahwa dirinya memang tidak tahu menahu mengenai kesehatan reproduksi dan resiko berhuMian seksual dengan berganti-ganti pasangan.