Oleh : Chrysant L. Kusumowardoyo
Perpres No. 72 tahun 2012 tentang Sistem Kesehatan Nasional menyebutkan bahwa salah satu subsistem dalam sistem kesehatan nasional adalah manajemen dan regulasi kesehatan. Bila dirinci lagi, ada tiga dimensi utama dalam subsistem ini, yaitu: (1) apa saja kebijakan kesehatan yang mengatur tata kelola layanan kesehatan, (2) bagaimana kebijakan kesehatan tersebut dibuat, serta (3) seberapa jauh kebijakan tersebut responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Aspek-aspek penting dari subsistem kesehatan ini mencakup keterlibatan masyarakat dalam proses pengembangan kebijakan, pengajuan bukti-bukti yang mendasari dibuatnya kebijakan (evidence-based policy) serta seberapa kebijakan tersebut bisa dinilai atau ‘diaudit’ oleh publik.
Dari penjelasan di atas, bisa disimpulkan bahwa advokasi adalah elemen penting dari subsistem manajemen dan regulasi kesehatan ini. Advokasi adalah jalan untuk keterlibatan masyarakat dalam mempengaruhi kebijakan. Advokasi diperlukan untuk memastikan diformulasikannya kebijakan kesehatan yang berbasis bukti. Advokasi juga memungkinkan publik untuk mengawal kebijakan agar tetap responsif dengan kebutuhan masyarakat. Selama ini sudah banyak tulisan yang menjelaskan tentang jalan untuk advokasi kebijakan, cara-cara yang perlu ditempuh dan rambu-rambu yang perlu diperhatikan. Tetapi artikel ini akan secara khusus melihat peran dari interest group atau kelompok kepentingan dalam mempengaruhi dan mengawal kebijakan lewat advokasi.
Dalam bukunya yang berjudul Health Policy: an Introduction to Process and Power, Walt (1994) mendefinisikan kelompok kepentingan sebagai kelompok masyarakat yang bekerjasama untuk tujuan yang sama tanpa memiliki minat untuk mendapatkan kekuasaan politik. Jadi kelompok kepentingan bisa terdiri dari berbagai elemen masyarakat, seperti LSM, serikat pekerja, asosiasi, akademisi, jurnalis dan sebagainya. Dalam konteks kesehatan, praktisi kesehatan, kelompok penyandang disabilitas, atau kelompok yang memiliki masalah kesehatan tertentu juga bisa menjadi kelompok kepentingan. Yang menjadi kesamaan dari kelompok yang berbeda-beda identitasnya ini adalah mereka sama-sama memiliki kepentingan terhadap suatu isu tertentu. Meski demikian, kepentingan mereka bisa berbeda, ada yang mendukung dan ada pula yang menentang kebijakan tertentu. Tetapi adanya kepentingan inilah yang menjadi pendorong mereka untuk mempengaruhi kebijakan.
Yang kemudian sering kali menjadi pertanyaan adalah dari mana kelompok kepentingan ini mempengaruhi kebijakan? Haruskah ia memberikan tekanan dari luar atau bantuan dari dalam sistem pembuatan kebijakan? Disinilah kelompok kepentingan bisa dibedakan menjadi insider dan outsider groups. Kelompok insider adalah kelompok yang diterima oleh pemerintah (pembuat kebijakan) karena dipandang memiliki legitimasi dan pengetahuan mendalam atas topik tertentu. Inilah yang membuat kelompok insider bisa berinteraksi langsung dan memiliki hubungan konsultatif dengan pembuat kebijakan. Sebaliknya, kelompok outsider dipandang kurang memiliki legitimasi, sebab itu mereka sering kali kesulitan untuk masuk ke dalam proses pembuatan kebijakan (Walt, 1994).
Perbedaan hubungan dengan pembuatan kebijakan inilah yang kemudian membuat perbedaan dalam cara advokasi untuk mempengaruhi kebijakan. Kelompok insider bisa memanfaatkan jalur-jalur formal, misalnya mereka bisa diundang oleh pembuat kebijakan untuk membuat naskah akademik, menghadiri public hearing, dan sebagainya. Sementara itu, kelompok outsider lebih menggunakan advokasi dengan cara yang tidak langsung, misalnya dengan membangun opini publik lewat media masa, atau memberikan tekanan lewat petisi, unjuk rasa dan sebagainya.
Baik dari dalam atau pun luar, interaksi langsung dengan pembuat kebijakan atau pun tidak langsung, kelompok kepentingan sama-sama memerlukan bukti-bukti untuk membuat argumentasi yang kuat dan bisa diandalkan sehingga layak untuk diajukan kepada para pembuat kebijakan. Dorongan ini yang kemudian cenderung membuat peran antar kelompok kepentingan menjadi tumpang tindih. Contohnya, banyak LSM yang kemudian menjadikan diri sebagai think tank - mereka fokus pada produksi pengetahuan yang menitikberatkan pada hasil-hasil kajian ilmiah. Walaupun hal ini bisa saja dilakukan oleh LSM, sebenarnya kekuatan utama yang dimiliki LSM adalah dalam mengartikulasikan dan merepresentasikan kepentingan publik. Sebaliknya, ‘bisnis’ utama dari universitas dan lembaga-lembaga penelitian adalah sebagai produsen pengetahuan, dan mereka tidak selalu memiliki kekuatan serta kemampuan advokasi yang dimiliki oleh LSM.
Implikasi kondisi di atas terhadap advokasi adalah, kolaborasi antar kelompok kepentingan sangat diperlukan, dimana setiap kelompok kepentingan perlu untuk saling mengkapitalisasi kekuatan masing-masing. Jaringan kebijakan yang efektif adalah jaringan kebijakan yang terdiri atas kelompok kepentingan yang bersifat lintas sektor dan heterogen, sehingga memungkinkan kolaborasi horizontal (antar kelompok kepentingan) untuk memberi tekanan dalam relasi vertikal (dengan pembuat kebijakan). Inilah yang memungkinkan tercapainya mandat dari subsistem manajemen dan regulasi, yaitu adanya keterlibatan masyarakat dalam mempengaruhi dan mengawal penerapan kebijakan-kebijakan kesehatan yang berbasis bukti.