Model Pencegahan HIV Melalui Transmisi Seksual di Tingkat Pelayanan Primer Puskesmas dan JejaringnyaINDONESIA sedang mengalami potensi pergeseran epidemi, awalnya didominasi oleh penularan melalui jarum suntik pada kelompok pengguna narkoba suntik (penasun), kemudian penularan seksual pada populasi wanita penjaja seks (WPS); kini didominasi oleh penularan seksual pada WPS dan laki-laki seks dengan laki-laki (LSL) termasuk waria, yang mencapai 90% dari proyeksi infeksi baru HIV-AIDS 70,000 – 80,000/tahun sepanjang 2014-2019. Sebuah model intervensi spesifik pencegahan penularan seksual kepada populasi kunci, yakni program pencegahan melalui transmisi seksual (PMTS), telah dikembangkan sejak tahun 2010 sebagai respons terhadap perkembangan epidemi HIV di Indonesia. Sayangnya program tersebut lebih banyak mengandalkan dukungan finansial mitra internasional.

Penelitian hasil kerjasama PKMK FK UGM dengan Department of Foreign Affairs (DFAT) ini menghasilkan usulan model layanan yang terintegrasi agar PMTS dapat terus berlangsung di tingkat pelayanan kesehatan dasar (primary health care, PHC), serta model kebijakan operasional yang mendukung terlaksananya integrasi. Penelitian ini memilih layanan primer sebagai fokus pelayanan PMTS karena posisi, peran, dan kontribusinya dalam upaya penanggulangan HIV-AIDS di Indonesia telah teruji.

Metode yang digunakan merupakan kombinasi berbagai pendekatan. Utamanya adalah desk review, yang disusun menjadi kertas kerja model pelayanan PMTS, dan kuesioner yang digunakan untuk survei Delphi. Usulan model yang ditampilkan dalam laporan ini telah mendapatkan dukungan/konsensus dari responden survei Delphi yang terdiri dari para pakar dan praktisi penanggulangan HIV-AIDS di Indonesia.

Secara ringkas, hasil desk review terhadap berbagai dokumen ilmiah dan kebijakan terkait penanggulangan HIV-AIDS di tingkat nasional maupun internasional mendukung strategi pencegahan yang komprehensif, meliputi pencegahan dengan pendekatan biomedik seperti penyediaan kondom, sirkumsisi, testing, dan konseling HIV, yang dilanjutkan dengan pengobatan antiretroviral (ARV) jika positif, penanganan infeksi menular seksual (IMS), dan pencegahan berbasis ARV lainnya. Selain itu, pencegahan dengan pendekatan perilaku juga penting dilakukan melalui berbagai upaya promosi kesehatan, baik individual maupun masyarakat. Di sisi lain, diperlukan dukungan struktural berupa reformasi kebijakan dan peraturan yang menghambat pelayanan, serta gerakan pemberdayaan baik berbasis gender, ekonomi, dan pendidikan masyarakat. Disadari bahwa di tingkat layanan primer, pendekatanstruktural lebih bergantung pada upaya lintas sektor instansi atau organisasi terkait lainnya.

Jika dilihat dari berbagai dokumen kebijakan program penanggulangan dari tingkat internasional maupun nasional, dapat disimpulkan bahwa hampir seluruh komponen layanan di atas dimaksudkan untuk dapat dilakukan di tingkat primer, yaitu puskesmas dan jejaringnya, kecuali, sebagaimana yang disampaikan sebelumnya, khusus untuk dukungan struktural diperlukan peran lebih aktif lintas sektor. Secara praktis, model pelayanan yang ada saat ini juga telah menunjukkan peran puskesmas yang penting dan bermakna dalam pelayanan PMTS kepada kelompok berisiko tinggi, meski kemudian masih dominan didorong oleh kebijakan global dalam bentuk dukungan finansial donor internasional. Peran penting puskesmas terutama dalam pendistribusian kondom pada populasi berisiko tinggi, promosi kesehatan terarah kepada kelompok populasi berisiko tinggi, serta pelayanan antiretroviral therapy (ART) masih harus ditingkatkan. Sementara peran lainnya, kendati sudah berjalan, namun masih memerlukan penguatan kapasitas dalam distribusi kondom dalam gedung, penatalaksanaan IMS, dan juga konseling dan testing sukarela (KTS/VCT).

Selanjutnya dari kedua tahapan survei Delphi dan diskusi pasca Delphi yang dilakukan pada praktisi dan pakar terkait PMTS terhadap pendefinisian PMTS, dapat disimpulkan bahwa dalam model PMTS yang dikembangkan harus memperhatikan pendefinisian program yang komprehensif, melibatkan seluruh kelompok populasi berisiko tinggi di luar WPS dan pelanggannya, yaitu LSL dan waria. Lebih lanjut kegiatan PMTS harus disusun dengan memperhatikan perbedaan kondisi epidemi, kemampuan pemberi layanan, dan setting daerah kelompok berisiko. Dalam jangka pendek, peran donor internasional dalam pendanaan kegiatan PMTS, terutama pengadaan kondom, distribusi kondom, kegiatan penjangkauan dan edukasi kelompok berisiko tinggi masih cukup besar. Pengintegrasian harus dilakukan bertahap dengan melihat kemampuan finansial dan komitmen penyelenggara layanan. Selanjutnya, dari hasil survei dan diskusi pasca Delphi juga dapat disimpulkan, terdapat 11 isu spesifik terkait pelaksanaan kegiatan atau komponen PMTS yang dijadikan pertimbangan dalam penentuan model, terutama dalam tingkatan integrasi layanan yang terjadi saat ini, dan bagaimana harapan tingkat integrasi layanan di masa depan, meliputi: pengadaan kondom, distribusi kondom, diagnosis dan pengobatan IMS pada pelayanan perorangan, skrining dan pengobatan presumtif berkala (PPB) pada penjaja seks, sirkumsisi lelaki dewasa sebagai layanan kesehatan perorangan dan masyarakat, kegiatan tes HIV di dalam gedung puskesmas, baik melalui klinik KTS maupun provider-initiated counseling and testing (PITC) serta mobile KTS sebagai perwujudan upaya kesehatan masyarakat (UKM) menyasar kelompok risiko tinggi, layanan ART, promosi kesehatan reproduksi dan HIV-AIDS pada masyarakat umum, dan, terakhir, promosi kesehatan terkait HIV-AIDS pada kelompok berisiko tinggi sebagai UKM.

Dari keseluruhan rangkaian kegiatan desk review dan juga survei Delphi serta diskusi pasca Delphi dapat diusulkan tingkatan integrasi layanan, sebagai berikut: (1) layanan terintegrasi yang sebagian dilakukan pihak lain di dalam koordinasi penuh puskesmas, dengan menyediakan sebagian sarana/prasarana adalah distribusi kondom dan layanan promosi kesehatan pada kelompok risiko tinggi; (2) layanan terintegrasi yang sebagian dilakukan puskesmas bersama pihak lain, dengan pembagian tugas dan kewenangan yang jelas, adalah penyediaan kondom; (3) layanan terintegrasi yang sudah menjadi layanan rutin puskesmas, dengan bantuan SDM dan pendanaan dari pihak lain di luar mekanisme pendanaan regulernya, adalah mobile KTS dan layanan ART; dan (4) layanan terintegrasi penuh yang merupakan layanan rutin puskesmas dengan perencanaan, pendanaan, dan layanan yang terintegrasi penuh dengan mekanisme yang ada di dalamnya, adalah diagnosis dan pengobatan IMS dalam upaya kesehatan perorangan (UPK), penapisan dan pengobatan IMS pada WPS sebagai UKM, sirkumsisi lelaki dewasa dalam UKP serta terakhir, layanan promosi kesehatan pada masyarakat umum.

Silakan download laporan lengkap penelitian ini pada link berikut:

Penelitian

Knowledge Hub

knowledgehub

knowledgehub

knowledgehub

Informasi

sejarahaids sistemkesehatan kebijakankesehatan kebijakanaids

Didukung oleh

AusAID