Semakin banyaknya upaya pemerintah daerah untuk menutup lokalisasi/lokasi transaksi seks di berbagai daerah di Indonesia dilatarbelakangi oleh semakin kuatnya isu moralitas tentang seksualitas di masyarakat bahwa lokalisasi merupakan perwujudan dari legalisasi perzinahan dan pada satu sisi semakin kuatnya persepsi bahwa keberadaan lokalisasi/lokasi transaksi seks merupakan sumber dari kriminalitas, masalah kesehatan dan masalah sosial (Julianto., 2010, Megapolitan, 2014, Hidayatullah, 2011, Kompas, 2013).Semakin banyaknya upaya pemerintah daerah untuk menutup lokalisasi/lokasi transaksi seks di berbagai daerah di Indonesia dilatarbelakangi oleh semakin kuatnya isu moralitas tentang seksualitas di masyarakat bahwa lokalisasi merupakan perwujudan dari legalisasi perzinahan dan pada satu sisi semakin kuatnya persepsi bahwa keberadaan lokalisasi/lokasi transaksi seks merupakan sumber dari kriminalitas, masalah kesehatan dan masalah sosial (Julianto., 2010, Megapolitan, 2014, Hidayatullah, 2011, Kompas, 2013).

Di wilayah Kota Yogyakarta, Perda No. 18 Tahun 1954 tentang larangan pelacuran di tempat-tempat umum masih menjadi payung hukum untuk memberantas praktek-praktek prostitusi tersebut, meskipun peraturan tersebut sudah berumur lebih dari 60 tahun. Perda ini pernah diusulkan untuk dicabut karena sudah tua dan beberapa isi di dalamnya sudah tidak relevan lagi dengan keadaan sekarang ini. Namun hal ini mendapatkan banyak tentangan dari para anggota dewan (DPRD). Pencabutan perda ini dikhawatirkan akan menimbulkan kontraproduktif dengan upaya pemberantasan praktek-praktek prostitusi. Padahal sebenarnya upaya pemberantasan prostitusi ini tidak sepenuhnya berhasil. Berdasarkan catatan DPRD, jumlah pekerja seks komersial di wilayah Yogyakarta terus meningkat, terutama sejak ditutupnya Lokalisasi Sanggrahan di Giwangan. Ribuan pekerja seks yang sebelumnya menempati lokalisasi itu kini menyebar ke sejumlah lokasi lain, seperti Pasar Kembang, Pantai Samas, dan Parangkusumo (Koran Sindo Daerah, 2016; Liputan 6, 2002).

Kebijakan untuk penutupan lokalisasi atau pelarangan prostitusi menjadi tantangan besar dalam pengendalian penyakit menular seksual dan HIV & AIDS. Salah satu program yang terdampak oleh kebijakan ini adalah program PMTS, dimana program ini dirancang untuk memberikan layanan yang komprehensif bagi pekerja seks di lokalisasi atau lokasi transaksi seks. WHO (Rao, 2015) mencatat bahwa pada tahun 2013 sebelum penutupan lokalisasi dilakukan, pokja PMTS bisa berjalan, tersedia 176 outlet kondom, mobile klinik rutin melaksanakan pemeriksaan di lokasi, jumlah orang yang mengakses layanan Januari-Desember 2013 sebanyak 13,207 dan kasus HIV/AIDS yang dilaporkan sebanyak 378 (Januari-Juni 2013). Tetapi pada tahun 2014 setelah dilaksanakan penutupan lokalisasi situasi menjadi sangat berbeda dimana pokja PMTS menghilang, jumlah outlet kondom menjadi 16, mobile clinic tidak tersedia lagi, akses ke layanan kesehatan menjadi 5,477 orang dan kasus AIDS meningkat pada tahun 2014 (Juli-Des) menjadi 424.

Situasi yang digambarkan di atas menunjukkan bahwa penutupan lokalisasi/lokasi bukan merupakan satu-satunya solusi dalam mengatasi praktek-praktek prostitusi. Justru pekerja seks menjadi semakin tersembunyi, semakin sulit untuk mengakses layanan dan yang utama mereka menjadi semakin berisiko dalam melaksanakan pekerjaannya. Pada sisi yang lain, pelayanan kesehatan pun juga terdampak dengan kebijakan itu karena klien-klien yang selama ini mengakses layanan tidak mengakses kembali sehingga pengendalian penyakit menular menjadi sulit dilakukan. Bagi masyarakat, meski secara umum dipersepsikan memperoleh keuntungan karena daerahnya menjadi bersih dan aman tetapi sejatinya masyarakat akan terdampak karena tingkat kesehatan masyarakat akan terpengaruh dengan tidak terkendalinya penyakit menular tersebut.

Di Kota Yogyakarta wacana pelarangan prostitusi yang cukup kencang disuarakan adalah di wilayah Giwangan. Masyarakat mulai bergejolak atas praktek-praktek prostitusi ini dan dikhawatirkan akan dapat memberikan pengaruh yang buruk, khususnya kepada anak-anak dan kaum muda. Tarik ulur, pro kontra hingga saat ini masih terjadi atas wacana ini. Untuk itu, jaringan para pegiat perubahan sosial di Yogyakarta merasa perlu untuk meresponi situasi ini. Agar mendapatkan kecukupan bukti atas situasi dan kondisi terkini, maka perlu dilakukan kajian awal tentang situasi pekeja seks dan pekerjaannya di daerah Giwangan dan sekitarnya selama proses pelarangan prostitusi ini dilakukan. Untuk itu, Forum Diskusi Kultural HIV dan AIDS Yogyakata (FDKAY) telah melakukan kajian awal tersebut dengan memberikan perhatian pada sisi pekerja seks dan pelayanan kesehatan sebagai pihak yang akan mengalami dampak atas pelarangan tersebut.

Penelitian

Knowledge Hub

knowledgehub

knowledgehub

knowledgehub

Informasi

sejarahaids sistemkesehatan kebijakankesehatan kebijakanaids

Didukung oleh

AusAID