Oleh : Lytt I. Gardner,1 Gary Marks,1 Jason A. Craw,1,2 Tracey E. Wilson,3 Mari-Lynn Drainoni,6,7,8 Richard D. Moore,9 Michael J. Mugavero,11,12 Allan E. Rodriguez,13 Lucy A. Bradley-Springer,15 Susan Holman,4,5 Jeanne C. Keruly,9 Meg Sullivan,8 Paul R. Skolnik,16 Faye Malitz,10 Lisa R. Metsch,14 James L. Raper,11,12 and Thomas P. Giordano,17,18 for the Retention in Care Study Groupa
Latar belakang: Kemampuan mempertahankan pengobatan bagi pasien terinfeksi HIV adalah sebuah strategi prioritas Nasional. Para peneliti berhipotesa bahwa retensi dapat diperbaiki dengan pesan-pesan yang terkoordinasi untuk mendorong pasien mendatangi klinik. Para penelit melaporkan hasil dari tahap pertama pusat pemantauan Penyakit dan Pencegahan atau sumber daya Kesehatan dan Layanan Administrasi Retensi dalam Proyek Pengobatan.
Metode: enam Klinik khusus HIV berpartisipasi dalam sebuah sampel evaluasi pretes dan postes potong lintas mengenai brosur, poster dan pesan-pesan yang menyatakan pentingnya kehadiran ke klinik secara rutin. 10018pasien pada 2008-2009 (periode pra intervensi) dan 11039 pasien pada 2009-2010 (periode intervensi) diikuti dengan datang ke klinik.
Sebuah gerakan dan advokasi kepada Presiden Jokowi dari sejumlah Akademisi, Intelektual dan praktisi di bidang Kesehatan Masyarakat dan Hak Asasi Manusia dalam rangka mengatasi kekerasan dan kerusakan serius yang disebabkan oleh obat untuk individu dan masyarakat melalui penyampaian Surat Terbuka di Jurnal Kesehatan Internasional Lancet.
Pemerintah Indonesia, dibawah Presiden Joko Widodo, telah berkomitmen untuk membuat kebijakan yang berbasis bukti. Masyarakat kesehatan Indonesia menyambut komitmen dari pemerintah untuk kemajuan derajat kesehatan. Akan tetapi, para peneliti, ilmuwan dan praktisi, berpendapat dan merasakan keprihatinan serius bahwa pemerintah telah kehilangan kesempatan untuk merespon secara efektif terkait obat-obat terlarang dengan menggunakan bukti-bukti yang ilmiah dan sahih.
Oleh : Hersumpana Ig.
Kontroversi kebijakan hukum dalam penanganan pecandu sampai sekarang masih menjadi perdebatan di kalangan praktisi hukum, akademisi dan pemerhati HIV dan AIDS terkait sanki hukum pidana yang selama ini menjadi pendekatan utama, ketimbang pendekatan sosio-medis yang menekankan aspek pemulihan dan rehabilitasi psikologis maupun sosial serta kemanusiaan. Beberapa kasus yang marak di media tentang kasus narkoba, berupa penangkapan oleh Polisi terhadap beberapa pecandu seperti kasus Tessi[1] dan Faris RM[2] memberikan sinyalemen bahwa pendekatan hukum lebih dominan daripada pendekatan kesehatan. Dampak dari pemenjaraan cukup serius seperti yang dialami Tessi yang melakukan percobaan bunuh diri. Pendekatan hukum semestinya perlu ditinjau ulang karena sudah terbukti tidak menyelesaikan masalah, bahkan dalam beberapa kasus menimbulkan kompleksitas persoalan yang lain. Pendekatan apa yang tepat bagi perlakuan terhadap pecandu dalam konteks hukum dan permasalahan kesehatan?
Oleh Leickness C. Simbayi, Anna Strebel, Allanise Cloete, Nomvo Henda, and Ayanda Mqeketo
Abstrak
Stigma AIDS mempengaruhhi pencegahan HIV, diagnosa dan perawatan dan terinternalisasi oleh ODHA. Akan tetapi, efek dari stigma AIDS yang terinternalisasi belum dikaji di Afrika, dimana dua per tiga lebih dari 40 juta orang yang hidup dengan HIV dan AIDS di dunia. Kajian terkini meneliti prevalensi pengalaman diskriminasi dan internalisasi stigma diantara 420 laki-laki yang positif HIV dan 643 perempuan yang positif HIV direkrut dari layanan AIDS di Cape Town, Afrika Selatan. Survey anomin menemukan bahwa 40 % orang dengan HIV dan AIDS mengalami diskriminasi karena terinfeksi HIV dan satu dari lima orang kehilangan tempat tinggal atau pekerjaan karena status HIV. Lebih dari satu diantara tiga partisipan menunjukkan perasaan kotor, malu, atau bersalah karena status HIV mereka. Sebuah model regresi hierarki yang melibatkan karakter demografis, kesehatan dan status pengobatan, dukungan sosial dan penggunaan subtansi dan internalisasi stigma secara signifikan memprediksi depresi afeksi dan kognitif.
Tujuan: Peneliti mengkaji efektifitas biaya dalam menentukan diagnosa Virus HIV baru menggunakan tes HIV cepat yang dilakukan oleh Organisasi berbasis komunitas (CBO) di Kansas City, Missouri, Detroit, dan Michigan.
Method: CBO melakukan tes HIV cepat selama April 2004 sampai Maret 2006. Di Kansas City tes dilakukan pada sebuah klinik dan area penjangkauan. Di Detroit tes hanya dilakukan di area penjangkauan saja. Kedua CBO menggunakan mobil testing bergerak. Ukuran efektifitas adalah jumlah test yang dilakukan dan jumlah orang yang diketahui terinfeksi HIV baru yang didasarkan pada tes cepat. Peneliti mencermati kembali biaya program yang dikoleksi meliputi biaya personil, perlengkapan tes, mobil van, dan fasilitas ruang.
© 2025 Kebijakan AIDS Indonesia