Oleh: Hersumpana
Sekeras apapun larangan terhadap prostitusi dengan berbagai peraturan anti prostitusi yang jumlahnya hingga ratusan akan tetapi fakta di lapangan berkata lain, prostitusi tetap hadir ditengah masyarakat seperti fenomen prostitusi terselubung di Apartemen atau tempat kos. Hal ini menjadi bukti kegagalan dalam pengambilan kebijakan terkait kebijakan pelarangan prostitusi yang asumsinya akan membuat orang takut dan jera, lalu masyarakat lambat laun bersih dari prostitusi. Apa lacur? Asumsi tersebut keliru besar. Semakin dilarang prostitusi, semakin kreatif bisnis prostitusi seperti pemberitaan yang hangat tentang PSK artis yang melibatkan pejabat dan berbagai modus prostitusi di berbagai tempat seperti kos dan apartemen. Menarik wacana yang dilempar oleh Ahok, Sang Gubernur Jakarta untuk membuat lokalisasi prostitusi berupa apartemen khusus PSK dan pemberian sertifikat. Bagaimana analisis Kebijakan terkait dengan Wacana legalisasi praktek prostitusi oleh Gubernur Jakarta ini? sebuah langkah yang berani di tengah semakin mengerasnya politik agama yang secara lugas akan menentang wacana tersebut. Apa yang bisa dipelajari dalam konteks Integrasi kebijakan tentang penanggulangan Penyakit dalam wacana prostitusi?
Reportase : MRAN 2015 Oleh : Hersumpana
SUFA merupakan kebijakan strategis untuk menekan penularan baru, mengurangi angka kesakitan, dan menekan kematian akibat AIDS tanpa harus memperhatikan nilai CD4 pasien. Kebijakan SUFA ini akan efektif apabila diimplementasikan melalui mekanisme Layanan Komprehensif Berkesinambungan dimana Layanan ART dapat diakses pada layanan kesehatan primer. Pertanyaannya apakah yang perlu dipersiapkan supaya layanan primer (PKM) siap memberikan layanan SUFA, karena meskipun kebijakan SUFA sudah menjadi kebijakan Kementrian Kesehatan RI akan tetapi dalam praktik sampai sekarang masih belum bisa diimplementasikan di lapangan, pengobatan ARV masih dilayani pada Rumah Sakit Rujukan. Tantangan Implementasi SUFA di layanan Primer menjadi tema diskusi dalam Malam Renungan AIDS Nusantara pada 18 Mei 2015, yang diselenggarakan oleh KPA bekerja sama dengan berbagai LSM AIDS, KDS dan Komunitas OHDA yang menghadirkan narasumber dr. Akhmad dari Dinkes Provinsi Yogyakarta dan dr. Yanri Subronto PhD dari Rumah Sakit Sarjito.
Oleh: Chrysant Lily
Secara historis, layanan Kesehatan Seksual dan Reproduksi (SRH)[1]dan layanan HIV dan AIDS merupakan dua layanan yang terpisah dan tidak dikoordinasikan. Padahal, alasan untuk integrasi antara kedua layanan ini sudah sangat jelas, antara lain banyaknya penyakit yang berhubungan dengan HIV maupun seksual reproduksi yang memiliki akar masalah yang sama, serta tingginya kasus HIV yang terjadi lewat transmisi seksual. Selain itu, peningkatan jumlah kasus HIV baru juga banyak terjadi di antara ibu maupun perempuan muda yang merupakan target utama dari layanan SRH[2]. Kesadaran tentang interelasi-interelasi seperti ini sebenarnya bukan merupakan konsep baru dan sudah dinyatakan sejak ICPD 1994[3]tetapi komitmen yang lebih kuat untuk mengintegrasikan kedua layananan ini baru muncul sejak kurang lebih satu dekade yang lalu[4].
Rifat A. Atun, Martin McKee, Francis Drobniewski, & Richard Coker
Tujuan
Mengembangkan metodologi dan sebuah instrumen yang memungkinkan pengkajian sistematis dan cepat secara bersamaan mengenai konteks kesehatan masyarakat yang luas, sistem kesehatan, dan karakteristik program penyakit khusus.
Metode:
Mengambil contoh metodologi yang digunakan untuk asesemen situasi secara cepat mengenai program vertikal untuk mengatasi penyakit menular, kita menganalisis program-program HIV dan konteks sistem kesehatannya di tiga lokasi di Federasi Rusia. Analisis dilakukan dalam tiga fase. Pertama, analisis literature yang dipublikasi, dokumen, dan data rutin dari daerah tersebut, kedua, melakukan wawancara dengan informan kunci, dan ketiga, pengumpulan data lanjut dan analisa. Sintesis temuan-temuan dilakukan melalui eksplorasi tema-tema yang muncul berulang, yang menghasilkan identifikasi masalah-masalah kunci sistem kesehatan yang mempengaruhi layanan program.
Oleh: Hersumpana, Ig.
Pandangan AIDS merupakan persoalan kesehatan masyarakat dan belum menjadi tantangan pembangunan dalam tata kelola pemerintahan di sebagian negara berkembang seperti Indonesia, berkonsekwensi pada lemahnya perhatian terhadap upaya penanggulangan AIDS (UNDP, 2006). Dengan demikian, komitmen pemerintah dalam penanggulangan AIDS perlu semakin didorong untuk menjadikan program AIDS sebagai salah satu prioritas dari tantangan pembangunan. Menilik dari sejarah pengendalian HIV dan AIDS sejak diketemukannya kasus AIDS pada 1987 di Bali, dari aspek struktural khususnya pengembangan kebijakan hukum dan peraturan sudah cukup besar. Dalam hitungan KPAN, sampai 2013 terdapat tidak kurang dari 245 peraturan mulai dari Tingkat Nasional hingga tingkat Daerah. Permasalahannya sejauhmana kebijakan AIDS yang sedemikian banyak tersebut berdampak pada efektifitas dalam penurunan angka infeksi baru di Indonesia?
© 2025 Kebijakan AIDS Indonesia