Permasalahan tuberkulosis (TB) di Indonesia masih merupakan masalah utama dalam bidang kesehatan. Mudahnya penularan melalui percikan dahak, kondisi ekonomi yang buruk, akses pelayanan kesehatan yang sulit semakin memperbesar jumlah penderita TB. Dalam diskusi kultural yang diselenggarakan oleh SSR TB ‘Aisyiyah Kota Yogyakarta yang tergabung dalam Forum Diskusi Kultural AIDS Yogyakarta (FKADY) mengangkat isu tentang “Jejaring dan rujukan kolaborasi TB HIV”. Upaya ini merupakan salah satu ‘jihad’ di bidang kesehatan. Demikian disampaikan oleh penyelenggara diskusi.
Oleh: Swasti Sempulur
Istilah disabilitas mengacu pada The UN Convention of the Rights of Persons with Disabilities adalah orang-orang yang memiliki kerusakan atau kelainan fisik, mental, intelektual, atau sensorik dalam jangka waktu lama yang berinteraksi dengan berbagai hambatan yang dapat menyulitkan partisipasi penuh dan efektif dalam masyarakat berdasarkan kesamaan hak dengan orang lain. (Jill Hanass-Hancock et al, 2009; Sri Haryono et al, 2013). Menurut data dari Kementerian Sosial RI, pada tahun 2011, jumlah penyandang disabilitas di Indonesia mencapai 3,11%, atau sebesar 6,7 juta jiwa. Sedangkan menurut Kementerian Kesehatan RI, jumlah penyandang disabilitas lebih besar, yaitu: 6% dari total populasi penduduk Indonesia. Sementara itu WHO menyatakan diperkirakan 10% dari jumlah penduduk diantaranya mengalami disabilitas.
Oleh: Ghanis Kristia - Pengelola Program KPA Kota Yogyakarta
Perkembangan kasus HIV dan AIDS di Kota Yogyakarta dewasa ini menunjukkan tren yang terus meningkat. Sampai dengan bulan September 2015 tercatat 726 kasus HIV & AIDS, dan dari jumlah tersebut 217 kasus sudah masuk dalam stadium AIDS. Dari jumlah kasus tersebut 56,8% berasal dari faktor resiko heteroseksual. Penggunaan kondom yang rendah di antara kelompok populasi kunci pada saat berhubungan seks beresiko menyebabkan tetap tingginya penularan HIV pada kelompok pekerja seks.
Menyadari akan tingginya angka kasus HIV yang disebakan karena heteroseksual di atas,maka KPA Kota Yogyakarta memprioritaskan pengembangan program intervensi struktural untuk Pencegahan HIV Melalui Transmisi Seksual (PMTS). Program ini mengedepankan pentingnya pelaksanaan program pencegahan yang komprehensif, terpadu melibatkan seluruh pemangku kepentingan dan pemberdayaan populasi kunci, secara khusus pekerja seks perempuan, dan pasangan seksual masing-masing. Program ini terdiri dari empat komponen, yaitu Peningkatan Peran Positif Pemangku Kepentingan di Lokasi, Komunikasi Perubahan Perilaku, Manajemen Rantai Pasokan Kondom dan Pelicin, serta Penatalaksanaan IMS. Program ini didukung oleh monitoring yang intensif untuk setiap komponen tersebut dan kemudian evaluasi perubahan perilaku setiap populasi yang ada di setiap komponen dan akhirnya perubahan perilaku pada populasi kunci.
(Pengalaman LSM VESTA Yogyakarta)
Oleh : Yusuf Kusumo Nugroho & Tim Vesta.
Data STBP[1] 2013 secara nasional menunjukkan terjadi kenaikan tingkat prevalensi HIV, terutama pada populasi lelaki seks dengan lelaki (LSL), yaitu pada tahun 2009 berkisar pada angka 7.0% menjadi 12.8% pada tahun 2013. Sama halnya dengan penyakit sifilis yang juga mengalami kenaikan, data terakhir di angka 11.3%. Demikian juga di lingkup Kota Yogyakarta, prevalensi HIV juga mengalami kenaikan lebih dari 13%, sedangkan penyakit sifilis sebesar 6%. Prevalensi HIV tersebut relatif tinggi pada populasi LSL dengan kisaran usia 25-29 tahun.Dari gambaran situasi ini menarik kiranya untuk melihat bagaimana upaya penangulangan HIV pada populasi LSL yang dilakukan oleh LSM Vesta. Salah satu upaya kunci yang perlu dilakukan adalah pendekatan yang sesuai dengan karakteristik pada populasikunci tersebut. Beberapa karakteristik pada kelompok LSL, antara lain merupakan populasi yang tersembunyidan memiliki mobilitas yang tinggi. Dengan demikian, untuk mengetahui besaran populasi LSL tidak cukup hanya berdasarkan komunitas yang nampak saja, namun perlu juga berbasiskan media sosial.Meskipun pemetaan berbasis aplikasi internet ini belum diakui sebagai sebuah pemetaan, namunpendekatan ini tetap dilakukan oleh Vesta sebagai sebuah cara untuk memperkirakan besaran populasi LSL.
Oleh : Juniati Rahmadani- Pengelola Monev KPA DIY.
Penanggulangan Human Immuno-deficiency Virus (HIV) dan Acquired Immuno Deficiency Sydrome (AIDS) membutuhkan keterlibatan banyak sektor baik pemerintah maupun swasta. Peraturan Presiden No. 75 tahun 2006 tentang Komisi Penanggulangan AIDS Nasional menjadi dasar pembentukan Komisi Penanggulangan AIDS di daerah untukmengkoordinasikan pelaksanaan penanggulangan HIV & AIDS. Monitoring dan evaluasi (monev) penanggulangan HIV perlu dilakukan untuk menilai dampak program yang melibatkan banyak sektor dan pembiayaan. Komisi Penanggulangan AIDS Daerah Istimewa Yogyakarta (KPA DIY) membentuk tim monev sejak 2010. Kegiatan tim monev adalah memonitor pelaksanaan kegiatan HIV&AIDS di lembaga-lembaga yang dinilai perlu terlibat mengacu pada dokumen kebijakan AIDS di daerah (SRAN, SRAD, Perda) dan mengevaluasi dampak pelaksanaan program. Dalam upaya monev ini, tim melakukan upaya pengumpulan data dengan meminta lembaga yang terlibat untuk menyampaikan informasi kegiatan yang telah mereka laksanakan menggunakan form isian yang dikembangkan tim monev. Selain data kegiatan, tim monev juga memanfaatkan data sekunder terkait penanggulangan HIV&AIDS untuk dijadikan acuan dalam mengevaluasi hasil pelaksanaan program.
© 2024 Kebijakan AIDS Indonesia