Neil Spicer1*, Julia Aleshkina2, Regien Biesma3, Ruairi Brugha3, Carlos Caceres4, Baltazar Chilundo5, Ketevan Chkhatarashvili6, Andrew Harmer1, Pierre Miege7, Gulgun Murzalieva2, Phillimon Ndubani8, Natia Rukhadze6, Tetyana Semigina9, Aisling Walsh3, Gill Walt1, Xiulan Zhang7

Globalization and HealthLatar Belakang : Respon yang terkoordinasi untuk HIV/AIDS masih menjadi salah satu 'tantangan besar' yang dihadapi para pembuat kebijakan saat ini.  Inisiatif kesehatan global (GHIs)memiliki potensi baik untuk memfasilitasi maupun memperburuk koordinasi di tingkat nasional dan subnasional. Bukti efek GHIs pada koordinasi mulai muncul, tetapi sampai sekarang terbatas pada studi tunggal negara dan kajian secara umum saja. Sampai saat ini, tidak ada penelitian yang memberikan sintesis yang fokus pada efek GHIs pada sistem kesehatan nasional dan subnasional di beberapa negara. Untuk mengatasi kekurangan ini, kami meninjau data primer dari tujuh studi negara tentang efek dari  tiga GHIs pada koordinasi program HIV/AIDS: Dana Global (Global Fund) untuk Memerangi AIDS, Tuberkulosis dan Malaria, Rencana Darurat Presiden untuk AIDS Relief (the President’s Emergency Plan for AIDS Relief/PEPFAR), dan program HIV / AIDS Bank Dunia termasuk multi-negara program AIDS (Multi-country AIDS Programme/MAP)

James C.M. Brust, MD, N. Sarita Shah, MD, MPH, Michelle Scott, MD, Krisda Chaiyachati, MD, MPH, 
Melissa Lygizos, MD, Theo L. van der Merwe, MBChB, Sheila Bamber, MBChB, Zanele Radebe,
BA, Marian Loveday, MPhil, Anthony P. Moll, MBChB, Bruce Margot, Umesh G. Lalloo, MBChB, Gerald H. Friedland, MD, and Neel R. Gandhi, MD

Kesimpulan

NCBIHasil pengobatan untuk Tuberkulosis Multi Drug-Resistant (TB-MDR) di Afrika Selatan menunjukkan hasil yang kurang baik melalui program layanan yang tersentralisasi,  dan layanan rawat inap yang terus berjuang untuk mengatasi prevalensi yang terus meningkat sejalan dengan ko-infeksi dengan HIV. Sebuah model perawatan dibutuhkan untuk memperluas kapasitas layanan dan meningkatkan hasil pengobatan TB-MDR dan HIV.  Kami mencoba menggambarkan desain dan hasil awal dari llayanan TB-MDR dan HIV yang terintegrasi dan berbasis rumah yang dibuat di desa di KwaZulu-Natal. Pada tahun 2008, sebuah pusat layanan yang terdesentralisasi didirikan untuk memberikan layanan non rawat inap bagi pasien TB-MDR dan HIV. Perawat, petugas kesehatan  masyarakat, dan dukungan dari keluarga telah dilatih untuk memberikan suntikan, memberikan dukungan agar patuh dalam berobat dan melakukan pengawasan terhadap reaksi yang merugikan (adverse reaction) pada pasien di rumah. Dokter menilai respon klinis, kepatuhan dan beratnya adverse reaction atas terapi TB-MDR dan HIVP pada kunjungan bulanan. Hasil pengobatan dinilai setiap bulan melalui pemeriksaan kultur dan CD4 serta viral load setiap enam bulan sekali. Delapan puluh pasien yang memulai terapi TB-MDR sejak 2/2008–4/2010; 66 merupakan pasien dengan ko-infeksi HIV. Retensi yang terjadi cukup tinggi (hanya 5% defaults, 93% dari kehadiran kunjungan) dan hasil awal menunjukkan sesauatu yang cukup baik (77% sembuh/masih dalam pengobatan, 82% viral load tidak terdeteksi). Beberapa pasien meminta peningkatan layanan (9%), mengalami adverse events yang cukup berat (8%), atau meninggal (6%). Layanan TB-MDR dan HIV yang terintegrasi dan berbasis rumah merupakan model pengobatan yang cukup menjanjikan untuk memperluas kapasitas dan mencapai peningkatan hasil di daerah pedesaan, atau daerah dengan sumber daya terbatas dan memiliki prevalensi HIV yang tinggi.

Oleh: Ita Perwira

Penyakit Tuberkulosis (TB) masih menjadi salah satu isu prioritas penyakit menular secara global. Berdasarkan Global Tuberculosis Report tahun 2015 yang dikeluarkan oleh WHO, pada tahun 2014, ada sekitar 9.6 juta kasus TB (incidence[1]. Indonesia dengan perkiraan jumlah penduduk 254 juta menyumbang sekitar 1 juta[2] kasus TB yaitu 10% dari jumlah total global. Angka tersebut merupakan yang tertinggi kedua setelah China yang menyumbang 25% dan sejajar dengan India yang juga menyumbang 10%.

Ilustrasi | themerkle.comTeknik Delphi  diterima dan secara luas  digunakan untuk  pengumpulan data dari responden dalam bidang keahliannya. Teknik ini dirancang sebagai sebuah proses komunikasi kelompok yang bertujuan untuk mencapai kesepakatan pendapat  tentang masalah tertentu. Proses Delphi telah digunakan di berbagai bidang kajian seperti perencanaan program, penilaian kebutuhan, penentuan kebijakan, dan pemanfaatan sumber daya dalam mengembangkan berbagai alternatif, mengekplorasi  atau mengekspos sebuah asumsi dasar, dan menilai  korelasi antar berbagai topik  besar dari  berbagai disiplin ilmu. Teknik Delphi cocok sebagai metode untuk membangun konsensus dengan menggunakan serangkaian kuesioner melalui berbagai iterasi  untuk mengumpulkan data dari panel yang terpilih.  Pemilihan subjek, kerangka waktu  pelaksanaan dan penyelesaian kajian,  kemungkinan  rendahnya respon peserta  dan ketiadaan umpan balik dari responden merupakan hal yang perlu dipertimbangkan ketika merancang dan melaksanakan  Delphi.

Oleh : M. Suharni

Teknik Delphi dapat digunakan dalam proses penyusunan  kebijakan dan progam penanggulangan HIV dan AIDS  yang melibatkan banyak aktor dengan beragam keahlian dan kepentingan. Teknik Delphi   bukan hal yang baru, namun dianggap masih tetap relevan dan banyak digunakan untuk mencari konsensus terhadap suatu isu kebijakan.   Tulisan ini akan menyajikan bagaimana teknik Delphi jika kita ingin membuat satu keputusan untuk salah satu aspek upaya penanggulangan HIV dan AIDS, seperti aspek pencegahan HIV dan AIDS  di Puskesmas.   Dasar tulisan ini adalah tulisan  Rayen, M dan Hann, J.E. (2000) Building Consensus Using the Policy Delphi Method dan tulisan Chia-Chien Hsu (2007) The Delphi Technique: Making Sense Of Consensus.  Selain itu, tulisan ini berdasarkan serangkaian pertemuan yang dilakukan oleh para peneliti dan konsultan PKMK- FK UGM dalam Pengembangan Model Pencegahan Melalui Transmisi Seksual di Tingkat Pelayanan Primer Puskesmas dan Jejaringnya. 

Supported by

AusAID