Abstrak
Tujuan dari kajian tulisan ini adalah untuk memberikan informasi dan panduan kepada mereka yang bekerja di layanan kesehatan mengenai pentingnya menghilangkan stigma terkait HIV dan bagaimana agar berhasil menangani penyebab serta konsekuensi yang timbul di dalam layanan kesehatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa stigma dan diskriminasi baik dilayanan kesehatan maupun di tempat lain menghambat orang, termasuk tenaga kesehatan, untuk mengakses layanan pencegahan, perawatan dan pengobatan HIV serta menghambat mereka untuk mengadopsi perilaku kunci untuk pencegahan HIV. Penelitian yang dilakukan dari berbagai belahan dunia menunjukkan bahwa ada tiga penyebab utama yang disebabkan oleh stigma di layanan kesehatan yaitu; kurangnya kesadaran diantara petugas kesehatan tentang bagaimana bentuk stigma dan mengapa hal tersebut merusak; ketakutan akan kontak kasual yang berasal dari kurangnya pengetahuan yang lengkapaa tentang penularan HIV; serta hubungan antara HIV dengan perilaku yang dianggap amoral atau tidak patut. Untuk menghilangkan stigma yang ada di layanan kesehatan, intervensi yang dilakukan harus fokus pada tingkat individu, lingkungan dan kebijakan.
Oleh: Ita Perwira
Tanggal 1 Maret 2016 kemarin diperingati sebagai hari tanpa diskriminasi sedunia (zero-discrimination day). Adalah menjadi hak setiap orang untuk mendapatkan kehidupan yang bebas dari stigma dan diskriminasi. Namun sampai saat ini, termasuk di Indonesia, stigma dan diskriminasi yang terjadi di layanan kesehatan masih cukup tinggi. Hal ini terlihat salah satunya pada pelayanan HIV dan AIDS termasuk layanan lainnya yang terkait, seperti layanan IMS. Adanya stigma dan diskriminasi di layanan kesehatan ini secara umum menjadi hambatan yang cukup besar dalam pencapaian target cakupan kesehatan secara menyeluruh (universal health coverage). Selain itu, secara khusus beberapa hasil penelitian juga menunjukkan bahwa stigma dan diskriminasi ini juga menghambat penanggulangan epidemi HIV dan AIDS, karena diskriminasi yang ada menghambat kelompok tertentu seperti populasi yang terpinggirkan (marginalized population) dan populasi kunci untuk mengakses layanan kesehatan (Nyblande, et al. 2009; Feyissa, et al. 2012).
Oleh: Hersumpana, Ig.
Isu kekerasan terhadap perempuan merupakan masalah penting yang membutuhkan perhatian serius, terutama kasus kekerasan terhadap perempuan dengan HIV dan AIDS. Sebuah survei pendokumentasian kekerasan pada perempuan dengan HIV Positif yang dilakukan oleh Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI) memberikan gambaran penting mengenai tingkat kerentanan perempuan positif HIV terhadap berbagai kekerasan yang dialami. Risiko kekerasan yang kompleks dialami meliputi kekerasan fisik, kekerasan seksual, kekerasan psikis, kekerasan ekonomi, diskriminasi karena status HIV dan kasus sterilisasi/aborsi paksa[1]. Tulisan ini menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi kompleksitas kekerasan terhadap perempuan positif HIV yang masih mengalami pengabaian hak-haknya untuk mendapatkan perlindungan baik secara hukum, sosial dan kultural.
J.C. Campbella , M.L. Batya, R.M. Ghandour, J.K. Stockman, L. Francisco, and J. Wagman
Abstrak
Tujuan dari Studi ini adalah untuk mengkaji penelitian orisinil mengenai interseksi kekerasan terhadap perempuan oleh pasangan seksual dan risiko untuk infeksi dan menegaskan peluang untuk penelitian baru dan pengembangan program. Tujuh puluh satu artikel yang menampilkan orisinalitas, suatu peer review dilakukan terhadap perempuan berusia 12 tahun dan yang lebih dewasa dalam hubungan heteroseksual selama satu dekade terakhir (1998 – 2007). Studi-studi tersebut bermanfaat untuk inklusi jika mereka membahas kekerasan pasangan intim terhadap perempuan dan HIV/AIDS sebagai faktor-faktor risiko. Prevalensi kekerasan dari pasangan seksual dan infeksi HIV terhadap perempuan bervariasi secara glolbal, akan tetapi perempuan tetap menjadi sasaran risiko baik atas kekerasan oleh pasangan intimnya dan secara seksual tertular HIV secara bersamaan. Perbadingan antara perempuan yang sero negatif dengan positif bervariasi secara geografis: Perempuan Afrika yang HIV positif dilaporkan mengalami rerata lebih tinggi tingkat victimisasi sementara temuan-temuan tidak konsisten untuk perempuan positif di Amerika. Kajian berbagai populasi mendukung keberadaan dari suatu hubungan kompleks secara biologis dan temporal antara risiko HIV, paparan kekerasan panjang dan penggunaan subtansi yang semakin diperumit oleh pengambilan keputusan terkait tatanan seksual dan gender.
Kajian ini dilatarbelakangi oleh dorongan kebijakan internasional terkait dengan peran sekolah sebagai ‘pengganti keluarga’ bagi anak-anak yang terdampak HIV dan AIDS. Dengan melibatkan informan dari kalangan guru dan anggota masyarakat, dikaji mengenai pengalaman mereka selama ini dalam melakukan perawatan / pendampingan kepada anak-anak yang terdampak HIV dan AIDS. Sebenarnya, guru-guru menyadari bahwa mereka dapat mewujudkan peran sekolah sebagai ‘pengganti keluarga’, akan tetapi hal tersebut masih terkendala oleh faktor-faktor relasi antara guru dan murid yang kurang terlalu bagus. Guru, di satu sisi juga harus menghadapi masalah yang dihadapinya sendiri karena persoalan kemiskinan dan situasi politik di Zimbabwe yang tidak menentu. Hal tersebut yang kemudian menyebabkan rendahnya gaji guru di sana; jatuhnya status profesional; ketidakmampuan guru untuk memecahkan HIV dan AIDS yang dihadapinya; masih adanya stigma dan diskriminasi sehingga menghalangi anak-anak untuk mengungkapkan situasinya secara terbuka kepada gurunya; adanya kecenderungan sikap guru yang otoriter, membuat murid takut kepada gurunya; kurangnya kepercayaan pada masyarakat yang lebih luas.
© 2025 Kebijakan AIDS Indonesia