Oleh: Hersumpana Ig.
Peristiwa kekerasan seksual terhadap perempuan (anak) yang dilakukan secara kolektif oleh laki-laki usia remaja atas perempuan sebaya atau usia dibawah umur yang menyeruak ke publik kurun waktu terakhir memicu kemarahan dan keprihatinan banyak pihak[1]. Ditengah perdebatan pro dan kontra untuk memberikan hukuman kepada pelaku kekerasan seksual dengan sanksi yang berat, ada usulan menghilangkan kemampuan pro-kreasinya dengan melakukan pengebirian diajukan sebagai bentuk hukuman dalam rancangan Peraturan Pengganti Undang-Undang (PERPU) tentang perlindungan anak dan perempuan dari kekerasan seksual. Satu sisi kebijakan perlindungan terhadap anak dan perempuan dari serangan seksual secara kolektif tentu semua sepakat sebagai bentuk upaya penertiban sosial dengan pemberian hukuman (punishment). Akan tetapi, sisi lain wacana sanksi pengebirian tentu perlu pemikiran yang matang, karena menyangkut hak paling asasi dari pelaku untuk pro-kreasi. Sementara tujuan dari pemberian sanksi atau hukuman semestinya adalah untuk membangun kesadaran pelaku. Permasalahan yang patut dikritisi lebih lanjut adalah apakah dengan kebijakan penghukuman yang keras merupakan solusi yang tepat dalam kasus ini? Apa yang perlu dilakukan untuk mengatasi kasus kekerasan seksual, karena perilaku ini berakar dari faktor kegagalan negara dan masyarakat sendiri dalam pendidikan moral dan kultural. Disamping itu, perlu mengembangkan strategi dan perspektif baru untuk pencegahan kekerasan melalui pendidikan kesetaraan dan sensitifitas gender kepada kaum laki-laki yang tumbuh dalam kultur patriarki untuk memutus lingkaran kekerasan seksual terhadap perempuan.
Oleh : Gerald Santuary
Abstrak
Penulis mengkaji manifestasi spesifik kekerasan dalam kaitannya dengan seksualitas ; (1) tingkat kekerasan seksual dengan paksaan (pemerkosaan), (2) Kejahatan perang, (3) kekerasan di dalam penjara, (4) pornografi. Mengacu pada buku Hannah Arendt tentang Kekerasan penulis memandang kekerasan seksual sebagai gejalan hilangnya kekuasaan seksual bukan sebuah tanda dari kepemilikan kekuasaan. Penyebabnya dapat dilihat dari tekanan sosial dan komersial masyarakat yang membiarkan laki-laki kurang memiliki ruang berbeda dan menjadi individu yang terpisah. Serangan gelombang kekerasan terhadap kehidupan sehari-hari melalui media menstimulasi laki-laki dan terus-menerus mencemari hubungan antar personal dan kehidupan seksualnya, dimana laki-laki mencari jalan keluar untuk melepaskan diri dari tekanan-tekanan tersebut. Sebuah solusi yang ditawarkan adalah menyediakan informasi yang langsung melalui pendidikan seks yang komprehensif untuk mengatasi pengaruh informasi media terkait seks dengan kekerasan. Dengan begitu, masyarakat akan mampu mendapatkan pilihan yang penuh informasi dalam bertindak secara seksual.
Fernando Sikumbang | Rabu, 11 Mei 2016
TRIBUNPEKANBARU.COM, DUMAI - Data KPA Dumai secara kumulatif hingga Maret 2016 tercatat ada 318 pengidap HIV/AIDS di Kota Dumai. Jumlah ini menempatkan Dumai di posisi ketiga di Provinsi Riau dalam jumlah penderita HIV/AIDS.
Sedangkan untuk tingkat Nasional, secara kumulatif terdapat 160.138 pengidap HIV. Sedangkan 65.790 adalah pengidap AIDS. Mereka tercatat secara kumulatif sejak 1987 hingga 2015.
"Jumlah ini didominasi kaum pria. Lantas ibu rumah tangga, yang kebanyakan ditularkan lewat suaminya," ujar Perwakilan Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN), Muhammad Yusuf, Rabu (11/5/2016).
Yudha Manggala P Putra | Selasa, 10 Mei 2016
REPUBLIKA.CO.ID, SUKABUMI -- Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kota Sukabumi, Jawa Barat mencatat setiap tahun rata-rata 30 warga di daerah ini tertular Human Immunodeficiency Virus (HIV).
"Untuk jumlah kumulatif kasus HIV-AIDS di Kota Sukabumi, tepatnya dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2015, mencapai 963 orang," kata Ketua KPA Kota Sukabumi, Achmad Fahmi di Sukabumi, Selasa (10/5).
Menurutnya, dari data tersebut dalam beberapa tahun terakhir ini mayoritas warga yang tertular HIV berasal dari kalangan ibu rumah tangga (IRT) baik yang ditularkan dari suaminya maupun ada penyebab lainnya.
Oleh: Ita Perwira
Beberapa minggu terakhir Indonesia kembali dikagetkan dengan kejadian pemerkosaan dan pembunuhan terhadap seorang anak perempuan yang masih duduk di bangku SMP yang dilakukan oleh 14 orang pemuda yang juga masih berusia muda yaitu sekitar usia belasan tahun sampai dengan awal 20an. Berbagai pertanyaan dan asumsi muncul bagaimana hal seperti ini bisa terjadi? Terutama dilakukan oleh laki-laki pada usia yang dianggap masih sangat belia terhadap perempuan juga pada usia yang sangat muda.
Sesungguhnya bila kita kaji kembali permasalahan kekerasan yang terjadi pada perempuan, kejadian diatas hanyalah contoh dari sekian banyak kasus yang tidak terungkan di media. Mungkin tidak banyak yang menyadari atau mungkin enggan untuk tahu bahwa banyak kasus kekerasan pada perempuan lainnya yang terjadi disekitar kita atau pada orang-orang terdekat kita. Catatan tahunan Komnas Perempuan[1] ada sekitar 321,752 kasus kekerasan terhadap perempuan dimana 305,535 bersumber dari data kasus yang ditangani oleh Pengadilan agama dan 16,217 dicatat dari lembaga layanan mitra Komnas Perempuan.
© 2025 Kebijakan AIDS Indonesia