Rifat Atun, et. al.
Abstrak
Manfaat pengintegrasian program intervensi spesifik ke dalam sistem kesehatan untuk meningkatan capaian dampak program diperdebatkan secara luas. Perdebatan ini dipicu oleh pemikiran biner yang sempit tentang program yang terintegrasi (horisontal) dipertentangkan dengan program tidak terintegrasi (vertikal) dan dikuatkan oleh polarisasi pandangan protagonis pro dan kontra yang mempersoalkan manfaat relatif dari masing-masing pendekatan. Keberadaan program yang terintegrasi dan tidak terintergrasi di banyak negara memberikan manfaat bagi kedua pendekatan.
Oleh : Hersumpana Ig.
Harus diakui bahwa kebijakan pemerintah Indonesia dalam mengatasi masalah pekerja seks masih mengambil perspektif yang mengkriminalkan pekerja seks. Sebuah artikel ilmiah berjudul “ Can rights stop the wrongs? Exploring the connections between framings of sex workers’ rights and sexual and reproductive health “ oleh Cheryl Overs dan Kate Hawkins (2011)[1]memberikan perspektif baru dan ilmiah sebagai pijakan diskusi alternatif dalam konteks penanggulangan AIDS di Indonesia.
Oleh: Ignatius Praptoraharjo
Mewarisi kebijakan yang dilakukan pada masa kolonial, pekerja seks memperoleh perhatian dari berbagai kalangan di Indonesia saat ini karena identik dengan permasalahan kesehatan khususnya infeksi menular seksual dan AIDS dan permasalahan sosial khususnya permasalahan ketertiban umum[1]. Penanganan permasalahan pekerja seks selalu diarahkan untuk menghilangkan dampak kesehatan dan sosial dari keberadaan pekerja seks ini atau secara langsung menghilangkan prostitusi itu sendiri. Upaya yang dominan oleh pemerintah mulai tahun 2000 adalah melalui kriminalisasi tindak prostitusi di berbagai wilayah di Indonesia dengan melalui terbitnya berbagai peraturan daerah yang melarang keberadaan prostitusi ada di wilayahnya[2]. Konsekuensi dari penerapan peraturan daerah ini adalah semakin banyaknya tempat terjadinya transaksi seks (lokalisasi) perempuan pekerja seks ditutup dan tempat hiburan yang diduga sebagai tempat transaksi seks diawasi secara lebih ketat. KPA Nasional melaporkan bahwa penerapan perda di berbagai daerah ini telah menyebabkan tersebarnya para pekerja seks dan menjadi alasan sulitnya untuk mengendalikan penyebaran infeksi menular seksual dan HIV[3]. Sementara itu dilaporkan bahwa penerapan perda anti prostitusi tersebut tidak efektif untuk menekan jumlah pekerja seks seperti terjadi di salah satu kota di Jawa Tengah dimana jumlah pekerja seks justru meningkat setelah diterapkannya peraturan daerah tersebut[4]. Kencenderungan untuk menyelesaikan permasalahan prosituti dengan cara-cara represif seperti itu pada dasarnya bersifat instant yaitu menghapus prostitusi dan tidak pernah menyentuh pemecahan persoalan yang sebenarnya[5].
Nanang Supendi | 08/02/2015
Banjar, (harapanrakyat.com),- Penyuluhan relawan peduli HIV/AIDS yang dilakukan ke sejumlah sekolah di Kota Banjar, mendapat dukungan dari kalangan guru, dan mereka menyambut baik kegiatan tersebut, serta akan membantu sosialisasi para relawan.
Hal itu dikatakan, Kepala Sekolah SMP PGRI Langensari, Irwan Ari Sudarso, kepada HR online, Sabtu, (07/02/2015).
Sabtu, 07 Februari 2015
Palu - Dinas Kesehatan Kota Palu mencatat sebanyak 17 orang di wilayahnya meninggal dunia akibat terserang HIV/AIDS selama 2014.
Kepala Seksi Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan Kota Palu Gunawan, mengatakan selama 2014 terdapat 82 warga yang terserang HIV dan 40 orang menderita AIDS.
© 2025 Kebijakan AIDS Indonesia