oleh: Muhammad Suharni

Ilustrasi | freepic.comHasil kajian dokumen PKMK UGM tahun 2014[1]tentang respon pemerintah dalam penanggulangah HIV dan AIDS sejak  kasus HIV pertama di Indonesia tahun 1987 sampai tahun 2014 menunjukan bahwa ada banyak hal yang berpengaruh dalam penyusunan  kebijakan penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia.  Dua hal yang secara substantif mempengaruhi perkembangan kebijakan penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia adalah berubahnya relasi pemerintah pusat dan daerah (desentralisasi) dan perkembangan epidemi itu sendiri. Sebelum 1999, ketika sistem pemerintahan masih sentralistis, pendekatan vertikal sangat dominan dilakukan oleh pemerintah pusat maupun mitra pembangunan internasional yang mendukung pendanaan penanggulangan AIDS di Indonesia. Kemudian ketika desentralisasi bergulir di Indonesia (UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan PP No. 38/2007 tentang pembagian urusan pemerintah, pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota), urusan kesehatan, termasuk penanggulangan AIDS didalamnya berubah karenanya.

Oleh Diane Cooper,  et al.

Diane Cooper | www.uwc.ac.zaAbstrak

Latar Belakang

Integrasi Kesehatan seksual dan reproduksi (SRH) dan Kebijakan dan layanan HIV yang disediakan oleh pemberi layanan menjadi prioritas global,  khususnya di benua Afrika dimana prevalensi HIV tertinggi.  Afrika selatan memiliki program terapi ART yang terbesar di dunia, dengan estimasi 2.7 juta orang menjalankan terapi ARV, meningkatkan kemenonjolan Afrika Selatan sebagai satu pioner global dalam pengobatan HIV.  Pada 2011, Masyarakat klinisi HIV Afrika Selatan mempublikasikan  pedoman kehamilan yang lebih aman untuk Orang yang Hidup dengan HIV  dan pada 2013, Pemerintah Afrika Selatan mempublikasikan pedoman kontrasepsi yang menegaskan pentingnya SRH dan layanan perecanaan kesuburan bagi orang yang hidup dengan HIV.  Menangai kehamilan yang tidak diinginkan, kehamilan yang lebih aman dan isu-isu kesehatan ibu adalah krusial untuk memperbaiki  kesehatan Seksual dan Reproduksi Orang yang hidup dengan HIV dan memerangi epidemi Global.

Oleh : Hersumpana, Ig.

HIV&AIDS | reutersSecara teoritis pendekatan horisontal dalam bidang kesehatan (seperti Penanggulangan HIV dan AIDS) dengan pengandaian adanya integrasi lintas sektor dan lintas program untuk merespon problem epidemi secara komprehensif akan dapat menjadi visi pembangunan kesehatan ke depan yang berkesinambungan akan memberikan layanan yang lebih effektif dan efisien.  Apakah asumsi  tersebut dalam praktik benar dan terbukti?  Tulisan ini mengkaji sebagian temuan dari riset operasional LKB yang dilakukan oleh PKMK FK UGM bekerja sama dengan Kemenkes di dua kota, Semarang dan Yogyakarta (2014).

Altynay Shigayeva and Richard J Coker

Abstrak

IlustrasiTerdapat  pembaruan keprihatinan atas keberlanjutan program-program pengendalian penyakit, dan munculnya kembali rekomendasi kebijakan untuk mengintegrasikan program dengan sistem kesehatan umum. Namun, konseptualisasi dari isu ini  sangat sedikit mendapatkan perhatian kritis. Selain itu, studi tentang keberlanjutan program menyajikan tantangan metodologis. Dalam artikel ini, kami mengusulkan kerangka kerja konseptual untuk mendukung analisis keberlanjutan program penyakit menular. Melalui pekerjaan ini, kami juga bertujuan untuk menjelaskan hubungan antara gagasan tentang integrasi dan keberlanjutan. Sebagai bagian dari pengembangan kerangka kerja konseptual, kami melakukan kajian literatur sistematis tentang  literatur yang sejenis tentang konsep, definisi, pendekatan analisis dan studi empirik pada keberlanjutan dalam sistem kesehatan. Gagasan-gagasan konseptual yang teridentifikasi  tentang  keberlanjutan dalam sistem kesehatan kehilangan satu konseptualisasi yang eksplisit tentang apa yang dimaksud dari sistem kesehatan tersebut.

Oleh: Chrysant Lily

HIV/AIDS IlustrasiDi awal tahun 2015, Komisi Penanggulangan AIDS Nasional bekerjasama dengan HIV Cooperation Program for Indonesia (HCPI) merilis modul pelatihan berjudul “Materi Riset Operasional Bagi Peneliti dan Pengelola Program HIV dan Kesehatan Reproduksi.” Modul pelatihan yang awalnya disusun oleh Population Council ini bertujuan untuk membantu peneliti serta pengelola program untuk memahami prinsip dasar Riset Operasional (RO), serta menggunakan RO demi pengembangan dan perbaikan program. Pemahaman tentang RO ini penting sebab ditemukan bahwa salah satu hambatan utama dalam penggunaan hasil riset untuk pengembangan dan perbaikan program adalah kurangnya pemahaman riset pada pengelola program. Akibatnya potensi penggunaan hasil RO untuk perbaikan dalam peningkatan cakupan, kualitas dan efektivitas program HIV masih belum optimal.

Supported by

AusAID